Memahami Perbuatan yang Dapat Dipidana

Memahami Perbuatan yang Dapat Dipidana

Nasional | sindonews | Sabtu, 27 Juli 2024 - 11:23
share

Romli Atmsasmita

MEMAHAMI ketentuan pidana di dalam undang-undang (KUHPidana) secara awam tidaklah terlalu sulit karena awam biasa menerjemahkan suatu perbuatan melanggar undang-undang dan ada orang lain atau masyarakat yang mengalami kerugian (korban). Namun demikian, jika pemahaman dengan pendekatan teoritik, terlalu sulit untuk dipahami dengan mudah termasuk oleh Penyidik Polri dan Penyidik/Penuntut Jaksa karena banyak teori dan pendapat berkaitan dengan perbuatan yang dapat dipidana.

Syarat suatu perbuatan dapat dipidana/dihukum bukan hanya perbuatannya cocok (melanggar UU atau dengan rumusan tindak pidana dalam UU) melainkan juga masih harus diteliti, apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya? Jika perbuatan seseorang telah cocok dengan rumusan undang-undang akan tetapi perbuatan yang dilakukan karena perintah dari undang-undang (melaksanakan hukuman mati), melaksanakan perintah jabatan, atau dalam keadaan memaksa (hal-hal yang membenarkan perbuatan itu dilakukan), atau karena di bawah batas usia yang ditentukan UU maka perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabakan kepadanya alias dipandang tidak bersalah karenanya hakim membebaskan pelakunya dari segala tuntutan hukuman (ontslag van allerechsvervolging).

Menetapkan seseorang menjadi tersangka harus pertama ada dua alat bukti (Pasal 183 KUHP) dan Hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan seseorang terdakwa. Jika hakim ragu-ragu akan kesalahan terdakwa maka terdakwa harus dibebaskan (in dubio pro reo). Hal ini yang terakhir ini hampir tidak terjadi pada perkara korupsi, terorisme, dan pencucian uang. Sedangkan jika mengamati fakta pada beberapa kasus tindak pidana korupsi, seharusnya ada beberapa yang menurut pengamatan penulis memenuhi asas hukum, in dubio pro reo tersebut.

Selain masalah pemahaman tentang perbuatan yang dipidana tersebut,masih ada beberapa masalah yang perlu disampaikan, antara lain tentang asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai pilarnya hukum pidana bahkan sering dikatakan pilar negara hukum. Yang dimaksud pilar di sini adalah bahwa asas fundamental hukum pidana tersebut justru lahir dari Revolusi Rakyat Prancis pada Tahun 1789 menumbangkan rezim otoritarian Monarki Absolut bentuk Kerajaan oleh Kaisar Louis VII.

Asas fundamental hukum pidana tersebut justru memfungsikan hukum pidana sebagai sarana perlindungan masyarakat dari kesewenangan penguasa, bukan sebaliknya membenarkannya. Sedangkan asas fundamental hukum pidana yang merupakan pelajaran di semester III Pendidikan Hukum di universitas, telah dijadikan titik tolak proses peradilan pidana dalam memeriksa dan menuntut seseorang tersangka/terdakwa.

Sekalipun demikian, asas fundamental tersebut dalam praktik dijaga/dikawal dengan asas hukum lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang harus dipatuhi penyidik, penuntut, dan hakim dalam proses peradilan pidana. Asas hukum ini dalam praktik hukum di Indonesia sering diabaikan ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Terhadapnya ditayangkan melalui televisi dan diberitakan di media sosial seolah-olah dianggap telah bersalah sejak ditetapkan sebagai tersangka. Praduga bersalah (presumption of guilt) yang telanjur keliru, bahkan bukan saja oleh masyarakat atau media sosial atau televisi tetapi juga oleh instansi penegak hukum .

