PSN Rempang Eco-City, Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru?

PSN Rempang Eco-City, Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru?

Ekonomi | okezone | Senin, 24 Maret 2025 - 06:14
share

JAKARTA - Dari perspektif New Institutional Economics, pengembangan perkotaan, terutama yang melibatkan relokasi penduduk, di samping mempertimbangkan aspek ‘institusi formal’ berupa regulasi untuk kepastian hukum, property rights, beserta tata kelola yang meminimalkan biaya transaksi, juga secara berimbang memperhatikan aspek-aspek ‘institusi informal’ yang berupa adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal.  

Jalur solusi ‘win-win’ antara investor/pengembang dengan warga terdampak yang akan direlokasi, perlu terbangun dengan baik.

Proyek Rempang Eco-City berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) per 28 Agustus 2023 berdasarkan Permenko Perekonomian No 7/2023. Proses relokasi warga kawasan terdampak untuk Proyek Stategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City diwarnai dengan sejumlah konflik dan protes warga terdampak sejak 2023. 

Dapat dipahami adalah tidak mudah melepaskan ikatan historis dan kultural antara warga dengan tempat tinggal, sama sulitnya dengan mengubah tradisi budaya itu sendiri. Namun demikian, lahan relokasi sejatinya masih berada di lingkungan ‘tempat tinggal’ mereka juga, masih di pulau Rempang, dan yang terjauh di Pulau Galang.

Proyek Rempang Eco-City digadang-gadang akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang baru, terutama melalui hilirisasi pasir kuarsa. Maka, solusi ‘win-win’ menjadi kunci untuk kelancaran PSN ini.

1. Mesin Pertumbuhan Baru?   

Proyek Rempang Eco-City merupakan pengembangan kawasan perkotaan terpadu yang dimotori oleh kawasan industri manufaktur yang akan segera dibangun di pulau Rempang tersebut dengan investasi bernilai ratusan triliun rupiah. Beberapa kawasan terdampak di Rempang tengah direlokasi, dan akan dibangun untuk kawasan industri ‘Photovoltaic Solar Industry Park’, di mana pasir silika akan diolah menjadi berbagai barang setengah jadi atau barang jadi seperti polisilikon, kaca, wafer silicon, hingga panel surya, dan mungkin saja chip (semikonduktor).  

 

Sebagaimana diketahui, industri semikonduktor adalah backbone dan ‘building block’ bagi keseluruhan industri manufaktur, termasuk manufaktur kendaraan listrik. Bahkan penanak nasi listrik (rice cooker/’magic com’)  pun membutuhkan semikonduktor berupa PCB (printed circuit board) untuk mengaktifkan otomatisasi, mengontrol pemanasan, dan mengatur waktu. Selain itu, pasir silika dapat dimanfaatkan untuk campuran beton, bahan keramik, dan lainnya.

Proyek Rempang Eco-City memang harus diakui nilai strategisnya, baik dari posisi geografisnya, nilai investasinya, maupun jenis komoditas industri yang akan dihasilkannya. Bukan hanya kawasan industri yang akan atau tengah dibangun, melainkan kawasan wisata, kawasan residensial, kawasan komersial, dan perkotaan modern.

Secara geoekonomis, Proyek Rempang Eco-City berada di sekitar pusat pasar ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand) dan salah satu alur pelayaran internasional penting di dunia, yakni Selat Malaka/Selat Singapura. Lokasi tersebut juga relatif dekat dengan China. 

Bagi para pengembang/developer real estate berskala besar, berkembangnya industri manufaktur adalah peluang baru untuk pengembangan bisnis properti, baik hunian maupun fasilitas komersial. Padahal pengembang MEG (Makmur Elok Graha) sudah sejak 2004 berkomitmen untuk mengembangkan Kawasan Rempang-Galang (Relang). 

Dengan demikian hadirnya investor China untuk membangun pabrik pengolahan pasir silika, bak botol ketemu tutup. Supply ketemu Demand.

Proyek Rempang Eco-City akan menyerap sekitar 30.000 pekerja pada tahap awal hingga 2028. dan hingga 2080 diperkiralan akan menyerap 300.000 tenaga kerja. Para pekerja ini yang cepat atau lembat beserta keluarganya akan menjadi penduduk Kawasan Rempang Eco-City. 

Jika secara rerata setiap pekerja menarik dua atau tiga penduduk baru (anggota keluarga atau kerabat, khususnya anak dan suami/istri), maka Kawasan Rempang Eco-City akan berpenduduk sekitar 100.000 jelang 2030 dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Setidaknya perlu disiapkan 30.000 unit permukiman pada tahap awal, baik berbentuk apartemen, rumah susun, atau rumah-rumah tapak. Demikian pula penduduk yang akan berjumlah 100.000 akan merupakan potensi demand untuk kawasan-kawasan komersial. Hotel-hotel dan restoran juga akan bertumbuh, karena turis-turis dari Singapura atau Malaysia besar kemungkinan akan berkunjung ke kawasan-kawasan wisata yang dikembangkan di Pulau Rempang.  

