Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Terkini | tangsel.inews.id | Jum'at, 20 September 2024 - 19:30
share

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Fenomena mendukung dan memenangkan kotak kosong dalam pilkada serentak 2024, dinilai pakar politik Universitas Airlangga (Unair) sebagai bentuk kekecewaan masyarakat kepada partai politik. Pasalnya, parpol dinilai gagal dalam kaderisasi yang melahirkan pemimpin baru, dan memunculkan calon tunggal di pilkada.

Maraknya gerakan mendukung dan mencoblos kotak kosong, serta aksi demo yang dilakukan sejumlah elmen masyarakat   terkait  fenoma  kotak kosong di sejumlah daerah memantik reaksi dari sejumlah pihak. Termasuk dari kalangan akademisi, diantaranya pengamat komunikasi politik Universitas Airalangga, Dr Suko Widodo, Jumat (20/9/2024).

Suko Widodo menilai harusnya aksi demontrasi itu tidak dilakukan di kantor KPU saja, melainkan juga  pada kantor masing - masing partai politik. Pasalnya yang membuat terjadinya pilkada melawan kotak kosong merupakan partai politik. yang tak mampu menentukan pasangan calon untuk diusung pada pilkada.

“Berkaitan dengan kotak kosong itu, saya kira sasaran ekspresi ketidakpuasangannya itu mestinya  tidak di KPU, tapi pada masing-masing Parpol. Publik atau pendukung parpol ketika merasa partainya yang dipilih harusnya bisa maju mencalonkan atau mengusung sendiri, tapi kenapa kok berkoalisi dengan yang lain,” ungkapnya.

“Nah, hal ini yang membuat masyarakat merasa  kecewa, karena mereka yang memilih orang-orang di partai tapi tidak difasilitasi oleh partai politik. Jadi yang menjadikan calon tunggal itu adalah peran dari partai politik,” imbuh lelaki yang akrab disapa Sukowi ini.

 

Meski begitu, Suko Widodo juga memahami jika partai politik tak ingin paslon yang diusungnya kalah,  sehingga memilih untuk bersikap realistis. “Namun hal tersebut juga  sebagai bentuk kebuntuan komunikasi politik antara parpol dengan masyarakat,” ujarnya.

Pria berkumis tebal ini  menambahkan, proses politik seperti ini membuat partai politik tidak dipercaya publik atau masyarakat. “Ini karena partai politik harusnya sebagai wadah untuk melakukan rekruitmen calon pemimpin baru, tapi itu tidak dilakukan,” tutupnya. Kotak Kosong di Pilkada Bentuk Kegagalan Kaderisasi Parpol.

Fenomena mendukung dan memenangkan kotak kosong dalam pilkada serentak 2024, dinilai pakar politik  Universitas Airlangga (Unair) sebagai bentuk kekecewaan masyarakat kepada partai politik. Pasalnya, parpol dinilai gagal dalam kaderisasi yang melahirkan pemimpin baru, dan memunculkan calon tunggal di pilkada.

Maraknya gerakan mendukung dan mencoblos kotak kosong, serta aksi demo yang dilakukan sejumlah elmen masyarakat  terkait fenoma  kotak kosong di sejumlah daerah memantik reaksi dari sejumlah pihak. Termasuk dari kalangan akademisi, diantaranya pengamat komunikasi politik Universitas Airalangga, Dr Suko Widodo.

Suko Widodo menilai harusnya aksi demontrasi itu tidak dilakukan di kantor KPU saja, melainkan juga  pada kantor masing - masing partai politik. Pasalnya yang membuat terjadinya pilkada melawan kotak kosong merupakan partai politik. yang tak mampu menentukan pasangan calon untuk diusung pada pilkada.

 

“Berkaitan dengan kotak kosong itu, saya kira sasaran ekspresi ketidakpuasangannya itu mestinya  tidak di KPU, tapi pada masing-masing Parpol. Publik atau pendukung parpol ketika merasa partainya yang dipilih harusnya bisa maju mencalonkan atau mengusung sendiri, tapi kenapa kok berkoalisi dengan yang lain,” ungkapnya.

“Nah, hal ini yang membuat masyarakat merasa  kecewa, karena mereka yang memilih orang-orang di partai tapi tidak difasilitasi oleh partai politik. Jadi yang menjadikan calon tunggal itu adalah peran dari partai politik,” imbuh lelaki yang akrab disapa Sukowi ini.

Meski begitu, Suko Widodo juga memahami jika partai politik tak ingin paslon yang diusungnya kalah,  sehingga memilih untuk bersikap realistis. “Namun hal tersebut juga  sebagai bentuk kebuntuan komunikasi politik antara parpol dengan masyarakat,” ujarnya.

Pria berkumis tebal ini  menambahkan, proses politik seperti ini membuat partai politik tidak dipercaya publik atau masyarakat. “Ini  karena partai politik harusnya sebagai wadah untuk melakukan rekruitmen calon pemimpin baru, tapi itu tidak dilakukan,” tutupnya.

Topik Menarik