Pengelola Bus Pariwisata yang Terguling Akibatkan 11 Orang Tewas di Ciater Subang Jadi Tersangka

Pengelola Bus Pariwisata yang Terguling Akibatkan 11 Orang Tewas di Ciater Subang Jadi Tersangka

Berita Utama | sindonews | Selasa, 28 Mei 2024 - 00:15
share

Polda Jabar menetapkan dua tersangka baru berinisial AI dan A dalam kasus kecelakaan bus pariwisata Trans Putera Fajar di kawasan Jalan Ciater, Subang, Sabtu (11/5/2024) lalu.

Total ada tiga tersangka setelah sebelumnya, polisi lebih dulu menetapkan Sadira, selaku sopir bus sebagai tersangka.

Baca juga: Kronologi Bus Pariwisata Kecelakaan di Ciater Subang, Diduga Rem Blong, Tabrak Motor dan Minibus Lalu Terguling

Kecelakaan maut bus pariwisata ini menewaskan 11 orang, terdiri atas 9 pelajar SMK Lingga Kencana Depok, satu guru dan satu warga Subang pengendara motor itu.

Selain menyebabkan 11 orang kehilangan nyawa, kecelakaan pada Sabtu petang itu menyebabkan puluhan orang luka-luka dan sempat dirawat di RSUD Subang.

 

"Hasil gelar perkara, kami menetapkan dua orang, A dan AI sebagai tersangka karena patut diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan sengaja dan kelalaian atau kealpaan," kata Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Jabar Kombes Pol Wibowo di Mapolda Jabar, Selasa (28/5/2024).

Tersangka AI merupakan pengusaha sekaligus pemilik bengkel yang mengubah rancang bangun bus Trans Putera Fajar menggunakan surat keputusan rancang bangun karoseri berizin.

Baca juga: Breaking News! Bus Pariwisata Kecelakaan di Ciater Subang, Korban Berserakan di Jalan

Sedangkan bengkel yang dikelola AI tidak memiliki izin. Artinya, perubahan rancang bangun bus yang dilakukan Al ilegal dan melanggar hukum.

"Bengkel yang bersangkutan tidak memilik iizin untuk mengubah dimensi atau rancang bangun bus," ujar Wibowo.

Sementara tersangka A, tutur Dirlantas, adalah orang yang dipercaya AI untuk mengoperasikan bus Trans Putera Fajar.

Namun, tersangka A justru menyuruh Sadira untuk membawa bus untuk mengangkut rombongan pelajar SMK Lingga Kencana Depok.

"Yang bersangkutan (A) orang yang menyuruh sopir S (Sadira) untuk membawa bus dalam kondisi tidak laik jalan. Antara yang bersangkutan (A) dengan saudara S tidak ada ikatan kerja atau kontrak apa pun. Tersangka S adalah sopir freelance yang apabila dibutuhkan akan dihubungi oleh A," tutur Dirlantas.

Wibowo menjelaskan, Bus Trans Putera Fajar yang digunakan untuk membawa pelajar SMK Lingga Kencana Depok tersebut, tidak laik jalan. Sebab, ditemukan fakta, KIR bus tidak berlaku atau kedaluwarsa yang berakhir pada 6 Desember 2023 lalu.

"KIR kendaraan bus sudah tidak berlaku atau kedaluwarsa. Masa berlaku KIR berlaku sampai 6 Desember tahun 2023," ucapnya.

Fakta lain, ujar Dirlantas, bus tersebut pernah terbakar pada 27 April 2024 di Km 88 Tol Cipularang. Perbaikan yang dilakukan jaringan kelistrikan dan interior, sehingga tidak secara keseluruhan.

Saat terbakar, bus itu bernama Trans Maulada Jaya. Namun setelah terbakar, nama bus berubah menjadi Trans Putera Fajar.

Berikutnya, Fakta Al mengakui bus tersebut pernah terbakar dan mengusulkan untuk mengganti nama. Sebagai info, saat terbakar, bus menggunakan nama Trans Maulada Jaya.

