Seminar FSI dan Paramadina: Perkembangan Militer China Tingkatkan Ketegangan di Kawasan

Seminar FSI dan Paramadina: Perkembangan Militer China Tingkatkan Ketegangan di Kawasan

Terkini | sindonews | Selasa, 1 Oktober 2024 - 14:50
share

Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China untuk menjadi sebuah kekuatan militer kelas dunia dalam waktu relatif singkat dianggap sebagai sebuah perkembangan yang patut menjadi perhatian bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Apalagi seiring dengan upayanya untuk meningkatkan kapasitas militernya itu, China akhir-akhir ini cenderung menempatkan dirinya berhadap-hadapan dengan Barat, dan berpotensi menjadikan kawasan Laut China Selatan (LCS) sebagai arena pertempuran bila konflik dengan kekuatan Barat meletus pada masa mendatang. Pada sisi lain, peningkatan kekuatan militer China berpotensi pula menambah ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang sebagian wilayahnya diakui oleh China, meski pengakuan China itu bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).

Baca juga:Indonesia Lontarkan Peringatan Keras kepada China soal Laut China Selatan

Direktur riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Aisha Rasyidila Kusumasomantri, M.Sc. mengungkapkan bahwa angkatan bersenjata China kini telah menjadi salah satu militer yang sedang mengalami pertumbuhan paling pesat di dunia.

Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat dengan sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal tempur permukaan laut. Angkatan bersenjata China juga didukung oleh teknologi operasi multi-domain dan sistem otonomi berbekal Artificial Intelligence (AI) dan robot.

Namun perkembangan militer China di atas berpotensi menghadirkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain mengingat China saat ini berupaya menegakan pengakuan kepemilikannya, yang bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS), atas berbagai wilayah di LCS.

Upaya penegakan klaim kepemilikan ini dilakukan China antara lain dengan memperkuat armada penjaga pantainya, melakukan aksi agresif yang dimotori oleh kapal-kapal penjaga pantai, serta menerapkan taktik zona abu-abu (greyzone) untuk mengganggu negara-negara lain yang memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di LCS.

Aisha menekankan bahwa Indonesia sebenarnya tidak terlibat dalam klaim kepemilikan baik dengan China maupun dengan negara-negara lain di LCS. Namun Indonesia tetap saja terimplikasi, dan bisa terkena dampak bila ketegangan di LCS meningkat. Dalam pandangan Aisha, Indonesia masih memiliki beberapa pilihan dalam meresponi perkembangan di atas.

Pada satu sisi, Indonesia dapat meningkatkan diplomasi pertahanannya dengan China, antara lain dengan menjajagi kemungkinan kerja sama pertahanan antara kedua negara. Namun pada sisi lain Indonesia harus pula meningkatkan pendekatan pertahanan yang mengantisipasi perkembangan di luar Indonesia.

“Antara lain, Indonesia perlu meningkatkan bujet pertahanannya sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan di kawasan,” ujar Aisha dalam diskusi publik berjudul “Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan China: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara,” yang digagas Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI), di Jakarta, Senin, 30 September 2024.

Selain Aisha, diskusi publik kali ini menghadirkan pemerhati keamanan regional Brigadir Jenderal TNI (Purn) Victor P. Tobing, M. Si (Han), dosen Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dr. Peni Hanggraini, M.A.

Senada dengan Aisha, Peni Hanggarini, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini.

“China seolah-olah mengurangi jumlah personal angkatan bersenjatanya, tapi militer China makin kuat dalam bidang teknologi. China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” tutur penyandang gelar doktor di bidang strategi pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia ini.

Dalam pandangan Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif yang ditopang oleh upaya untuk mengejar China Dream.

Menurutnya, selain ditujukan untuk menggapai impian untuk mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usia RRC yang ke 100 pada tahun 2049, sikap 3 A yaitu ambisius, asertif, dan agresif di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat (AS). Peni menjelaskan bahwa perkembangan di atas direspons oleh negara-negara ASEAN dengan pendekatan yang berbeda-beda.

Indonesia, misalnya, masih menjalin diplomasi pertahanan dengan China, meskipun dalam taraf kerja sama pertahanan yang tergolong masih kategori tingkat rendah. Akhir kata, Peni berpandangan bahwa masih terdapat banyak ruang untuk meningkatkan diplomasi pertahanan Indonesia dengan China, baik secara bilateral maupun dalam konteks China sebagai mitra ASEAN.

Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Ph.D, menganggap posisi dampak dari proyek modernisasi angkatan bersenjata China di atas sebagai isu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia.

“Apalagi pada Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20 tahun 2022 lalu, Xi mengubah target bagi terlaksananya modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan China yang pada awalnya tahun 2035 menjadi tahun 2027,” tutur dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) itu.

Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing dalam pemaparannya memperlihatkan bahwa modernisasi militer China bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. “Ide mencanangkan modernisasi militer telah ada sejak zaman modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978,” tuturnya. Namun perbedaan yang tajam terjadi sejak Xi Jinping mencapai kedudukan tertinggi dan menjadi penguasa partai, militer, dan negara pada tahun 2012.

“Bila pada awalnya China tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak diluncurkannya buku putih kedua pada tahun 2013, China mencanangkan agar kekuatan militernya setara dengan posisi internasional China,” tuturnya. Menurut Victor, inilah yang melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika.

Dalam makalahnya, Victor juga memperlihatkan bagaimana China menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rantai kepulauan pertama pertahanan China, sedangkan wilayah Samudra Pasifik, dari mulai bagian utara Papua Barat, Palau, Guam, hingga ke Jepang sebagai rantai kepulauan kedua pertahanan negara itu.

Victor menduga China yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau yang tersebar di LCS tak akan berkesulitan untuk menguasai wilayah yang menjadi rantai kepulauan pertama pertahanannya itu.

Menurut pria yang pernah bertugas di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum danKeamaan (Kemenkopolhukam) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) itu, kehadiran kapal induk China ketiga, yaitu kapal induk bernama Fujian yang baru saja melalui uji coba beberapa bulan yang lalu, menghadirkan salah satu tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain dalam kaitan dengan modernisasi militer China.

Tantangan lainnya, menurutnya, antara lain adalah Kongres Nasional PKC ke 21, yang nampaknya hanya akan mengukuhkan Xi menjadi pemimpin China pada periode berikutnya.

“In artinya tak akan ada perubahan yang signifikan dalam hal kebijakan yang berlaku di China,” pungkasnya. Victor juga menyoroti belanja pertahanan Republik Indonesia tahun 2025 sebagai salah satu tantangan lain yang dihadapi Indonesia.

Topik Menarik