Dari Deflasi menuju Resesi: Lampu Kuning Ekonomi Indonesia
Arjuna Putra AldinoKetua Umum DPP GMNI
BADAN Pusat Statistik (BPS) kembali mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2025 mencetak deflasi 0,48 secara bulanan (month to month/mtm). Deflasi kali ini adalah deflasi yang ketujuh kalinya sejak Mei 2024 - September 2024 terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut, dengan angka 0,03 (Mei), 0,08 (Juni), 0,18 (Juli), 0,03 (Agustus), dan 0,12 (September) serta Januari 2025 kembali tercatat deflasi sebesar 0,76.
Deflasi Februari tahun ini terbilang sebagai sebuah fenomena yang anomali, mengingat terjadi satu bulan menjelang Ramadhan, di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat. Sebagai perbandingan pada Februari tahun lalu yang juga menjelang Ramadhan, BPS justru mencatat terjadinya inflasi.
BPS menjelaskan, deflasi yang terjadi kali ini terutama disebabkan oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang terjadi pada Januari-Februari 2025. Alasan ini untuk membantah bahwa fenomena deflasi kali ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat, melainkan karena intervensi kebijakan pemerintah, yaitu diskon tarif listrik.
Diskon tarif listrik 50 yang diterapkan pemerintah pada Januari-Februari 2025 memberikan andil utama pada deflasi yang terjadi di Indonesia, terutama karena masuk dalam komponen harga yang diatur pemerintah. Artinya, diskon pada harga yang diatur pemerintah, sebagaimana diperhitungkan oleh Badan Pusat Statistik, membantu menekan inflasi di kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Namun secara teoretis, deflasi adalah kondisi penurunan harga barang/jasa di satu periode tertentu. Deflasi bisa terjadi karena dua hal. Akibat pasokan barang berlebih sehingga menurunkan harga di pasaran (sisi supply) atau akibat penurunan permintaan dan daya beli masyarakat (sisi demand) sehingga barang/jasa di pasar tak terserap dan harganya anjlok. Dan sejumlah indikator yang ada memperlihatkan adanya sinyal pelemahan daya beli masyarakat.
Sinyalemen Pelemahan Daya Beli MasyarakatAda sejumlah data yang bisa dijadikan sebagai indikasi untuk mendiagnosa adanya pelemahan daya beli masyarakat, terutama dari data penjualan barang-barang konsumsi yang saat ini mengalami penurunan. Pertama, adanya penurunan laju penjualan sepeda motor baru pada awal tahun ini.
Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) di awal tahun 2025 menyebutkan penjualan sepeda motor Januari 2025 turun 5,98 dibandingkan Januari 2024. Rinciannya, penjualan sepeda motor di Januari 2025 mencapai 557.191 unit, turun dari 592.658 unit pada Januari 2024.
Kedua, turunnya tren penjualan mobil di awal tahun 2025. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengumumkan capaian penjualan mobil nasional yang menurun pada Januari 2025.
Mengacu data terbaru, jumlah total penjualan mobil secara whole sales sebesar 61.843 unit. Artinya, turun 11,3 persen secara year-on-year (YoY) pada Januari 2025 dibanding periode yang sama tahun 2024 sebanyak 69.758 unit. Sementara itu, penjualan retail (dari dealer ke konsumen) turun 18,6 persen YoY menjadi 63.858 unit pada Januari 2025, dibanding 78.437 unit pada periode yang sama 2024.
Kedua data ini diperkuat oleh menurunnya angka pembiayaan kendaraan bermotor. PT BCA Finance mencatatkan pembiayaan baru Rp3,1 triliun per Januari 2025. Angka tersebut turun 25,8 apabila dibandingkan dengan kinerja pembiayaan baru per Desember 2024 yang mencapai Rp3,9 triliun.
Begitu juga dengan data Adira Finance menyebutkan per Januari 2025, Adira Finance mencatatkan pembiayaan kendaraan baru sebesar Rp 2,4 triliun. Angka ini turun dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, tren pembiayaan otomotif yang menyumbang 65,79 persen dari total piutang pembiayaan juga turut melambat.
