Ketergantungan Pasukan Pangeran Diponegoro ke Morfin Saat Perang Jawa hingga Sebabkan Sakit

Ketergantungan Pasukan Pangeran Diponegoro ke Morfin Saat Perang Jawa hingga Sebabkan Sakit

Nasional | okezone | Senin, 17 Maret 2025 - 02:31
share

JAKARTA - Pada masa Pangeran Diponegoro morfin atau sejenis candu bagian dari narkotika pernah jadi komoditi yang menggiurkan. Komoditi itu diperjualbelikan dan dikonsumsi secara legal oleh setiap orang. Bahkan konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro mengonsumsi narkotika saat Perang Jawa agar tidak sakit. 

Opium atau yang kerap disebut buah candu merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter, dan merupakan tanaman dari luar negeri yang kebanyakan saat itu dari Asia Selatan.

Semasa Pangeran Diponegoro impor candu yang berasal dari opium dengan mudahnya diimpor dari Benggala. Hal ini seiring pencabutan blokade Inggris atas Jawa pada Agustus - September 1811 dan tekanan ekonomi pada pemerintahan Raffles, untuk menaikkan pendapatan menjadi masalah kuncinya. 

Etnis Tionghoa lantas dengan cepat memainkan peran menonjol yang menyedihkan sekali, dengan menjadi pengecer candu sekaligus penjaga gerbang cukai. Bahkan Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" mengisahkan bagaimana candu yang masuk bagian narkotika ini menjadi pendapatan menggiurkan di Yogya. 

Hal ini terjadi antara tahun 1814 - 1824 dimana pendapatan dari ladang candu di Yogya naik lima kali lipat. Pada 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat izin sebagai tempat menjual candu secara eceran di wilayah kekuasaan Sultan Yogya. Tempat-tempat itu sebagian besar adalah gerbang - gerbang cukai besar, kecil, dan pasar. 

Berdasarkan data dari seorang wanita pejabat Belanda, tingkat konsumsi candu pada akhir abad ke-19 diperkirakan ada yang 16 persen atau lebih dari tiga juta dari 20 juta penduduk Jawa saat itu yang mengonsumsi candu. 

 

Berbagai jenis tersebut bahkan juga dikonsumsi oleh kaum pribumi secara masif. Tak hanya orang dengan golongan kaya saja, pribumi miskin turut menghisap rokok yang diolesi candu dan mereka yang memamah sirih pinang pun ikut dicampur candu. Jika itu ikut dihitung, barangkali data dari penguasa Belanda pengguna narkotika hampir dapat dipastikan lebih banyak dari 3 juta orang. 

Banyak orang menganggap candu menawarkan satu - satunya jalan keluar dari kesulitan hidup yang begitu juga keras dan menguras tenaga. Di Pacitan, setelah Perang Jawa sebuah pesta besar keagamaan digelar untuk merayakan berakhirnya panen kopi. Uang pembayaran panen yang diterima langsung dipakai untuk makan candu. 

Selama Perang Jawa sendiri, ada laporan-laporan yang mengatakan bahwa banyak tentara Diponegoro yang jatuh sakit karena tidak dapat candu. Para pengecer candu dari etnis Tionghoa meraup untung dengan berdagang di belakang garis pertahanan Pangeran Diponegoro ketika sentimen - sentimen anti Tionghoa yang keras di bulan - bulan awal pemberontakan sudah berangsur-angsur mereda. 

Bagi si kaya, candu adalah pengisi waktu senggang, namun ketagihan candu adalah bencana bagi si miskin. Sebab jika timbul sedikit saja keinginan untuk menghisap candu, hal itu sudah mampu menjungkirbalikkan hidup seorang petani Jawa baik-baik menjadi pelaku tindak kriminal. 

Selama Perang Jawa, Gubernur Jenderal Belanda Nahuys Van Burgst menghendaki agar para buruh tani tak berlahan, dan para gelandangan ditangkapi saja. Mereka dengan bahu kurus dan tangannya halus bertanda tidak pernah kerja mencangkul, serta yang mata bibir, dan warna kulitnya menyingkapkan kebiasaan mereka menggunakan narkotika.

Topik Menarik