Setelah terbakar menjadi PO Trans Putra Fajar Wisata dengan tujuan agar bus tak dikenali sehingga bisa disewakan.

"PO Trans Putera Fajar tidak terdaftar di Kemenhub. Artinya nama PO tersebut abal-abal asal tempel. Bus tersebut tidak menjadi bagian PO pariwisata manapun jadi berdiri sendiri," ujar Dirlantas.

Berdasarkan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), pemeriksaan saksi, dan ahli dengan dibantu hasil ramp check oleh Dishub Subang dan Jabar termasuk Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), didapati bahwa Bus Trans Putera Fajar AD 7524 OG tidak laik jalan.

"Kami mendapatkan empat fakta bus itu tidak laik. Pertama secara legitimasi administrasi, ditemukan fakta KIR kendaran tak berlaku atau kedaluwarsa. Masa berlaku habis 6 Desember 2023. Perlu dijelaskan, tujuan KIR ini sesuai Permenhub 2021 adalah untuk memberikan jaminan keselamatan secara teknis kepada para pengguna kendaraan bermotor," tutur Kombes Pol Wibowo.

Kemudian fakta kedua, kata Dirlantas, rem tidak berfungsi dengan baik. Kompresor yang seharusnya hanya berisi angin, setelah dicek ternyata berisi oli dan air. Jarak kanpas rem standar 0,45 sentimeter (cm) diubah menjadi 0,3 cm.

"Begitupun minyak rem. Setelah diperiksa dengan oil test indicator lampu berwarna merah. Artinya minyak rem tak laik untuk digunakan. Terjadinya kebocoran di dalam booster sehingga tekanan angin gerakan hindrolik berfungsi maksimal," ucap Dirlantas.

Fakta ketiga, ujar dia, Al mengubah rancang bangun bus. Panjang bus yang diperbolehkan 1.1650 milimeter (mm). Tapi, diubah menjadi 1.2000 mm atau lebih panjang 350 mm. Kemudian lebar yang diperbolehkan 2.470 mm diubah jadi 2.500 mm atau lebih lebar 30 mm.

Tinggi yang diperbolehkan 3.500 mm, namun diubah jadi 3.850 mm atau lebih tinggi 250 mm.

"Perubahan dimensi ini berpengaruh terhadap bobot kendaran, seharusnya 10.300 kg, karena ada perubahan dimensi, bobot bertambah jadi 11.310 kg atau lebih berat 1.010 kg atau 1 ton lebih," ujar dia.

Atas dasar fakta-fakta tersebut, tutur Dirlantas, tim penyidik terus mengumpulkan bukti termasuk memeriksa saksi, 4 ahli, 2 ahli pidana satu dari dishub dan 1 dari ATPM. Hasilnya, dua orang yang bertanggung jawab secara langsung terkait ketidaklaikan bus tersebut, yaitu, AI dan A.

Tersangka A mengatahui bus tak memiliki perusahaaan otobus pariwisata. Dia juga tahu KIR bus telah kedaluwarsa atau tak berlaku.

"A mendapatkan laporan dari S bahwa bus dalam kondisi bermasalah. Namun A tak memerintahkan untuk berhenti. Tidak ada kata ke S untuk menghentikan kendaraan," tutur dia. Berdasarkan fakta-fakta tadi, kata Kombes Pol Wibowo, penyidik memiliki tiga alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu, saksi, ahli, dan dokumen atau surat.

"Tersangka A dan AI patut diduga melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu, dengan sengaja melakukan kelalaian atau kealpaan. Kedua tersangka dikenakan Pasal 311 UU Lalu Lintas junto Pasal 55 KUHP subsidair dan atau Pasal 359 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara 12 tahun atau denda Rp24 juta dan atau pidana penjara selama 5 tahun," tegas Dirlantas.

Topik Menarik