ICJR Bersama Sukatani: Lagu Bayar Bayar Bayar Bukan Tindak Pidana dan Tak Bisa Dilarang

ICJR Bersama Sukatani: Lagu Bayar Bayar Bayar Bukan Tindak Pidana dan Tak Bisa Dilarang

Nasional | sindonews | Sabtu, 22 Februari 2025 - 01:51
share

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai lagu band Post-Punk atau New Wave asal Purbalingga Sukatani berjudul Bayar Bayar Bayar merupakan kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. ICJR menyoroti dua alasan mendasar mengapa dugaan intimidasi terhadap Sukatani harus dilawan bersama.

Pertama, ICJR menilai Sukatani menyatakan kebenaran yang bukan merupakan penghinaan, apalagi penghinaan tidak boleh untuk melindungi institusi. “Kedua, model tindakan klarifikasi, menyuruh minta maaf oleh polisi, tidak sesuai dengan batasan kewenangan polisi dalam hukum acara pidana,” kata Peneliti ICJR Nur Ansar dalam keterangan tertulisnya kepada SindoNews, Sabtu (22/2/2025).

Dia melihat Sukatani, band yang lirik-lirik lagunya memuat kritik sosial terpaksa memberi klarifikasi dan meminta maaf kepada institusi Polisi melalui akun media sosialnya pada 20 Februari 2024. Dia menuturkan, lagu berjudul “bayar-bayar”, yang bercerita tentang pungutan ketika berurusan dengan polisi harus mereka tarik dari platform musik.

Namun, lanjut dia, pasca Sukatani klarifikasi, lagu-lagunya justru makin dikenal dan diputar di berbagai tempat sebagai respons masyarakat atas tindakan Kepolisian. “Sebelum video klarifikasi mereka beredar, terdapat berita jika mereka hilang kontak dan dicegat di Banyuwangi sepulangnya dari Bali,” ujarnya.

“Juga terdapat informasi kalau mereka sudah lama diincar, sejak tampil di acara Hellprint Bandung, hingga kabar pemecatan salah satu personelnya sebagai guru. Belum ada kronologi resmi dari Sukatani, tetapi dalam video klarifikasi, mereka meminta maaf dan menyebut tidak ada paksaan dari siapa pun,” sambungnya.

Dia menegaskan, lirik lagu Sukatani yang ditarik dari platform musik ini adalah kritik sosial yang dilindungi oleh hukum. “Mereka tidak melanggar peraturan apa pun ketika mengkritik suatu fenomena sosial. Sebagai karya seni, ini harus dihargai. Jika memang ada ketersinggungan, seharusnya hal ini dimaknai sebagai masukan yang dapat menjadi bahan bakar untuk perbaikan institusi,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sebagai kritik maupun pernyataan kebenaran, isi lagu Sukatani bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk penghinaan secara personal maupun institusi polisi. Dia menambahkan, lembaga penegak hukum seperti pengadilan telah mengakui hal ini dalam berbagai putusan perkaranya.

“Sebagai contoh, putusan Fatia dan Haris Azhar, serta terakhir kasus Septia yang mana majelis hakim beranggapan bahwa pernyataan mereka mengandung kebenaran atau benar adanya, sehingga tindak pidananya tidak terbukti. Pedoman yang menyatakan bahwa kritik maupun pernyataan kebenaran bukan merupakan pencemaran nama baik, dapat kita jumpai dalam SKB UU ITE,” imbuhnya.

Dia menuturkan, kandungan kebenaran dalam lirik lagu Sukatani itu pun dapat temui dalam berbagai laporan. Dikatakannya, sudah sering dilaporkan dan diberitakan oknum polisi yang melakukan pungli. Dia mengatakan, praktik suap atau membayar oknum juga dilaporkan di media.

“Ada pula yang tertipu ratusan juta dengan janji anaknya bisa diterima jadi polisi jalur orang dalam. Pada akhirnya, lirik Sukatani tentang bayar-bayar ini ada benarnya,” ucapnya.

Lagipula, menurut dia, kritik sosial melalui seni entah seni rupa ataupun musik adalah bagian dari hak untuk berekspresi di negara yang demokratis.” Lirik lagu dengan kritik sosial banyak kita jumpai dalam berbagai genre misalnya punk, metal, atau aliran musik lainnya,” ungkapnya.

“Beberapa contoh band dengan lagu berisi kritik sosial misalnya dari Kaluman berjudul Membusuk Seperti Sampah, Betrayer dengan lagu Habis Gelap Tak Terbit Terang, SWAMI dalam lagu Robot Bernyawa, lirik-lirik lagu Iwan Fals, dan masih banyak lagi. Terlepas mungkin akan menimbulkan ketersinggungan, ini adalah bentuk hak konstitusional dan bukanlah bentuk pelanggaran hukum,” tambahnya.

Poin lanjutannya, ICJR juga menyoroti praktik orang yang dianggap terjerat pidana UU ITE atau ekspresi kritik tertentu, didorong untuk membuat video atau konten klarifikasi minta maaf. Hal ini ICJR temukan dalam aturan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Keadilan Restoratif.

Dia menerangkan, aturan tersebut menjelaskan penyelesaian kasus seperti ini dengan yang tertuduh membuat video klarifikasi. Dia menilai hal tersebut adalah bentuk ketidakpastian hukum dan masalah akuntabilitas polisi dalam proses penyelidikan.

“Seharusnya upaya-upaya menyuruh orang tertentu melakukan hal tertentu apalagi dengan intimidasi atau paksaan tidak dapat dilakukan dalam masa penyelidikan, apalagi untuk hal yang bukan tindak pidana. Oleh karena itu bagi kami, Sukatani tidak perlu minta maaf. Ini adalah bentuk keresahan yang justru menjadi keresahan banyak orang ketika lagunya justru semakin diputar di mana-mana,” kata dia.

Dia mengatakan, penegak hukum harusnya menghormati konstitusi dengan tidak melarang atau mengintimidasi para pekerja seni yang mengkritik kondisi sosial kita. “Kerja-kerja seni menjadi salah satu instrumen yang mengantarkan Indonesia keluar dari Orde Baru menuju reformasi. Membungkam karya seni seperti ini justru hanya mempertontonkan kepada masyarakat kalau kita mungkin akan kembali ke era gelap sebelum reformasi,” pungkasnya.

Topik Menarik