Mengapa Bulan Juli Cuaca Sangat Panas? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Mengapa Bulan Juli Cuaca Sangat Panas? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Teknologi | sindonews | Minggu, 28 Juli 2024 - 11:00
share

Cuaca panas belakangan membuat banyak orang di berbagai belahan dunia menderita, termasuk di Indonesia. Tak hanya kegerahan, bahkan banyak korban jiwa berjatuhan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa bulan Juli cuaca sangat panas?

Memang saat ini mayoritas belahan dunia mengalami musim panas. Namun, panas yang menerjang sungguh tak biasa. Belakangan terungkap bahwa Bumi baru saja mencetak rekor baru. Hari terpanas di planet Bumi telah terpecahkan dalam sejarah. Tepat 22 Juli 2024 para ilmuwan iklim menemukan suhu tertinggi. Rekor sebelumnya ditetapkan sehari sebelumnya, yakni 21 Juli 2024. Artinya, Bumi baru saja mengalami dua hari terpanas dalam sejarah.

Dilansir dari Study Finds, pada 22 Juli 2024, suhu rata-rata global harian Bumi melonjak hingga 17,16C. Data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) ini mencatat rekor baru karena mengalahkan rekor suhu planet sebelumnya sebesar 17,09C.

Gelombang panas tercatat telah melanda Amerika Serikat, Meksiko, Eropa, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Panas ekstrem telah menyebabkan lebih dari seribu kematian, gangguan kesehatan massal, hingga penutupan sekolah.

Juli secara historis adalah bulan terpanas dalam setahun, di mana di beberapa bagian Belahan Bumi Utara, suhu secara teratur melebihi 40C. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, Juli 2023 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat, kemungkinan bulan terpanas dalam setidaknya 120.000 tahun terakhir, dan tahun ini Juli sudah berada di jalur untuk menjadi salah satu yang terpanas juga.

Lantas mengapa bulan Juli cuaca sangat panas?

Aljazeera melaporkan, banyak penyebab yang menjadikan cuaca sangat panas di bulan Juli hingga menahbiskan bulan ini sebagai bulan terpanas selama setahun. Di antaranya karena perubahan iklim serta faktor alam.

1. Kemiringan Aksial dan Solstis Musim Panas

Bumi miring 23,5 derajat pada porosnya saat mengorbit matahari. Hal ini mengakibatkan variasi jumlah cahaya matahari pada waktu-waktu yang berbeda sepanjang tahun, yang menciptakan perubahan musim.

Musim panas astronomis dimulai pada solstis musim panas, yaitu sekitar 20 atau 21 Juni di Belahan Bumi Utara dan sekitar 21 atau 22 Desember di Belahan Bumi Selatan. Ini adalah hari ketika matahari mencapai titik tertinggi di langit pada tengah hari, menyebabkan hari terpanjang dan malam terpendek dalam setahun.

Bagian Bumi yang menerima jumlah cahaya matahari langsung terbanyak adalah 23,5 derajat di atas ekuator, yang dikenal sebagai Garis Balik Utara. Garis ini melintasi Meksiko, Bahama, Mesir, Arab Saudi, dan India di antara negara-negara lain, yang berkontribusi pada musim panas yang sangat panas.

Di kota-kota paling utara di sekitar Lingkaran Arktik, matahari tidak terbenam antara akhir Mei dan akhir Juli dalam fenomena yang dikenal sebagai matahari tengah malam. Sebaliknya, selama bulan-bulan musim dingin, lokasi yang sama mengalami malam kutub, di mana matahari tetap berada di bawah cakrawala antara akhir November dan akhir Januari.

Mengapa Sore Lebih Panas daripada Tengah Hari?

Selama bulan-bulan musim panas, lebih banyak energi matahari diserap ke dalam tanah, yang memanaskan udara di sekitarnya dan menyebabkan suhu yang lebih hangat. Keterlambatan waktu antara pemanasan dan pelepasan ini dikenal sebagai lag musiman.

Permukaan Bumi, terutama badan air besar seperti lautan, yang mencakup 70 persen dari permukaan Bumi, memerlukan waktu untuk menyerap panas dari matahari dan kemudian melepaskannya. Ini menjelaskan mengapa suhu puncak hari terjadi di sore hari, bukan pada tengah hari, dan mengapa Juli, bukan Juni, biasanya mengalami suhu rata-rata tertinggi.

"Beberapa hari terakhir ini, cuaca cerah mendominasi hampir di seluruh pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan. Angin dominan dari arah timur hingga tenggara membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia ke Indonesia sehingga kurang mendukung proses pertumbuhan awan," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Situasi tersebut menyebabkan langit menjadi cerah sepanjang hari. Sementara kurangnya tutupan awan pada malam hari menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa ada hambatan, mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan. Selain itu, angin yang tenang di malam hari menghambat pencampuran udara, sehingga udara dingin terperangkap di permukaan bumi. "Daerah dataran tinggi atau pegunungan cenderung lebih dingin karena tekanan udara dan kelembaban yang lebih rendah," katanya.

Fenomena suhu dingin ini terjadi jelang Puncak musim Kemarau di Bulan Juli-Agustus, terkadang bisa sampai September akibat Angin Monsun Australia yang bertiup menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih rendah (dingin), Angin Monsun Australia ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air, apalagi pada malam hari di saat suhu mencapai titik minimumnya. Selanjutnya mengakibatkan suhu udara di beberapa wilayah di Indonesia terutama Wilayah Bagian Selatan Khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa lebih dingin, orang Jawa menyebutnya Mbedhidhing, Wilayah di Pulau Jawa yang terasa lebih dingin adalah Pegunungan Bromo (Wilayah Bromo,Tengger dan Semeru), Pegunungan Sindoro-Sumbing (Kota Wonosobo dan Temanggung) dan Wilayah Lembang Bandung.

Guswanto mengungkapkan disamping Monsun Australia, fenomena tersebut di atas juga disebabkan oleh faktor Posisi Geografis, Kondisi Topografis, Ketinggian Wilayah, dan Kelembaban udara yang relatif kering. Selain itu pada bulan Juni - Agustus posisi sudut datang dari sinar matahari sedang berada di posisi terjauh dari Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian Selatan Khatulistiwa.

Topik Menarik