Praktisi Hukum Sebut Ada Kejanggalan pada Kasus Dugaan Korupsi Pertamina
JAKARTA, iNews.id - Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina pada periode 2018-2023 terus menjadi sorotan sejak pertama kali diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin, 24 Februari 2025.
Kasus ini mencampurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite pada 2018-2023. Dengan modus tersebut, Pertamina Patra Niaga disebut telah merugikan negara Rp193,7 triliun untuk periode 2023, sehingga nilai kerugian akan lebih besar. Namun, total kerugian selama 5 tahun belum diungkapkan secara spesifik.
Menanggapi hal tersebut, Praktisi Hukum Petrus Selestinus mengatakan, kasus ini menjadi tanda tanya besar karena telah terjadi sejak 2018 dan baru terungkap pada 2025. Padahal, Pertamina memiliki pengawasan yang berlapis. Belum lagi, adanya pengawasan di Kementerian ESDM dan BUMN yang berujung menjadi tanda tanya bagi publik mengenai bagaimana pengawasan selama ini berlangsung.
“Kalau misalnya tidak pernah terjadi sesuatu dengan kerugian Rp1.000 triliun, maka ini juga mengherankan, kok ini didiamkan. Apa didiamkan karena para pejabat sana menganggap sebagai sesuatu yang wajar, atau didiamkan karena semua kebagian. Jadi ini, sebuah tanda tanya besar yang seharusnya dari pihak kejaksaan menjelaskan, tapi sampai sekarang kita belum mendapatkan penjelasan,” kata Petrus dalam talkshow Speak After Lunch yang disiarkan iNews.
Menurut Petrus, mengenai kasus dugaan korupsi ini juga tidak ada penjelasan dari BPK maupun BPKP bahwa telah ada kerugian negara. Padahal, unsur kerugian negara merupakan unsur esensial bagi kasus tindak pidana korupsi.
“Karena belum ada penjelasan resmi atau klarifikasi ini sudah diaudit atau belum, kemudian sudah ditetapkan sebagai tersangka, ini juga suatu kejanggalan,” ucapnya.
Selain itu, Petrus juga menyoroti beberapa kejanggalan lainnya, seperti kerugian konsumen dan istilah pencampuran bahan bakar minyak Pertamax dan Pertalite yang digunakan oleh Kejaksaan Agung.
Antara Oplosan dan Blending
Awal kasus dugaan korupsi Pertamina diungkap, Kejaksaan Agung menyebut jika adanya modus mengoplos bahan bakar minyak berjenis Pertamax dengan Pertalite. Namun, setelah hasil pemeriksaan beberapa ahli, istilah tersebut bergeser menjadi blending. Karenanya, Petrus menyebut, seharusnya Kejaksaan Agung dapat lebih dulu memastikan antara blending atau oplosan.
Istilah oplosan dan blending ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli, ada yang menyebut tidak ada perbedaan, tapi ada juga yang mengatakan jika kedua istilah tersebut berbeda. Menanggapi hal ini, Petrus menuturkan blending tersebut sudah sesuai dengan aturan pemerintah.
“Kalau oplos itu pencampurannya tidak sesuai dengan peraturan Kementerian ESDM, sedangkan blending sesuai aturan karena tujuannya untuk meningkatkan kualitas bahan bakar,” tuturnya.
Karena di peraturan Kementerian ESDM tentang campuran, lanjutnya, tidak bilang oplosan dan itu pasti ada kriteria-kriteria bahan yang boleh dilakukan pencampuran. Dari pergeseran istilah ini, Petrus juga meminta Kejaksaan Agung memberikan penjelasan lebih lanjut pada masyarakat.
Petrus juga menilai, pada kasus blending ini seharusnya kerugian konsumen didahulukan dan tidak hanya fokus pada kerugian negara. Mengingat, kasus ini berkaitan langsung dengan masyarakat yang menjadi konsumen Pertamina.
“Harusnya kerugian rakyat itu didahulukan, baru kerugian negara. Ini juga merupakan sebuah tanda tanya yang harus dijelaskan Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Petrus menilai bisa jadi hasil akhir nanti bukan lagi tindak korupsi tapi pelanggaran UU Perlindungan Konsumen.
Di tengah berbagai kejanggalan kasus dugaan korupsi Pertamina Patra Niaga yang diselidiki oleh Kejaksaan Agung, Petrus berharap Kejaksaan Agung yang mengemban tugas kekuasaan negara di bidang penegakan hukum khususnya di penuntutan dan tugas-tugas lain sebagaimana diatur oleh undang-undang tidak mudah untuk diintervensi.