Suara Kelompok Minoritas bagi Masa Depan Negara Palestina Merdeka

Suara Kelompok Minoritas bagi Masa Depan Negara Palestina Merdeka

Terkini | inews | Selasa, 15 Oktober 2024 - 11:05
share

Muhammad Fatahillah, M.Si

Staf Pengajar Tidak Tetap Departemen HI FISIP UI
Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI)

TANGGAL 7 Oktober 2024 lalu, dunia memperingati satu tahun peristiwa penculikan ratusan warga negara Israel oleh kelompok militan Islam pro-kemerdekaan Palestina Hamas. Serangan itu memicu pembalasan dari Israel melalui operasi militer secara besar-besaran ke Jalur Gaza. Baik penculikan warga negara Israel oleh Hamas maupun agresi militer Israel ke wilayah Jalur Gaza merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah menyebabkan banyak korban jiwa, khususnya rakyat sipil di kedua belah pihak. 

Bahkan hingga pekan ini, United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mencatat, jumlah korban jiwa di pihak Palestina menembus 42.000 orang dan di pihak Israel mencapai lebih dari 1.200 orang. Di samping itu, sekitar 97.009 orang yang terluka di pihak Palestina dan sekitar 5.432 orang terluka di pihak Israel. 

Selain korban jiwa akibat konflik, kerusakan infrastruktur di Jalur Gaza akibat gempuran udara dan darat oleh militer Israel juga sangat besar. UNOCHA mencatat lebih dari 70.000 rumah mengalami kehancuran. Hal ini berimbas pada 1,9 juta orang mengungsi di internal Gaza (UNOCHA, 2024). Berbagai kebutuhan hidup mereka yang mendasar pun tidak tersedia karena pembatasan ketat yang diberlakukan oleh militer Israel terhadap mobilitas barang di zona konflik. Bahkan menurut laporan WHO pada Agustus 2024, sebanyak 20 dari 36 atau 56 persen dari total jumlah rumah sakit yang ada di Gaza berhenti beroperasi karena berbagai kendala, termasuk adanya ancaman pengeboman dari tentara Israel. 

Hal tersebut membawa dampak bagi mereka yang memiliki gangguan kesehatan kritis dan sangat bergantung pada perawatan medis. Selain layanan kesehatan, ketersediaan konsumsi air dan listrik juga mengalami penurunan secara drastis sejak konflik Hamas-Israel skala besar dimulai pada 27 Oktober 2023.

Serangan Israel ke sebuah masjid dan sekolah di Jalur Gaza pada beberapa hari menjelang peringatan “Peristiwa 7 Oktober” telah menewaskan sekitar 45 orang yang berstatus sebagai pengungsi di kedua tempat perlindungan tersebut, dalam 2 hari gempuran. Terkait kejadian ini, Israel berdalih bahwa serangan mereka sudah tepat sasaran ke tempat yang diyakini sebagai pusat komando militer Hamas. 

Kejadian tersebut sungguh menyedihkan sekaligus menambah ketegangan setelah beberapa hari sebelumnya terjadi peningkatan eskalasi konflik akibat keterlibatan Iran selaku patron bagi “Poros Perlawanan”. 

Iran melakukan serangan langsung ke wilayah Israel dengan meluncurkan lebih dari 200 rudal yang mengenai beberapa sasaran. Sebelumnya Iran beberapa kali melakukan agitasi dan ancaman terhadap eksistensi Israel dan Amerika Serikat di Kawasan Timur Tengah. 

Di samping itu, kelompok Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, serta beberapa kelompok militan Syiah di Irak dan Suriah juga masih terus melakukan serangan terhadap wilayah Israel. Hal ini menunjukkan bahwa Israel pun turut mengalami kerusakan infrastruktur di dalam negeri, meskipun tidak sebesar yang dialami Palestina. 

Maka, makin nyata peribahasa mengenai konflik/perang, yakni “Menang jadi arang, kalah jadi abu” (tidak ada yang utuh menjadi kayu) atau kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian.

Menuju Negara Palestina yang Diakui Sedunia

Muncul harapan besar akan terwujudnya negara Palestina yang merdeka sepenuhnya (diakui secara de jure), setelah negara tersebut diberi hak baru untuk duduk di antara negara-negara anggota Majelis Umum PBB dalam sidang pada 10 September 2024. Peristiwa ini menunjukkan sebuah hak baru yang diberikan kepada delegasi Palestina di PBB, meskipun negaranya belum menjadi anggota penuh. 

