Robohkan Firewall Besar China, Aktivis Wuhan Cari Suaka ke Belanda
Tembok Api Besar China, istilah untuk sistem penyensoran internet yang canggih dan terus berkembang, telah lama mencegah warga China dalam mengakses informasi global secara bebas.
Namun, seorang pemuda dari Wuhan, Gan Wenwei, telah muncul sebagai pembangkang digital, membantu jutaan netizen China melewati batasan yang diberlakukan negara.
Mengutip dari The Singapore Post, Kamis (20/3/2025), Gan Wenwei menjadi sasaran otoritas China karena tindakannya, dan sekarang dirinya sedang berusaha mencari suaka politik di Belanda.
Perjalanan Gan Wenwei dalam aktivisme siber dimulai seperti banyak anak muda China yang tumbuh dalam ekosistem digital yang dikontrol ketat.
Dibesarkan di Wuhan, kota yang terkenal akan sejarah budayanya yang kaya tetapi sekarang terkenal terkait dengan pandemi Covid-19, Gan Wenwei menunjukkan minat awal pada teknologi dan pengkodean. Tidak seperti banyak rekannya, dia menyadari kekuatan informasi yang sangat besar dan bahaya yang ditimbulkan oleh narasi yang dikendalikan negara.
Tembok Api (Firewall) Besar China bisa dibilang merupakan sistem penyensoran internet paling luas dan canggih di dunia, yang memblokir akses ke berbagai platform global seperti Google, YouTube, Facebook, Twitter, dan berbagai media berita Barat terkemuka.
Meski jaringan privat virtual (VPN) dan layanan proksi menyediakan sejumlah cara untuk menghindarinya, pemerintah China secara agresif menutup berbagai alat ini dan menghukum mereka yang menggunakan atau mendistribusikannya.
Namun, Gan Wenwei melawan pihak berwenang. Melalui kombinasi inovasi teknologi dan aktivisme digital, dia mengembangkan berbagai alat dan platform yang memungkinkan jutaan warga China mengakses internet secara terbuka, bebas dari pengawasan dan penyensoran pemerintah.
Upaya Gan Wenwei membuatnya mendapatkan pengikut setia di kalangan aktivis pro-demokrasi, mahasiswa, dan warga biasa yang mendambakan informasi tanpa filter.
Kebebasan Internet
Selama bertahun-tahun, otoritas China telah terlibat dalam kampanye tanpa henti untuk menghancurkan kebebasan internet.China menggunakan berbagai alat penyensoran canggih yang digerakkan oleh kecerdasan buatan (AI), pasukan polisi siber, dan hukuman berat untuk mencegah individu merusak Tembok Api tersebut. Meski ada risiko itu, tokoh seperti Gan Wenwei terus melawan.
Seiring dengan meningkatnya pengaruh Gan Wenwei di dunia maya, pengawasan pemerintah pun meningkat.
Menurut laporan, otoritas China menuduhnya "membahayakan keamanan nasional" dan "menyebarkan propaganda antinegara”, tuduhan yang biasa digunakan untuk membungkam para pembangkang.
Namanya masuk dalam daftar pemberontak digital yang terus bertambah yang telah menghadapi penangkapan, pelecehan, atau penghilangan paksa.
Karena khawatir akan keselamatannya, Gan Wenwei melarikan diri dari China dan mencari suaka di Belanda, negara yang dikenal karena pendiriannya yang kuat tentang hak asasi manusia dan kebebasan digital.
Kasusnya telah menarik perhatian internasional, menyoroti meningkatnya ketegangan antara kebijakan digital otoriter China dan perjuangan global untuk kebebasan internet.
Kisah Gan Wenwei
Ini adalah bagian dari pertempuran global yang lebih besar antara pemerintah otoriter yang berusaha mengendalikan ruang digital dan aktivis yang mengadvokasi akses informasi tanpa batas.Model represi internet China telah mengilhami rezim otoriter lain untuk menerapkan tindakan keras digital serupa.
Negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara telah mengembangkan versi penyensoran digital mereka sendiri, sering kali berkolaborasi dengan China dalam teknologi pengawasan dan Tembok Api.
