China Bantah kalau Mantan Presiden Filipina Duterte Minta Suaka
China membantah laporan bahwa mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah meminta suaka dari Beijing sebelum ditangkap oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tetapi diduga ditolak.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun mengatakan: "Pemerintah China tidak pernah menerima permohonan suaka dari dia (Duterte) dan keluarganya."
Guo menambahkan bahwa Kantor Komisioner Kementerian Luar Negeri di Hong Kong dan Filipina telah menanggapi kunjungan Duterte ke Hong Kong, yang merupakan liburan pribadi.
Klarifikasi tersebut muncul di tengah kekhawatiran yang disampaikan oleh putri Duterte dan Wakil Presiden Sarah Duterte bahwa ayahnya dapat dibunuh jika ia kembali ke rumah.
Namun, kantor kepresidenan Filipina menepis kekhawatirannya sebagai "tidak berdasar."
Duterte diadili di ICC atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan selama apa yang disebut perang melawan narkoba. Ia membantah tuduhan tersebut. Ia ditahan awal bulan ini ketika ia kembali dari Hong Kong. Ia segera dibawa ke Den Haag untuk diadili.
Sebelumnya, mantan juru bicara kepresidenan Harry Roque mengatakan bahwa “tidak mungkin” bagi mantan Presiden Rodrigo Duterte untuk mencari suaka di China dan Hong Kong.
Roque mencatat bahwa China tidak menerapkan Konvensi tentang Hak Pengungsi dan Pencari Suaka tahun 1951.
“Tidak mungkin bagi Duterte untuk mengajukan permohonan di sana karena tidak ada mekanisme untuk mengajukan suaka di China dan Hong Kong,” kata Roque dalam sebuah unggahan Facebook dalam bahasa Filipina, dilansir Inquirer.
Roque berkomentar ketika GMA News melaporkan bahwa Duterte mencoba mencari suaka sebelum ia ditangkap oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Wakil Presiden Sara Duterte sebelumnya membantah bahwa Duterte mencari suaka ke China.
Duterte ditangkap di Bandara Internasional Ninoy Aquino pada hari Selasa, 11 Maret dan sejak itu ditahan di ICC.
Perang narkoba yang terjadi selama masa jabatan presiden Duterte telah merenggut sedikitnya 6.000 nyawa, menurut data resmi pemerintah.
Namun, pengawas hak asasi manusia dan jaksa ICC memperkirakan jumlah korban tewas antara 12.000 dan 30.000 dari tahun 2016 hingga 2019, karena mereka mencatat bahwa banyak dari insiden ini merupakan pembunuhan di luar hukum.