Merujuk data OJK, pembiayaan otomotif per November 2024 mencapai Rp 321,7 triliun, 8,13 persen secara tahunan, atau menurun drastis dibanding pada 2023 yang tumbuh 17,55 persen secara tahunan. Data ini juga dilengkapi dengan meningkatnya angka kredit macet atau non-perfoming finance (NPF) perusahaan pembiayaan atau multifinance.
Data OJK menunjukkan rasio NPF gross perusahaan multifinance pada November 2024 sebesar 2,71. Angka itu meningkat, jika dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 2,60.
Ketiga, indeks belanja masyarakat satu pekan menjelang Ramadhan mengalami penurunan. Kita bisa melihatnya dalam indeks nilai belanja yang diukur oleh Tim Ekonomi PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) ataupun indeks belanja yang diukur oleh Tim Ekonomi PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). Indeks Nilai Belanja Mandiri Spending Index (MSI) pada akhir Februari 2025 sebesar 236,2. Ini lebih rendah dari indeks di pertengahan Februari 2025 yang hampir menyentuh 250.
Begitu juga dengan indeks belanja masyarakat yang dihimpun oleh Tim Ekonomi PT Bank Central Asia Tbk menunjukkan pertumbuhan yang melambat. Indeks belanja pada jelang Ramadhan 2025 hanya tumbuh 2,9 yoy.
Perlambatan belanja bahkan terjadi di semua wilayah Indonesia, yaitu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Perlambatan nilai belanja juga terlihat di Jawa dan Bali serta Nusa Tenggara.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Tim riset Mandiri Institute, di mana indeks belanja masyarakat di supermarket melambat pada kuartal IV-2024. Indeks belanja di supermarket pada awal Desember 2024 tercatat sebesar 600,6.
Minus Kepala Daerah PDIP, Mendagri Tito Karnavian Gojlok Peserta Retreat dengan Senam Pagi
Padahal pada September 2024, indeks belanja di supermarket mencapai posisi puncaknya, yaitu di level 700. Porsi belanja supermarket pun turun untuk semua kelompok masyarakat, dengan yang paling dalam terjadi di kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yaitu sebesar 7,1 poin. Penurunan diikuti dengan kelompok menengah, yaitu sebesar 3,8 poin, baru kemudian kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, yaitu sebesar 1,4 poin.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa menurunnya indeks belanja masyarakat di supermarket disebabkan oleh adanya shifting perilaku konsumsi masyarakat ke belanja online di sejumlah marketplace karena adanya banyak tawaran harga yang lebih murah, diskon dan cashback.
Namun menurut data Semrush menyebutkan pada Januari 2025 kunjungan ke situs Tokopedia (Tokopedia.com) turun 4,56 (mtm) menjadi 64 juta kunjungan. Kemudian kunjungan ke situs Lazada (Lazada.co.id) turun 1,94 (mtm) menjadi 43,4 juta kunjungan dan Blibli (Blibli.com) turun 10,52 (mtm) menjadi 21,4 juta kunjungan.
Sebagai perbandingan, data Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) memperlihatkan bahwa arus transaksi digital mengalami peningkatan namun tidak significan. Data tersebut merinci pada tahun 2024 Celios memproyeksikan perdagangan daring Indonesia sebesar Rp468,64 triliun, sedangkan untuk tahun 2025 yaitu sebesar Rp471,01 triliun.
Akan tetapi kenaikan transaksi online ini juga dibarengi dengan naiknya permintaan “Pay Later” dan pinjaman online (pinjol). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit melalui platform buy now pay later (BNPL) per Januari 2025 mencapai Rp 26,69 triliun atau tumbuh 44,19 persen secara tahunan.
Ini terdiri dari BNPL perusahaan pembiayaan sebesar Rp 7,12 triliun dan BNPL perbankan sebesar Rp 22,57 triliun, yang masing-masing tumbuh 41,9 persen secara tahunan dan 44,65 persen secara tahunan.
Sementara itu, saldo pembiayaan oleh industri pinjaman daring atau fintech peer to peer lending per Januari 2025 tercatat sebesar Rp 78,5 triliun atau tumbuh 29,94 persen secara tahunan. Capaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Desember 2024 yang tumbuh 29,14 persen secara tahunan.