Keadaan yang sama juga terjadi di sidang-sidang pengadilan tipikor khususnya kala televisi dan berita media sosial diizinkan meliputi proses persidangan sejak awal sampai akhir putusan pengadilan, hal yang dilarang keras di dalam proses peradilan di negara lain juga di Singapura dan Malaysia.

Jika seseorang ditetapkan tersangka dalam praktik hukum di Indonesia, maka tersangka dan keluarganya dipastikan mengalami apa yang disebut kematian perdata yang dimaknai bahwa tersangka dan keluarganya hampir dipastikan terasing atau diasingkan dari pergaulan sosial di masyarakat dan tersangka jika pegawai negeri atau swasta diberhentikan sementara dari jabatan atau kedudukannya. Apalagi penetapan tersangka disebabkan karena "titipan penguasa atau kolaborasi antara oknum penegak hukum dan pihak lawan usaha, jelas terang-benderang merupakan suatu kezaliman, dalam bahasa hukum, tindakan sewenang-wenang tanpa alas hukum.

Selain kedua asas hukum pidana tersebut, terdapat juga asas hukum tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan asas hukum pidana fundamental dari ajaran poistivisme hukum, yaitu salah satu aliran hukum yang mensyaratkan perbuatan(fisik) manusia/seseorang , harus disertai dengan adanya niat jahat atau mens-rea pada pelaku yang bersangkutan atau dikenal dengan adagium actus non facit reum, nisi mens sit rea (an act does not make a person, unless the mind is not guilty).

Di dalam doktrin hukum pidana (pendapat ahli hukum pidana senior) pandangan ini termasuk aliran dualistic, yang membedakan antara perbuatan dan pelakunya. Sedangkan pandangan aliran monolitik, adalah pandangan yang tidak membedakan antara keduanya. Dampak dari kedua pandangan tersebut terhadap status seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah jika penyidik telah menetapkan seseorang sebagai tersangka dipastikan bahwa perbuatan orang tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP dan dianggap bersalah telah melakuktan tindak pidana (Pandangan Monolitik). Sedangkan pandangan dualistic, keadaan memenuhi dua bukti permulaan yang cukup belum dipastikan bahwa tersangka bersalah melakukan tindak pidana yang dituduhkan.

Pandangan monolitik yang saat ini tengah membumi baik di kalangan awam maupun juga beberapa penyidik baik di KPK maupun di Kejaksaan dalam perkara korupsi, dan penyidik Polri. Pandangan kedua hampir dipastikan tidak banyak pengikutnya karena untuk sampai pada pandangan dualistic, dianggap terlalu lama menunggu, sedangkan pandangan dualistic inilah yang mengusung adanya prinsip praduga tak bersalah sedangkan pandangan monolitik justru sebaliknya, praduga bersalah.

Proses penetapan di KPK yang diamati, adalah seketika perbuatan seseorang telah memenuhi bukti permulaan yang cukup seketika dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan dianggap telah dapat menetapkan siapa tersangkanya sebelum proses penyidikan berakhir, hal mana penyebab penetapan tersangka di KPK diajukan permohonan praperadilan oleh pihak tersangkanya.

Sedangkan ketentuan KUHAP tentang penylidikan dan penyidikan menyatakan bahwa penyidikan (investigation) adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Sementara, penyelidikan (preliminary investigation) adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP).

Perbedaan antara kedua proses pemeriksaan perkara pidana tersebut sangat jelas sehingga dapat disimpulkan bahwa KUHAP menganut pandangan dualistic daripada monolitik. Kesimpulan ini diperkuat Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menentukan bahwa putusan pengadilan harus memuat antara lain, selain pasal peraturan perundangan yang menjadi dasar pemidanaan dan pasal peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, (juga. Pen) disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Hakim dalam memeriksa dan memutus selain syarat tersebut, juga harus dipertimbangkan ketentuan Bab III KUHP mengenai hal-hal pemaaf dan pembenar dalam menilai perbuatan seseorang yang telah ditetapkan sebagai terdakwa.

Topik Menarik