Kisah Jenderal Kostrad Rudini Geser 3 Jenderal hingga Melenggang Kariernya Jadi KSAD
PERGANTIAN pucuk pimpinan di tubuh TNI Angkatan Darat selalu menjadi sorotan publik. Biasanya, muncul sejumlah nama yang dianggap memiliki peluang besar untuk menduduki posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Hal serupa terjadi pada tahun 1983, ketika tiga jenderal senior yang memiliki rekam jejak militer yang gemilang disebut-sebut berpotensi menggantikan Jenderal TNI Poniman sebagai KSAD.
Ketiga nama tersebut adalah Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Sudarman, dan Himawan Soesanto.
Dalam buku biografi Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo, disebutkan bahwa Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal M Jusuf awalnya ingin pengganti Poniman berasal dari perwira terbaik lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta.
Di antara tiga kandidat tersebut, Himawan Soesanto menjadi salah satu nama yang paling santer dibicarakan. Hal ini tidak mengherankan mengingat jenderal asal Jawa Timur itu memiliki pengalaman tempur yang mengesankan.
Niat Sholat Tarawih dan Witir Berjamaah dan Sendiri: Jangan Sampai Salah! Ini Bacaan yang Benar
Saat masih berpangkat mayor, Himawan memimpin Batalyon 330/Kujang dari Kodam Siliwangi dalam operasi militer di Sulawesi Selatan. Dalam tugas tersebut, ia berhasil menumpas kekuatan pemberontak Andi Selle di Pinrang.
Tak hanya itu, Himawan juga berjasa menyelamatkan Jenderal M Jusuf dari hujan peluru yang dilepaskan anak buah Andi Selle.
Saat itu, M Jusuf yang menjabat Pangdam Hasanuddin nyaris kehilangan nyawa setelah negosiasi damai dengan Andi Selle berujung pada baku tembak.
Namun, kenyataannya, tidak satu pun dari ketiga jenderal tersebut yang akhirnya terpilih sebagai KSAD.
Justru, sosok yang dipilih adalah seorang jenderal yang lebih muda dari mereka dan menempuh pendidikan militer di Breda, Belanda.
Orang tersebut adalah Jenderal Rudini, yang pada saat itu menjabat sebagai Pangkostrad. Akhirnya, pria kelahiran Malang itu resmi menjadi KSAD untuk periode 1983-1986.
Menurut Jenderal M Jusuf, nama Rudini muncul langsung dari Presiden Soeharto. Tugas Jusuf hanyalah memanggil mantan Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders itu ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.
Truk Pengangkut Tabung LPG Seruduk Minibus dan Rumah Warga, 3 Korban Dilarikan ke Rumah Sakit
Saat dipanggil oleh Panglima, Rudini sendiri tidak mengetahui alasan dirinya dipanggil. Ia pun merasa tegang menunggu perintah Jenderal M Jusuf. Betapa terkejutnya ia saat diberitahu bahwa dirinya telah ditunjuk sebagai KSAD.
“Kamu nanti menggantikan Poniman sebagai KSAD. Pelantikan oleh Presiden akan dilakukan dua hari lagi di Istana Negara,” ujar M Jusuf seperti yang tertulis dalam buku tersebut.
Mendengar hal itu, meski masih terkejut, Rudini hanya memberikan jawaban singkat, “Siap, Pak.”
Usulan Ibu Negara Tak Terwujud
Dalam buku biografinya Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, Prabowo mengisahkan bahwa rencana pergantian KSAD ternyata juga sempat terdengar oleh Ibu Negara, Tien Soeharto.Pada suatu jamuan makan malam di Jalan Cendana, Bu Tien menyampaikan harapannya kepada Presiden Soeharto agar Pangdam Udayana, Mayjen Dading Kalbuadi, yang terpilih sebagai KSAD.
“Itu lho Pak, yang bagus itu Pangdam Bali, Pak Dading. Tinggi, gagah, dan tampan. Cocok, sebaiknya dia yang jadi KSAD,” ujar Bu Tien seperti yang ditirukan oleh Prabowo.
Mendengar hal itu, Pak Harto hanya tersenyum. Pada kesempatan makan malam berikutnya, Bu Tien kembali mengungkapkan harapan yang sama.
Namun, lagi-lagi, Pak Harto hanya tersenyum dan berkata, “Masih digodok.”
Tak lama setelah itu, media massa memberitakan bahwa KSAD baru telah dipilih. Sosok tersebut adalah Rudini. Saat kembali menghadiri jamuan makan malam bersama Prabowo, Bu Tien terlihat kecewa.
“Bapak itu enggak mau dengar saran Ibu,” ucapnya kepada Prabowo.
Profil Jenderal TNI Rudini
Rudini lahir di Malang pada 15 Desember 1929. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, ia sempat berkuliah di Jakarta karena keinginan orang tuanya agar menjadi dokter. Namun, hatinya tetap tertuju pada dunia militer.Ia pernah mencoba mendaftar sebagai prajurit TNI AU, tetapi gagal karena tidak memenuhi syarat tinggi badan. Hingga akhirnya, pada Agustus 1951, ia mendengar kabar bahwa TNI AD membuka pendaftaran untuk pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda.
Kesempatan itu dimanfaatkannya dengan baik. Selama menjalani pendidikan, ia sempat tergabung dalam korps perhubungan sebelum akhirnya dipindahkan ke infanteri.
Sepulang dari Belanda, berbagai tugas dijalaninya. Karier militernya lebih banyak dihabiskan di satuan elite Kostrad. Ia pernah terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Setelah menyelesaikan Kursus Lanjutan Perwira di Bandung, Rudini mendapat kepercayaan sebagai Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders, yang pada 1968 menjadi bagian dari Kostrad.
Berbagai jabatan strategis pernah diembannya, termasuk sebagai Kepala Staf dan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad, Kepala Staf dan Panglima Komando Tempur Lintas Udara, Kas Kostrad, hingga Pangdam XIII/Merdeka.
Kariernya semakin bersinar ketika dipercaya menjadi Pangkostrad, posisi yang sebelumnya pernah dipegang oleh Soeharto. Dari sinilah jalan menuju kursi KSAD terbuka lebar.
Setelah pensiun dari dunia militer, Rudini melanjutkan kiprahnya di pemerintahan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, lalu menjadi Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU), yang kini dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jenderal Rudini menghembuskan napas terakhir di Jakarta pada 21 Januari 2006.