Pilkada NTT dan Visi Energi Baru Terbarukan

Pilkada NTT dan Visi Energi Baru Terbarukan

Gaya Hidup | ttu.inews.id | Rabu, 28 Agustus 2024 - 15:40
share

KUPANG,iNewsTTU.id-Semarak Pemilihan Kepala Daerah di NTT  sedang bergerak menuju puncaknya yakni pelaksanaan pemungutan suara tanggal 27 November 2024. Nyaris tiada hari dan tempat tanpa pembicaraan politik. Semua orang sepertinya mampu menjadi analis politik sesuai dengan tingkat pengetahuan masing-masing. Pilkada memang menarik untuk dibicarakan karena akan bermuara pada pemimpin yang diharapkan membawa kebaikan bagi masyarakat.

Para calon Kepala Daerah sudah mulai “mengumbar janji dan program” serta melakukan sosialisasi diri. Bagi pemilih, masa kampanye ini mestinya menjadi momentum yang sangat penting untuk mencermati visi dan misi seorang calon kepala daerah. Walaupun harus diakui bahwa ada kecenderungan pemaparan visi dan misi pada masa pilkada hanya terkesan “formalitas”, tetapi setidaknya melalui konsep berpikir para calon, masyarakat mengetahui kecerdasan seseorang untuk membawa daerah dan masyarakatnya ke arah lebih baik.

Salah satu visi yang idealnya ada dalam benak calon kepala daerah mendatang ialah penggunaan energi baru terbarukan/ EBT. Mencermati situasi  nasional dan dunia terutama terkait dengan ketersediaan energi, maka visi penggunaan energi baru terbarukan mestinya menjadi salah satu hal serius  dan menjadi prioritas. Indonesia saat ini sebenarnya sudah masuk dalam kategori darurat energi. Ungkapan “ Indonesia Darurat Energi” dikatakan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto saat peluncuran buku Perspektif, Potensi dan Cadangan Energi Indonesia di Jakarta 25 September 2018 (Kompas, 18 Juni 2023).

Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Sumber daya alam energi terbarukan meliputi panas bumi, sinar matahari, angin dan aliran dan terjunan air (Wikipedia).

Data Kementerian ESDM tahun 2023 mestinya menyadarkan pemimpin  kita akan pentingnya optimalisasi energi baru terbarukan. Penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia tahun 2022 masih 12,3 persen, padahal targetnya sebesar 15 persen. Penggunaan minyak bumi dan batu bara masih mendominasi.

Pemanfaatan EBT untuk listrik baru 0,34 persen atau belum mencapai satu persen, sementara potensinya 12,63 Giga Watt. Ketergantungan penggunaan energi di Indonesia terhadap minyak bumi masih 32,2 persen. Sementara ketergantungan pada batu bara 37,2 persen, dan gas 18,9 persen. Konsumsi BBM kini mencapai 1,5 juta barel per hari. Sedangkan ladang-ladang minyak hanya mampu berproduksi 700 ribu-800 ribu barel per hari. Cadangan devisa untuk membeli BBM itu sekitar Rp140 triliun, sedangkan subsidi energi tahun 2022 mencapai Rp502 triliun (RRI.co.id, 14 November 2023).

Dampak negatif yang mengancam penghuni planet ini dari dominannya penggunaan energi fosil ini ialah pencemaran  udara. Emisi karbon dioksida (CO2) global dari bahan bakar fosil terus meningkat dengan angka kenaikan pada 2023 sebesar 1,1. Emisi tersebut mencetak rekor, dengan torehannya sebesar 36,8 miliar ton (The Conversation, 11 Desember 2023). Dari gambaran diatas bisa disimpulkan betapa pentingnya visi seorang pemimpin untuk merubah komposisi penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan.

 

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan/ EBT. Potensi EBT seperti energi matahari (solar power plants), energi air (hydroelectric power plants) dan energi angin (wind power plants) dapat ditemukan di hampir semua daerah (Yayasan Indonesia Cerah, 31 Mei 2024).  Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi kepulauan juga memiliki semua potensi EBT diatas termasuk energi panas bumi (geothermal). Pulau Flores, memiliki potensi sumber daya panas bumi hampir 1.000 megawatt dan cadangan mencapai 402,5 MW (Kompas, 18 Juni 2023). Angin berhembus hampir sepanjang tahun, matahari menyinari daerah ini hingga 9 bulan dalam setahun. Energi listrik dari arus laut sangat berpotensi untuk dibangun.

Potensi besar energi baru terbarukan di NTT membutuhkan sentuhan seorang pemimpin yang visioner dalam hal penyediaan energi  masa depan yang ramah lingkungan. Visi EBT harus diikuti dengan kebijakan politik dan anggaran yang memadai. Memaksimalkan pemanfaatan EBT membutuhkan keberanian seorang pemimpin. Sebagai langkah awal, pemanfaatan energi matahari dapat dimaksimalkan untuk lampu jalan, lampu taman dan penerangan di lingkungan kantor pemerintah. Jika ini dapat dilakukan selain ramah lingkungan juga tentu dalam jangka panjang akan terjadi penghematan pada biaya listrik sehingga belanja daerah dapat diarahkan ke sektor lain yang lebih penting.

Jika semua kepala daerah yang terpilih nanti berkomitmen untuk melakukan transisi energi dari energi fosil kepada energi baru terbarukan secara signifikan maka kita dapat berharap bukan saja terjadi penghematan subsidi bahan bakar minyak, tetapi yang paling utama ialah akan terjadi pelambatan/pengurangan proses perubahan iklim yang diakibatkan oleh pencemaran CO2 di atmosfir. Kebijakan publik untuk optimalisasi pengunaan energi baru terbarukan sangat mendesak mengingat dampak luar biasa kenaikan suhu permukaan bumi yang dapat mengakibatkan kekeringan, gagal panen (yang berujung kemiskinan), gelombang panas serta kenaikan permukaan air laut yang berdampak pada abrasi. Sebagai daerah kepulauan, abrasi pantai akibat kenaikan permukaan air laut dapat menyebabkan lenyapnya pulau-pulau kecil.

Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan energi baru terbarukan melalui solar sel misalnya  seharusnya makin dimaksimalkan. Pemimpin yang visioner tentunya memahami bahwa transisi energi dari energi fosil ke EBT akan membawa dampak positif pada berbagai sektor kehidupan. Pemimpin daerah yang mempunyai visi EBT dapat mendorong sektor swasta serta masyarakat untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan kepada energi fosil sesuai situasi dan kondisi masing-masing.

Mimpi besar kita ialah semua desa bahkan yang paling terpencil sekalipun dapat diterangi karena tidak ada lagi alasan, desa gelap karena sulit membangun  jaringan listrik. Jika selama ini terasa tidak adil karena orang kota menikmati listrik, tapi orang desa juga terdampak perubahan iklim, maka optimalisasi EBT akan mewujudkan  keadilan iklim. 

 

                                                                                      

 

 

Topik Menarik