Pulau Rempang dengan luasan kurang lebih 17.000 hektare, sekitar 3 kali lipat luas BSD (Tangerang Selatan), akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan, residensial hingga wisata, yang terintegrasi, berbasis pada konsep “Green and Sustainable City”, yang mengedepankan konservasi dan mitigasi perubahan iklim.

Namun demikian, kegiatan utama yang akan menciptakan nilai tambah berada di kawasan industry Rempang dengan memproses pasir kuarsa.  Sejak 2019 sekitar 2 juta ton pasir kuarsa telah dieskpor ke China per tahunnya. 

Pasir kuarsa di lokasi tambang di Kepulauan Riau (Kepri) hanya dihargai Rp50.000 – Rp. 100.000 per ton, dan di tangan pembeli sekitar Rp. 200.000/ton, serta harga ekspor USD 32/ton ( kadar silika  99,5).  

Harga patokan mineral pasir kuarsa wilayah Kepri Rp250.000/ton, sedangkan di Ketapang, Kalimantan Rp26.415/ton, dan Sambas Rp66.000/ton. Sementara harga silikon (polisilikon atau ‘silicon ingot’) antara USD1500 – 3.000 per ton. Selain Pulau Rempang, potensi besar pasir kuarsa terapat di kabupaten Lingga dan Natuna, akan tetapi Pulau Rempang memiliki posisi geografis yang amat strategis. 

Artinya, pasokan bahan baku untuk kawasan industri Rempang tak akan ada masalah, dapat diperoleh dengan harga atau biaya relatif rendah dari mana saja. Bisa dari Pulau Rempang sendiri atau lokasi-lokasi lain.   

Menurut informasi berbagai sumber, untuk 1 ton produksi silikon, dibutuhkan bahan baku pasir kuarsa 3 ton, ‘reducing agent’ (‘coke’ dari batubara/minyak bumi) 1,5 ton, dan kayu bakar 1,5 ton serta listrik hingga 10.000 KWh. Jika harga pasir kuarsa dihitung US$ 10/ton, ‘coke’ US$ 200/ton, dan kayu bakar US$ 20/ton, serta listrik US$ 0,06 per KWh, maka biaya input antara (intermediate goods) sekira US$ 960/ton. 

Dengan harga ekspor MGS (metallurgical grade silicon) yang diharapkan US$ 2500/ton, maka nilai tambahnya US$ 1.540/ton  atau 160 dari nilai input antara.  Dengan kapasitas 200.000 ton/tahun, nilai tambah yang akan tercipta, khusus dari produksi silikon, ‘hanya’ US$ 308 juta/tahun. Maka, sangat kita harapkan bahwa Xinyi akan dapat memproduksi hingga 2 juta ton silikon/tahun, dengan nilai tambah US$ 3.080 juta atau Rp. 49,3 triliun per tahun, belum termasuk produk-produk lainnya.

Sektor-sektor lainnya yang akan tumbuh di Pulau Rempang terutama konstruksi, pariwisata, penyediaan listrik/air,  perdagangan, dan lainnya. Mungkin tidak berlebihan jika secara kesleuruhan, Proyek Rempang Eco-City diharapkan akan menciptakan nilai tambah Rp. 75 triliun/tahun dalam lima tahun mendatang, sehingga tidak juga berlebihan disebut ‘mesin pertumbuhan baru’.

Sebagai mesin/pusat pertumbuhan, di luar Jakarta dan Surabaya, posisi Batam sejatinya sudah disalip oleh Kabupaten Bekasi yang dimotori oleh kawasan industri Cikarang. PDRB Kota Batam (2023) hanya 1 PDB Indonesia atau sebesar Rp. 216 triliun saja. 

 

Bandingkan dengan PDRB Kabupaten Bekasi yang sebesar Rp394 triliun. Bahkan PDRB Kota Kediri yang hanya bertumpu pada industri rokok besar mencapai Rp168 triliun.  

2. Solusi Win-Win 

Setidaknya ada dua pihak yang amat berkepentingan dalam Proyek Rempang Eco-City, yaitu warga terdampak dan pihak investor, yang adalah MEG dan Xinyi. King dan Pucher (2021) 
mencermati bahwa strategi untuk mencapai solusi ‘win win’ yang dimotori oleh pelaku bisnis untuk masalah-masalah sosial dan lingkungan boleh jadi akan mempengaruhi profitabilitas bisnis. 

