Revisi UU Perkoperasian Tanpa Arah? Pengamat Sebut Butuh Blue Print

Revisi UU Perkoperasian Tanpa Arah? Pengamat Sebut Butuh Blue Print

Terkini | sindonews | Jum'at, 21 Februari 2025 - 14:55
share

Pengamat koperasi, Dewi Tenty Septi Artiany menyampaikan beberapa pokok pandangan terkait perkembangan koperasi di Indonesia. Menurutnya dari segi peraturan perkoperasian di Indonesia sudah sangat istimewa, dimana sudah disediakan panggung selaras dengan pasal 5 pancasila dan pasal 33 UUD 45

Menurutnya Indonesia merupakan negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia. Perkembangan jumlah koperasi dan anggota koperasi dari tahun 2013 hingga tahun 2018 mengalami peningkatan signifikan.

Namun terang dia, hal itu belum mampu menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional karena sumbangsih koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 5,1 saja. Pertumbuhan kuantitas koperasi di Indonesia tidak disertai dengan pertumbuhan kualitas yang baik sehingga banyak koperasi pasif.

”Dibandingkan negara-negara lain seperti misalnya Denmark, Jepang dan Amerika, Kenya saja 50 PDB-nya dari Koperasi, Indonesia masih sangat lambat kemajuannya, hanya menang dari segi jumlah,” jelas saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Baleg DPR RI terkait penyusunan revisi Keempat UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992.

Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju dan menjadikan koperasi benar-benar sebagai soko guru perekonomian, Dewi Tenty mempertanyakan revisi RUU Perkoperasian di Indonesia yang dilakukan tanpa arah. Alasannya karena terang dia, tidak adanya blue print sehingga goal dan targetnya tidak jelas menjadi penyebab ketika menyusun UU selalu dibatalkan.

“Harus ada komitmen kuat dari pemimpin dalam hal ini Presiden untuk memberikan yang terbaik dalam menyusun perekonomian kerakyatan,” jelasnya.

Saat ini Ia melihat sumbangan 5 ke PDB sebagian didominasi oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Padahal seharusnya usaha koperasi yang berkembang berbasis Koperasi Produksi dan Koperasi Konsumen.

“Kalau Bung Hatta masih ada, mungkin nangis, ketika beliau menggagas koperasi karena melihat Indonesia memiliki dua sumber daya alam dan sumber daya manusia yang luar biasa,” tuturnya.

Menurut Dewi Tenty, seharusnya koperasi yang subur tumbuh di Indonesia adalah koperasi konsumsi, produksi dan ini sejalan dengan program makan siang gratis yang seharusnya melibatkan koperasi konsumsi dan produksi yang mensupport program tersebut.

Parahnya lagi di Indonesia, koperasi dipandang sebagai lembaga charity, sebagai contoh koperasi karyawan yang ada, hanya menjadi pelengkap misalnya untuk menyediakan konsumsi, jadi bukan sebagai koperasi yang memiliki usaha yang besar.

“Kalau di Korea, koperasinya membuat suku cadang dari mobil tersebut, bukan sekedar menjadi pelengkap saja,” tambahnya.

Karena itu diperlukan rebranding koperasi, bagaimana menarik masyarakat nabung dan belanja di koperasi. Saat ini yang terjadi koperasi sebagai tempat meminjam uang.

“Koperasi harus menjadi sebuah ekosistem menjadi tempat menabung, berbelanja bagi masyarakat, sebagai lembaga yang memudahkan kehidupan masyarakat,” jelasnya.

Terkait dengan UU Perkoperasian, Dewi Tenty juga memberikan masukan terkait prinsip-prinsip koperasi salah satunya adalah mandiri. Ia mengutarakan, mandiri ini sering diterjemahkan memiliki otonomi yang tidak boleh diintervensi oleh peraturan lain. “Padahal koperasi adalah badan hukum yang harus taat kepada peraturan,”cujarnya.

Kemudian soal permodalan, menurutnya harus menjadi perhatian serius karena setelah UU Cipta Kerja terjadi perubahan dalam struktur permodalan.

“Selain itu harus juga dibuka sekat antara simpanan pokok dan simpanan wajib, karena itu yang bisa membuat koperasi hidup bukan hanya dari simpanan pokok dan simpanan wajib, seperti misalnya koperasi multi pihak, dimana suatu kelompok memberikan modal untuk koperasi tinggal diatur yang benar,” jelasnya.

Masalah yang juga penting adalah soal sanksi pidana, jika memang terjadi tindak pidana penipuan seperti misalnya yang dilakukan oleh delapan koperasi yang merugikan hingga ratusan triliun, maka pelakunya bisa dikenakan pasal pidana.

“Sanksi pidana ini diperlukan, jika memang terjadi penipuan dan penggelapan hal ini juga untuk melindungi anggota koperasi tersebut,” ujarnya.

Apalagi koperasi mengelola uang anggota yang nilainya sampai triliunan. Sering ditemukan fakta di lapangan bahwa koperasi digunakan untuk mensiasati usaha, nama koperasi dipakai untuk menerima proyek, mengerjakan usaha karena disyaratkan lembaganya koperasi dan sebagainya.

Dewi Tenty meminta hal tersebut agar dibenahi, karena merusak nama dan kredibilitas dari koperasi. “Jadi kita main kucing-kucingan karena tidak adanya blue print koperasi ini mau ke arah mana,” pungkasnya.

Blue Print ini yang akan menentukan tujuan koperasi kemana, sehingga ketika alamatnya sudah jelas, tinggal mengelola dan mengembangkan ekosistemnya.

Topik Menarik