Konsekuensinya, tren kredit macet pinjaman online juga meningkat. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendanaan bermasalah industri Pinjol periode Desember 2024 sebesar Rp2,01 triliun, didominasi oleh borrower individu mencapai 74,74.
Dari porsi individu tersebut, didominasi dengan borrower usia 19-34 tahun sebesar 52,01 dan usia 35-54 tahun sebesar 41,49. Artinya rasio kredit macet kian meningkat dan yang banyak terjerat kredit macet adalah generasi milenial dan generasi Z (Gen Z).
Bahkan sebagian konsumen Indonesia berencana mengurangi belanja pada bulan puasa tahun ini. Hal ini terlihat dari laporan survei Populix yang bertajuk Perilaku Belanja di Bulan Ramadan 2025.
Menurut laporan tersebut, pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya sebanyak 90 responden biasa membeli produk makanan dan minuman. Namun, yang berencana tetap membeli produk tersebut pada Ramadan 2025 turun menjadi 87.
Kemudian 78 responden sebelumnya biasa belanja pakaian dan barang-barang fashion. Tapi, yang berencana tetap belanja produk ini turun menjadi 55. Penurunan serupa terjadi pada jenis produk lain, seperti perabotan rumah tangga, barang elektronik, kendaraan bermotor, serta tanah dan bangunan.
Di lain sisi, masyarakat kini semakin dibebani dengan pengeluaran untuk membayar pajak dan iuran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi pengeluaran masyarakat untuk membayar pajak dan iuran pada 2019 adalah 3,48 persen dari total pengeluaran.
Pada 2024, porsi tersebut meningkat menjadi 4,53 persen dari total pengeluaran. Pajak yang dimaksud antara lain adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor (STNK), serta Pajak Penghasilan (PPh 21). Sementara iuran yang dimaksud dalam bentuk retribusi seperti iuran RT/RW, sampah, keamanan, dan asuransi atau BPJS.
Keempat, impor barang konsumsi yang menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor barang konsumsi pada Januari-Februari 2025 turun 14,24 dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 3,11 miliar. Impor barang konsumsi tak naik meski bulan Ramadan tahun ini datang lebih cepat dan jatuh pada awal Maret 2025.
Penurunan impor menunjukkan daya beli masyarakat yang melemah pada awal tahun ini. Insentif yang diberikan pemerintah berupa diskon tarif listrik selama dua bulan juga hanya bersifat temporer semata.
Pelemahan daya beli masyarakat juga dapat dilihat dari menurunnya jumlah pemudik pada Lebaran 2025. Hasil Survei Potensi Pergerakan Nasional oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan, jumlah pemudik pada Idul Fitri 1446 H atau Lebaran 2025 sebanyak 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari total penduduk Indonesia.
Perkiraan ini turun 24 persen dibandingkan dengan proyeksi 193,6 juta pemudik yang melakukan perjalanan pada Lebaran 2024. Dan penurunan jumlah pemudik di Lebaran tahun ini berdampak pada penurunan jumlah perputaran uang di masyarakat.
Menurut proyeksi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dibandingkan dengan 2024, perputaran uang saat Lebaran 2025 diperkirakan turun 12,28 persen. Asumsi perputaran uang Lebaran 2025 ini diprediksi dalam kisaran Rp 137 triliun-Rp 145 triliun yang masih berada di bawah perputaran uang Lebaran 2024 yang mencapai Rp 157,3 triliun.
Prediksi tersebut dihitung dari jumlah pemudik tahun ini sejumlah 146,48 juta atau setara dengan 36,26 juta keluarga dengan asumsi per keluarga empat orang jika rata-rata uang yang dibawa per keluarga adalah Rp 4 juta. Hal ini disebabkan biaya mudik yang membengkak, ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK, dan beban pengeluaran untuk pajak dan iuran membuat masyarakat cenderung mengencangkan ikat pinggang.
Menuju Resesi: Butuh Formula Game Changer Dari Presiden PrabowoDengan melihat semua data ini, pemerintah tidak bisa hanya mengeluarkan kebijakan business as usual untuk mendongkrak daya beli masyarakat agar bisa pulih. Melainkan membutuhkan formula kebijakan yang bisa menjadi game changer untuk membalikan situasi ekonomi.