Hal ini tidak lepas dari kompromi atas usulan mayoritas negara anggota Majelis Umum PBB pada Mei 2024 untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status keanggotaan Palestina di PBB agar segera dijadikan anggota penuh. Sebuah usulan yang kemudian dihalang-halangi oleh Amerika Serikat sebagai sekutu dekat Israel dan pemegang hak veto di PBB. Hasilnya, Majelis Umum PBB hanya memberikan hak-hak baru yang terbatas kepada delegasi Palestina dalam sebuah resolusi. Maka, delegasi Palestina dapat menghadiri sidang Majelis Umum PBB, namun tetap dikecualikan dari hak untuk dapat memilih (menentukan sikap secara formal) terhadap suatu resolusi dan belum dapat menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

Sayangnya, wacana mengenai masa depan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat selama ini masih didominasi oleh suara dari kelompok mayoritas (Arab-Muslim) di internal Palestina. Sebutlah dua kelompok Arab-Muslim yang pro-kemerdekaan Palestina dan paling vokal terdengar suaranya, yakni Hamas dan Fatah (bagian dari gerakan Palestine Liberation Organization/PLO). 

Hamas menginginkan bentuk Palestina Merdeka adalah Negara Islam yang menerapkan syariat-syariat agama sebagai hukum negara. Sementara Fatah lebih menginginkan negara sekuler dan berbasis nasionalisme Arab. Hal ini menjadi salah satu titik perbedaan pandangan bahkan konflik kepentingan mengenai masa depan negara Palestina merdeka di antara kedua kelompok tersebut selama beberapa dekade. 

Hingga kemudian keduanya bersepakat untuk membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional (Pemerintahan Persatuan Palestina) pasca-perang melawan Israel, berdasarkan hasil pertemuan dan negosiasi yang ditengahi oleh Pemerintah Tiongkok di Beijing pada Juli 2024.

Mengakomodasi Suara Kelompok Minoritas

Palestina adalah wilayah bersejarah dan “Tanah Suci” bagi tiga agama Abrahamic (Yahudi-Kristen-Islam), sehingga penduduknya heterogen dari segi agama dan etnis. Mayoritas atau 93 persen penduduk Palestina memeluk agama Islam Sunni, disusul oleh penduduk Kristen sebesar 6 persen, dan agama-agama minoritas lain seperti Yahudi, Druze, Samaria, dll sebesar 1 persen dari total populasi. 

Sebagai contoh keberagaman, umat Kristiani di Palestina saja terdiri atas Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem (mayoritas), Patriarkat Latin Yerusalem (bagian dari Gereja Katolik Roma), Patriarkat Armenia Yerusalem, Gereja-gereja Oriental (Eastern Catholic, termasuk Gereja Maronit), Gereja-gereja Ortodoks, dan Gereja-gereja Protestan. Sementara itu, kelompok agama Druze eksis di daerah Nablus (Sichem kuno) dan kelompok agama Samaria (sekte Yahudi yang terpisah dari komunitas Yahudi-Rabbinik) berpusat di Gunung Gerizim, Tepi Barat (Ferrara, 2023). 
Sedangkan dari segi etnis, penduduk Palestina terdiri dari orang Arab sebesar 86 persen, orang Yahudi sebesar 13 persen, dan lain-lain sebesar 1 persen (CIA, 2019).

Umat Kristiani mengalami situasi kebebasan beragama yang sulit di Jalur Gaza, terutama pasca Hamas mengambilalih kekuasaan di wilayah tersebut sejak memenangkan Pemilu Palestina pada 2006. Mereka dihadapkan pada ancaman serangan dari kelompok ekstrimis Islam maupun Yahudi di satu sisi dan serangan dari militer Israel di sisi lainnya. 

Meski demikian, semua Gereja Kristen berada di garis depan untuk membantu sebagian besar penduduk Muslim dalam kesulitan sehari-hari yang disebabkan oleh blokade Israel, yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan dan kekurangan gizi pada anak-anak, serta kerusakan akibat bom dan tidak efektifnya layanan kesehatan (Ferrara, 2023). 

Hal ini menunjukkan perasaan senasib dan sepenanggungan yang melebihi doktrin agama mengenai ajaran cinta-kasih umat Kristiani terhadap saudara/i Muslimnya di Palestina dalam menghadapi kesulitan bersama. 
Praktik tersebut menunjukkan terpenuhinya prinsip dasar untuk membentuk suatu entitas bangsa dalam konsep “Negara-Bangsa” modern. Sebagaimana merujuk pada definisi “Bangsa” menurut Otto Bauer bahwa “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman” (Latif, 2018).