"Klub internet otoriter" yang berkembang ini menghadirkan ancaman mengerikan bagi gagasan web yang bebas dan terbuka. Di saat yang sama, perusahaan teknologi dan aktivis di seluruh dunia terus mengembangkan tindakan balasan.
Jaringan Tor, layanan VPN terdesentralisasi, komunikasi berbasis blockchain, dan aplikasi pengiriman pesan terenkripsi semuanya berperan dalam menghindari penyensoran negara.
Namun, seperti yang terlihat di China, pemerintah menginvestasikan sumber daya yang signifikan ke dalam sistem pemantauan bertenaga AI untuk mengalahkan alat-alat ini.
Kasus Gan menggarisbawahi taruhan tinggi dari perlombaan senjata digital ini. Jika otoritas China berhasil menghukumnya, itu akan mengirimkan pesan mengerikan kepada pejuang kebebasan digital lainnya.
Di sisi lain, jika permohonan suaka Gan Wenwei diterima Belanda, maka hal itu dapat mendorong lebih banyak aktivis untuk menentang kebijakan internet represif China.
Pembela HAM
Belanda telah lama menjadi pembela hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan digital. Namun, pemberian suaka kepada Gan Wenwei bukan sekadar keputusan kemanusiaan—tetapi juga keputusan geopolitik.China memiliki sejarah memberikan tekanan diplomatik dan ekonomi pada negara-negara yang menampung para pembangkang.
Pemerintah Belanda, meski merupakan pendukung kebebasan berbicara, harus mempertimbangkan risiko membuat China marah.
China adalah mitra dagang terbesar kedua Uni Eropa, dan pembalasan ekonomi terhadap Belanda dapat menimbulkan dampak signifikan.
Meski ada pertimbangan ini, Belanda sebelumnya telah memberikan suaka kepada individu yang dianiaya oleh rezim otoriter, termasuk para pembangkang China.
Jika otoritas Belanda menyetujui permohonan Gan Wenwei, itu akan menandakan komitmen kuat untuk melindungi hak digital.
Sebaliknya, penolakan dapat menjadi preseden berbahaya, yang membuat negara lain enggan menawarkan perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari penindasan internet di China.
Tirai Besi China
Permohonan suaka Gan Wenwei menimbulkan pertanyaan kritis tentang masa depan kebebasan internet di China—apakah tindakan penyensoran agresif Beijing pada akhirnya akan menekan perbedaan pendapat, atau apakah aktivis digital akan terus menemukan cara baru untuk mengakali kendali negara?Pemerintah China tidak menunjukkan tanda-tanda melonggarkan cengkeramannya terhadap informasi. Sebaliknya, mereka menggandakan kemajuan teknologi untuk meningkatkan pengawasan dan penyensoran.
Diperkenalkannya “Undang-Undang Keamanan Siber” dan “Undang-Undang Keamanan Data” semakin memperketat kendali negara atas aktivitas daring, sehingga semakin mempersulit para pembangkang untuk beroperasi.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada tembok—digital atau fisik—yang dapat tetap tidak dapat ditembus selamanya.
Sama seperti Tembok Berlin yang akhirnya runtuh, Tembok Api Besar China pun mungkin runtuh, meski mungkin tidak dalam semalam.
Selama masih ada individu seperti Gan Wenwei yang bersedia menantang sistem, perjuangan untuk kebebasan digital akan terus berlanjut.
Kisah Gan Wenwei adalah bukti keberanian mereka yang berani menentang penindasan digital.
Permohonan suaka di Belanda bukan hanya tentang keselamatan pribadinya—ini adalah pertempuran simbolis atas masa depan kebebasan internet di China dan sekitarnya.
Masyarakat internasional menghadapi pilihan kritis. Akankah negara-negara demokratis membela para pembangkang digital seperti Gan Wenwei, atau akankah mereka tunduk pada tekanan ekonomi dan diplomatik dari negara-negara otoriter?
Keputusan yang dibuat di Belanda dapat menjadi preseden bagi bagaimana dunia menanggapi tirai besi digital China di tahun-tahun mendatang.
Apa pun hasilnya, satu hal yang jelas: perjuangan untuk kebebasan internet masih jauh dari selesai, dan selama orang-orang seperti Gan Wenwei terus melawan, impian tentang web yang bebas dan terbuka tetap hidup.