Pasalnya, konsumsi rumah tangga merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, berkontribusi sekitar 54-55 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga apabila terjadi pelemahan daya beli masyarakat maka akan berdampak sistemik pada perekonomian nasional secara menyeluruh. Ada sejumlah saran dan masukan yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk memulihkan daya beli masyarakat.
Pertama, pemerintah harus berani mengevaluasi segala bentuk proyek-proyek mercusuar layaknya IKN, proyek gasifikasi batubara yang akan dibiayai Danantara, Program 3 Juta Rumah. hingga Program Makan Bergizi Gratis dan program hilirisasi yang menghabiskan banyak anggaran negara namun tidak berdampak pada kenaikan daya beli masyarakat.
Kedua, pemerintah harus mengevalusi kebijakan efisiensi anggaran yang mengarah pada austerity seperti pemotongan belanja publik layaknya memotong anggaran untuk pendidikan, kesehatan, atau layanan publik. Karena kebijakan austerity ini menyebabkan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, pemerintah harus berfokus pada penciptaan lapangan kerja. Karena berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, penciptaan lapangan kerja formal mengalami penurunan signifikan, dari 15,6 juta tenaga kerja formal yang tercipta selama periode 2009–2014, menjadi hanya 2 juta pada periode 2019–2024.
Dan penciptaan lapangan kerja tidak bisa dilepaskan dari pentingnya peranan Foreign Direct Investment (FDI). Sedangkan angka FDI Indonesia masih sangat rendah dimana berdasarkan data OECD, FDI hanya berkontribusi 0,2 terhadap pembentukan PDB Indonesia pada 2020. Angka tersebut menjadi yang terendah di ASEAN.
Untuk meningkatkan peranan FDI dalam penciptaan lapangan kerja, pencapaian nilai Incremantal Capital Output Ratio (ICOR) tidak bisa dianggap remeh. Nilai ICOR Indonesia tahun 2023 sebesar 6,33. Angka ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia berbiaya tinggi.
Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya yang berada di angka 4-5. Prosedur birokrasi perizinan yang panjang, regulasi daerah dan pusat yang tak sinkron serta maraknya korupsi yang masih menjadi momok di Indonesia merupakan beberapa penyebab mahalnya biaya investasi di Indonesia. Ditambah dengan akses transportasi dan logistik yang sulit dan mahal menjadikan biaya tambahan yang menjadi pertimbangan para investor.
Pemerintah perlu menjaga kepercayaan investor terhadap kredibilitas dan integritas tata kelola pemerintahan untuk mengelola ekonomi nasional. Penurunan rating dari institusi-institusi investasi global layaknya Goldman Sachs dan Morgan Stanley tidak boleh dianggap remeh.
Karena menurunnya kepercayaan investor membuat investasi menjadi lesu dan IHSG mengalami penurunan signifikan yang kemudian berdampak pada menurunnya nilai tukar rupiah yang bisa berujung pada krisis moneter dan resesi ekonomi.
Defisit APBN sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) hanya dalam dua bulan dan laporan IMF yang memperkirakan, defisit transaksi berjalan Indonesia akan melebar 2 persen pada 2025 haruslah menjadi warning bagi pemerintah. Ditambah dana asing yang keluar atau net foreign sell menyentuh Rp 24 triliun sepanjang tahun berjalan.
Bahkan bila ditarik lebih jauh, dalam enam bulan terakhir, net sell asing telah mencapai Rp57,8 triliun di lain sisi utang luar negeri Indonesia yang meningkat 5,3 yoy yang tercatat sebanyak USD427,5 miliar pada Januari 2025 membuat pemerintah mau tak mau harus berhati-hati.
Masalahnya, reaksi pasar dan problem ekonomi tidak bisa dikompromikan layaknya masalah perbedaan pandangan politik atau perkara koalisi atau oposisi pemerintahan. Maka tidak ada jalan lain bagi Presiden Prabowo untuk mengambil jalan sebagai game changer yang berani mengevaluasi kebijakan yang keliru dan berdampak negatif dari pemerintahan sebelumnya.