Sejalan dengan pernyataan Otto Bauer, Mohammad Hatta menyatakan bahwa “Bangsa adalah suatu persatuan yang ditentukan oleh keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu yaitu terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan”. (Listyarti, 2006). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka seluruh elemen masyarakat di wilayah Palestina baik individu maupun kelompok sama-sama merasakan persamaan nasib atas dampak ancaman kekerasan, aneksasi teritori, dan perampasan tanah oleh Israel. 

Meskipun perasaan tersebut tidak sama rata karena faktanya Umat Kristiani juga mengalami diskriminasi oleh sesama penduduk Palestina di Gaza. Suatu kondisi yang berbeda dengan kehidupan umat Kristiani di Tepi Barat yang jauh lebih mudah dibandingkan di Gaza. 

Di sana mereka bisa memiliki tempat ibadah sendiri, yang seringkali terlihat jelas dan menjadi bagian dari lansekap Palestina, serta bebas merayakan hari raya keagamaan Kristen (Ferrara, 2023). Jika demikian, maka persamaan tujuan untuk mencapai negara Palestina yang merdeka sepenuhnya harus menjadi faktor pengikat yang mengesampingkan segala bentuk perbedaan dan menghapus diskriminasi antar sesama warga bangsa. 
Upaya ini penting untuk menunjukkan persatuan “Bangsa Palestina” yang plural, serta membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara Palestina masih ada dan mampu melakukan perlawanan terhadap segala upaya pendudukan oleh pihak Israel.

Lebih jauh lagi, mengakomodasi suara (aspirasi) dari kelompok minoritas bagi masa depan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat merupakan suatu keharusan karena beberapa faktor strategis. Pertama, kelompok minoritas di Palestina memang kecil dari segi kuantitas, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kualitas SDM mereka bisa setara dengan kelompok yang lebih mayoritas. SDM yang berkualitas dibutuhkan dalam rangka mengisi kemerdekaan dan pembangunan nasional. 

Kedua, kelompok minoritas di Palestina memiliki hak yang setara sebagai penduduk (warga negara) atas dasar fakta sejarah eksistensi mereka di wilayah tersebut. Misalnya umat Yahudi dan Kristiani yang sudah menetap di Palestina jauh sebelum agama Islam lahir di Jazirah Arab pada abad Ke-7 Masehi (Qurtuby, 2023). 

Ketiga, kelompok minoritas di Palestina terbukti turut berkontribusi dalam upaya perjuangan kemerdekaan melalui kampanye perdamaian maupun aksi kemanusiaan. Misalnya Kelompok Haredi (Yahudi) yang anti-perang, pro-perdamaian, dan pendukung toleransi antaragama (Qurtuby, 2023).

Keempat, kelompok minoritas di Palestina juga memiliki aspirasi terkait bentuk negara pasca-merdeka sepenuhnya (bersatu dan berdaulat), yakni negara yang mampu mengayomi dan melibatkan komunitasnya secara inklusif berdasarkan penghormatan kepada nilai-nilai HAM dan demokrasi. 

Last but not least, para elite pimpinan bangsa Palestina di tingkat nasional yang saat ini masih didominasi oleh orang Arab-Muslim harus mendengarkan “Suara” dari kelompok minoritas, agar negara Palestina yang merdeka sepenuhnya nanti tidak terjerumus ke dalam instabilitas politik-keamanan akibat diskriminasi rasial atau perbedaan agama yang memicu konflik dalam negeri hingga perang saudara. 

Kelompok minoritas di Palestina juga memiliki jaringan transnasional yang dapat membantu upaya perdamaian dan kemerdekaan penuh, melalui aktivisme lintas batas negara (Activist Beyond Borders) yang konsepsikan oleh Keck and Sikkink (1998) menjadi gerakan “Transnational Advocacy Networks (TANs)”, dengan memaksimalkan strategi “The Boomerang Effect”. 

Misalnya saja kelompok penganut Kristen/Katolik yang memiliki pusat/jaringan gereja di Amerika Serikat bisa mendorong umat dan pemerintah di sana untuk lebih peduli terhadap nasib bangsa Palestina. Di samping itu, minoritas di suatu tempat bisa jadi mayoritas di tempat lainnya tergantung pada aspek dinamika populasi dan demografi, bahkan di dalam wilayah Palestina sendiri.

Topik Menarik