Rumuskan Regulasi, Keterlibatan Akademisi Dinilai Perlu Dimaksimalkan
JAKARTA – Partisipasi akademisi diharapkan dapat lebih dioptimalkan oleh para pengambil kebijakan dalam penyusunan regulasi. Dengan melibatkan akademisi secara aktif, pemerintah dapat memanfaatkan hasil kajian ilmiah sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan kesehatan.
Hal ini menjadi salah satu poin utama yang dibahas dalam acara Guest Lecture bertema "Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy" yang diadakan oleh Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.
Koordinator Health Policy Analysis dari Evidence-Based Health Policy Center IMERI-FKUI, Ahmad Fuady, menyampaikan bahwa keterlibatan akademisi dalam penyusunan kebijakan saat ini masih belum maksimal. Terlihat dari rendahnya tingkat pelibatan akademisi di berbagai tingkatan kebijakan, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga kebijakan daerah dan dinas kesehatan kabupaten/kota.
"Contoh di undang-undang, kita tidak bisa terapkan 100 akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” kata Ahmad dalam keterangannya, dikutip Kamis (19/12/2024).
Ahmad menjelaskan bahwa kontribusi akademisi sebesar 30 di tingkat nasional sudah tergolong signifikan. Akan tetapi, akademisi sering dilibatkan di tahap akhir, saat kebijakan sudah hampir disahkan.
"Kalau mau ditandatangani, keterlibatan akademisi baru ada. Sekarang ini bagaimana caranya keterlibatan akademisi bukan di belakang. Perlu ada proses keterlibatan yang bermakna, bukan sekadar diundang sosialisasi sementara minggu depan sudah mau diketuk baru ditanya, ada masukan apa dalam waktu singkat,” ujarnya.
Agar keterlibatan akademisi lebih efektif, Ahmad menyarankan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama, perlunya rasa saling menghormati antara akademisi dan pembuat kebijakan. Kedua, menjunjung kesetaraan dan martabat dalam kerja sama. Ketiga, memastikan prosesnya inklusif dengan melibatkan pihak yang terdampak oleh kebijakan.
“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, kita undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” katanya.
Ahmad menambahkan bahwa prinsip-prinsip ini dapat mendorong akademisi untuk menghasilkan riset berkualitas yang relevan bagi kebijakan publik. Sebaliknya, tanpa mengedepankan poin-poin tersebut, riset tidak bisa mengembangkan apa yang dibutuhkan pembuat kebijakan.
"Membangun sistem kolaborasi itu dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas riset bagus, termasuk cara pengemasan dan bahasa saat disampaikan kepada pembuat kebijakan,” imbuhnya.
Sementara itu Profesor Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama WHO, menegaskan bahwa kebijakan yang didasarkan pada bukti ilmiah biasanya lebih efektif. “Sebagai justifikasi untuk membuat keputusan yang baik,” ujarnya.
Tikki menyebut bahwa saat ini banyak lembaga pendidikan yang sudah melakukan riset dan teknologi yang bisa dijadikan rekomendasi untuk kebijakan pemerintah. Contohnya, Pemerintah Jepang yang mendukung produk tembakau alternatif seperti tembakau yang dipanaskan.
Dukungan ini muncul setelah penelitian menunjukkan produk tersebut memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
Berkat kebijakan tersebut, survei dari Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan penurunan angka perokok pada 2022. Jumlah perokok pria menurun 3,4 poin menjadi 25,4, sementara perokok wanita turun 1,1 poin menjadi 7,7.
"Kita juga memerlukan kebijakan dalam bidang kesehatan yang rasional dan proporsional. Kita harus mempromosikan alat baru (tembakau yang dipanaskan) ini untuk menurunkan jumlah perokok dan beban biaya kesehatan di Indonesia," pungkasnya.