Namun demikian, intervensi pemerintah melalui BP Batam dengan segenap solusi yang mempertimbangkan keberlanjutan basis penghidupan, apresiasi kearifan lokal dan penghormatan pada leluhur, akan efektif dalam memperlancar relokasi dan mengurangi biaya transaksi bagi investor. Investor cukup beruntung karena biaya relokasi ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah melalui BP Batam.

Dari sekitar 2700 KK warga di kawasan terdampak, 5 kampung dengan 900 KK akan direlokasi terlebih dulu. Itupun bertahap, dengan tahap pertama sebanyak 300 KK menunggu selesainya rumah-rumah baru yang dibangun.

Sebagaimana diketahui, lokasi yang diplot untuk permukiman kembali warga terdampak Proyek Rempang Eco-City adalah Dapur 6 (Tanjung Banon, Rempang) dan Dapur 3 (Sijantung, Galang).  Di Dapur 3 rencana awalnya akan dibangun kampung nelayan ‘Maritime City’ seluas 471 Ha dengan 3.000 kavling. Lokasi ini masih berada di satu garis pantai dengan lokasi warga sebelumnya di Pulau Rempang. 

Setiap KK mendapatkan rumah tipe 45 senilai Rp. 120 juta beserta lahan pekarangan 500 meter persegi.  Masing-masing rumah akan dilengkapi dengan utilitas listrik dan air bersih perpipaan. Kawasan relokasi juga akan dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, sekolah, dan dermaga untuk para nelayan.
Realisasinya, yang dibangun duluan hingga awal 2025 adalah Tanjung Banon untuk 900 KK (tahap awal). Lokasi Tanjung Banon sebelumnya (2023) direkomendasikan oleh Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) bersama Menteri Investasi ketika itu, Bahlil Lahadalia.

Dalam masa transisi, sambil menunggu selesainya konstruksi rumah permanen, warga terdampak ditampung di  hunian sementara, seperti Rusun BP Batam,  Rusun Pemkot Batam, Rusun Jamsostek, dan lainnya. Pemerintah akan menanggung biaya hidup masyarakat sampai rumah tetap mereka siap, yakni biaya hidup sebesar Rp. 1,2 juta per orang/bulan, dan biaya sewa Rp. 1,2 juta/bulan.

Lokasi ‘resettlement’ yang dekat pantai ideal bagi para nelayan, dan lahan pekerangan seluas 500 meter persegi dapat dimanfaatkan untuk berbagai tanaman seperti sayuran, tanaman obat, dan tanaman buah-buahan.   

Paket kompensasi tampaknya cukup memadai dan manusiawi. Namun demikian, kebutuhan pendidikan anak-anak warga terdampak di tempat hunian sementara juga perlu disediakan, kendati secara darurat, khususnya tingkat SD.

Sejumlah warga terdampak yang telah menempati rumah baru di Tanjung Banon, mengungkapkan rasa gembiranya dan bersyukur mendapat rumah baru serta menyampaikan rasa terimakasihnya kepada BP Batam.  Terlebih , masing-masing rumah baru akan diberikan sertifikat hak milik (SHM).  

Hingga Maret,  2025, sebanyak 68 KK telah berhasil dipindahkan ke Tanjung Banon. Ratusan KK lainnya masih menunggu di hunian sementara hingga rumah baru selesai dibangun.

3. Revitalisasi Batam

Sebagai bagian dari ‘win win solution’, property right tidak hanya penting bagi pihak investor, akan tetapi juga penting bagi warga terdampak. ‘Success story’ dari warga yang telah berhasil direlokasikan ke Tanjung Banon perlu secara terus menerus disosialisasikan, demi memperlancar pembangunan PSN tersebut.

Last but not least, untuk mewujudkan Pulau Rempang sebagai mesin/pusat pertumbuhan baru, maka kelemahan Pulau Batam secara umum sebagai destinasi investasi perlu diperbaiki, khususnya sistem pengelolaan penyediaan lahan dan infrastruktur konektivitas. Kawasan Barelang (Batam – Rempang – Galang) membutuhkan kehadiran LRT, BRT, dan jalan/jembatan (tol/non-tol) ‘Barelang’. 

Pusat pertumbuhan kawasan tersebut perlu bergeser ke Rempang dan Galang, tidak terkonsentrasi di pulau Batam saja. Kawasan industri yang sudah dikembangkan sejak dasawarsa 80 an itu butuh revitalisasi.

Akhirnya, Proyek Rempang Eco-City, termasuk di dalamnya hilirisasi pasir silika,  serta proyek Wiraraja Green Renewable Energy & Smart-Eco Industrial Park di Galang, diharapkan akan mampu melipatgandakan kontribusi Batam dalam perekonomian  Indonesia dari 1 PDB menjadi 2 PDB dalam lima tahun mendatang.

Ditulis Oleh: Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB UGM

Topik Menarik