Imparsial: Penembakan 3 Polisi Diduga oleh Oknum TNI Harus Ditangani Serius

Imparsial: Penembakan 3 Polisi Diduga oleh Oknum TNI Harus Ditangani Serius

Nasional | okezone | Rabu, 19 Maret 2025 - 09:55
share

JAKARTA – Dua kasus penembakan yang diduga dilakukan oknum anggota TNI terjadi dalam waktu berdekatan. Pada 17 Maret 2025, oknum anggota TNI AL Lhokseumawe, Kelasi Dua DI, menembak mati Hasfiani alias Imam, seorang sales mobil yang juga bekerja sebagai perawat di Puskesmas Babah Buloh, Kabupaten Aceh Utara. Kemudian, ada tiga orang polisi juga tewas ditembak oknum TNI ketika menggerebek judi sabung ayam di Way Kanan, Lampung.

Penembakan tersebut dilakukan oknum TNI yang diduga sebagai pemilik tempat sabung ayam tersebut. Salah satu korban merupakan Kapolsek Negara Batin, IPTU Lusiyanto dan dua orang lainnya yakni Bripka Petrus, dan Bripda Ghalib. Mereka tewas dengan luka tembak di bagian kepala.

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan, peristiwa penembakan yang mengakibatkan tewasnya warga sipil di Aceh Utara dan anggota Polri di Lampung harus ditangani secara serius. Perlu diingat, penggunaan senjata api yang menargetkan warga sipil apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.

Kendati pun anggota TNI tersebut mendapatkan izin kepemilikan senjata api, tetap saja penembakan ini tidak dapat dibenarkan. “Anggota TNI yang melakukan penyimpangan terkait penggunaan senjata api harus diadili sesuai hukum pidana yang berlaku, apalagi penggunaan senjata api dilakukan bukan untuk kepentingan tugas TNI,” ujar Ardi lewat siaran persnya, Rabu (19/3/2025).

Ardi mengungkapkan, bahwa penembakan yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil bukan kali ini saja. Dalam catatan Imparsial, sepanjang 2024 sampai saat ini telah terjadi setidaknya sepuluh kasus penembakan yang dilakukan oknum TNI. Penembakan ini mengakibatkan delapan orang warga sipil tewas dan 12 orang terluka parah.

Terbaru adalah kasus penembakan bos rental mobil di KM 45 Tangerang, Banten dan Penyerangan terhadap Mapolres Tarakan, yang hingga kini pelaku penembakan tersebut belum diadili. Selain itu, Imparsial menemukan sejumlah penyimpangan peran TNI di ranah sipil terus terjadi dan dibiarkan. Imparsial mencatat terdapat 41 kasus kekerasan yang melibatkan dan dilakukan oleh oknum anggota TNI sepanjang 2024 hingga kuartal 2025, dengan korban sebanyak 67 orang, 17 di antaranya meninggal dunia.

Paling banyak adalah kasus pemukulan/penganiayaan dengan 25 kasus, penembakan menyebabkan korban tewas dengan delapan kasus, penganiayaan menyebabkan korban tewas lima kasus, penembakan sewenang-wemang tiga kasus.

 

Kemudian, kasus penembakan yang terjadi di Aceh dan Lampung semakin menambah rapor merah dan daftar panjang kekerasan dan penggunaan senjata api secara ilegal yang dilakukan oknum anggota TNI. Hal ini dikarenakan tidak adanya tindakan yang tegas dalam mengadili pelaku.

“Dalam catatan kami, setiap prajurit yang terlibat dalam tindak pidana umum selalu diproses dan diadili di peradilan militer. Kami memandang, peradilan militer cenderung menjadi sarang impunitas bagi prajurit TNI karena vonis yang diberikan tidak menimbulkan efek jera sehingga menyebabkan terus berulangnya kasus kekerasan dan penembakan sewenang-wenanh yang dilakukan oleh prajurit TNI,” katanya.

Untuk itu, pihaknya selalu mendorong agar oknum anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum. Hal ini merupakan amanat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara.

Namun hingga saat ini, TNI dan Pemerintah enggan untuk melakukan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemerintah justru berupaya melakukan perubahan terhadap Pasal 65 Ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, yang nyatanya bertentangan dengan semangat dan agenda Reformasi TNI.

“Seharusnya peradilan militer hanya berwenang mengadili kejahatan/ tindak pidana militer saja, bukan tindak pidana/ kejahatan umum,” imbuhnya.

Ardi menegaskan, bahwa penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 Ayat (4) TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

 

Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tetapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

“Kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi total terhadap institusi TNI serta memperkuat pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal terhadap institusi TNI. Alih-alih memperluas kewenangan TNI melalui revisi UU TNI, Pemerintah dan DPR seharusnya fokus memperkuat pengawasan untuk memastikan reformasi TNI berjalan ke depan, memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakam hukum di institusi TNI. Revisi UU TNI seharusnya juga merevisi Pasal 74 yang menyebabkan terhambatnya proses reformasi peradilan militer saat ini,” tuturnya.

Topik Menarik