Karamah Kiai Abbas, Panglima Perang 10 November: Kibasan Sorban dan Tongkatnya Merontokkan Pesawat Sekutu

Karamah Kiai Abbas, Panglima Perang 10 November: Kibasan Sorban dan Tongkatnya Merontokkan Pesawat Sekutu

Infografis | sindonews | Minggu, 6 Oktober 2024 - 17:28
share

SOSOK Kiai Abbas bin Abdul Jamil, ulama besar dari Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat tak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dia merupakan seorang panglima perang yang memimpin pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, yang kini kita peringati sebagai Hari Pahlawan.

Kisah kehebatan Kiai Abbas begitu melegenda. Jika para pejuang kemerdekaan umumnya hanya bersenjatakan bambu runcing melawan tentara Sekutu yang lengkap dengan senjata modern, maka Kiai Abbas punya senjata berbeda.

Baca juga: Kisah Pasukan Berani Mati Bung Tomo Dapat Tugas Khusus dari Jenderal Sudirman

Dengan karomahnya, ia hanya menggunakan sorban, tasbih, dan bakiak untuk menghadapi tentara sekutu yang kala itu hendak menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia.

Dari cerita yang beredar, dalam pertempuran 10 November, Kiai Abbas konon berada di dua tempat sekaligus dan di pusat kota Surabaya dan di pesisir pantai.

Di pesisir inilah, beliau menghancurkan puluhan pesawat sekutu hanya dengan mengibaskan sorbannya ke arah langit. Sebuah fenomena yang bagi banyak orang sulit dijelaskan secara logika.

Sebelumnya, Bung Tomo, tokoh penting dalam pertempuran 10 November sempat meminta restu dari Kiai Hasyim Asy’ari untuk memulai peperangan.

Baca juga: Jejak Terakhir Gajah Mada Meditasi hingga Moksa di Air Terjun Madakaripura

Namun, Kiai Hasyim Asy’ari menundanya, dengan alasan menunggu "Singa dari Jawa Barat". Singa yang dimaksud tak lain adalah Kiai Abbas.

Dengan keyakinan penuh, Kiai Abbas berangkat dari Cirebon pada 6 November 1945 bersama pasukan Detasemen Hizbullah menuju medan tempur di Surabaya.

Sesampainya di Surabaya, Kiai Abbas dan rombongannya disambut takbir dan pekik "Merdeka!" dari para pejuang. Tak hanya memimpin dari balik layar, beliau aktif memberi komando dan doa.

Dalam salah satu kejadian, ia meminta para pemuda yang akan bertempur melawan tentara Belanda untuk mengambil wudhu dan meminum air yang telah diberkati dengan doa. Setelah itu, para pemuda dengan keberanian yang luar biasa menyerang pasukan sekutu hanya dengan bambu runcing.

Namun, di sinilah keajaiban mulai terjadi. Saat pertempuran berkecamuk, Kiai Abbas berdoa sambil berdiri di halaman masjid. Dalam hitungan detik, ribuan alu dan lesung atau alat penumbuk padi milik warga berhamburan dari rumah-rumah, menghantam tentara sekutu.

Suaranya bagaikan gemuruh yang tak terhentikan, membuat pasukan musuh ketakutan dan mundur.

Tak hanya itu, ketika pesawat bomber Hercules milik sekutu mencoba menghancurkan kota Surabaya, keajaiban lain terjadi. Pesawat-pesawat tersebut tiba-tiba meledak di udara sebelum bisa menjatuhkan bom. Aksi Kiai Abbas yang mengarahkan tongkatnya ke langit seolah membuat pesawat-pesawat itu rontok tanpa perlawanan.

Menurut catatan tentara Inggris, dari pertempuran ini hingga 17 Desember 1945, mereka kehilangan setidaknya tujuh pesawat Thunderbolt.

Pencak Silat Buntet

Kesaktian Kiai Abbas juga dikenal dalam hal pencak silat. Menurut Mang Kisom, seorang pendekar Buntet, Kiai Abbas sering menguji murid-muridnya dengan meminta mereka untuk mengeroyoknya dalam latihan silat.

Namun, tak satu pun dari mereka yang berhasil menyentuh tubuhnya. Gerakan Kiai Abbas begitu cepat, seolah-olah kakinya tak menempel di tanah, membuat lawan-lawannya tersungkur sebelum sempat melawan.

Kisah menarik lainnya adalah ketika seorang preman antek Belanda mencoba menyerang Kiai Abbas dengan belati. Saat itu, Kiai Abbas sedang memegang Al-Qur'an di tangan kanannya dan tangan kirinya dipegang oleh preman tersebut. Ujung belati tajam mengancam lehernya.

Namun, tanpa rasa takut, Kiai Abbas dengan gerakan cepat berhasil menjatuhkan preman itu. Setelah kejadian tersebut, preman itu justru menjadi murid dan pengawal setia Kiai Abbas.

Kiai Abbas lahir pada 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon. Sejak kecil, beliau dikenal sebagai santri yang rajin mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hingga akhirnya menjadi murid dari para ulama besar, termasuk Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari di Tebuireng.

Setelah pulang dari belajar di Mekkah, Kiai Abbas menjadi tokoh besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Kiai Abbas wafat pada tahun 1946 di usia 64 tahun, dan dimakamkan di Pesantren Buntet, Cirebon. Hingga kini, kisah kehebatan dan karomahnya terus hidup dalam ingatan.

Topik Menarik