Mengenal Tradisi Lompat Batu Nias, Kearifan Lokal yang Mendunia Kini Tersisa 5 Pelompat

Mengenal Tradisi Lompat Batu Nias, Kearifan Lokal yang Mendunia Kini Tersisa 5 Pelompat

Terkini | inews | Sabtu, 21 September 2024 - 15:03
share

NIAS, iNews.id - Mengenal tradisi Lompat Batu asal Nias, Sumatera Utara (Sumut) yang terkenal dan mendunia. Namun siapa sangka saat ini jumlah pelompat batu tersebut tinggal menyisakan lima orang di Desa Adat Bawomataluo, Kabupaten Nias Selatan.

Desa ini sudah berdiri sejak 1830-an dan di sanalah lahirnya para pelompat batu Nias, tradisi yang pernah ditampilkan dalam uang kertas nominal Rp1.000 keluaran 1992.

Tradisi lompat batu atau 'ahombo Batu' merupakan salah satu warisan budaya yang paling ikonik dan penuh makna lahir dari sejarah panjang masyarakat. Tradisi ini dulunya merupakan latihan bagi para pemuda untuk melompati pagar desa lawan saat perang.

Dulu, setiap kampung atau desa di Nias sering memagari kampungnya supaya musuh tidak bisa masuk. Sehingga para tokoh adat berinisiatif membuat lompat batu sebagai latihan. Jika suatu saat para pemuda yang ikut perang dan tidak bisa masuk karena terhalang pagar, mereka bisa melompatinya.

Saat ini jumlah pelompat batu yang ada di Desa Bawomataluo tinggal lima orang. Meski jumlah penduduk di sana mencapai ribuan, tak banyak lagi yang mempunyai kemampuan tersebut.

Sebab untuk bisa melompati batu, mereka harus latihan selama bertahun-tahun dari sejak kecil.

"Saya salah satu pelompat dari Desa Bawomataluo. Saat ini kami tinggal 5 orang yang bisa melompat," ucap Silfester Putra Fau kepada iNews, Sabtu (21/9/2024).

Kata Putra, awalnya dia latihan menggunakan bambu dimulai dari tinggi 1 meter kemudian ditambah jadi 1,5 meter hingga 2 meter. Setelah itu baru melompati batu tersebut.

"Ada saja di luar sana yang menganggap sepele karena ada tumpuannya, ya memang ada tumpuannya tapi nggak sembarangan orang yang bisa loncat. Di Desa Bawomataluo yang jumlah pemudanya ribuan tidak semua bisa melompat," katanya.

Menurutnya risiko lompat batu ini sangat besar. Bukan saja sekadar melompat, tetapi juga harus bisa mendarat dengan sempurna jika tidak yang bisa cedera otot bahkan patah tulang.

"Dari dulu kan lompat batu ini dibuat bukan untuk permainan, jadi kalau dibilang sakral ya dan perlu teknik. Kemarin ada yang loncat jarinya patah dan juga ada yang menabrak batunya," ucapnya.

Sebelumnya, hanya 12 orang paling banyak pelompat batu yang berbentuk monumen piramida, bagian atasnya datar tinggi kurang dari 2 meter dengan lebar sekitar 1 meter itu. Saat ini jumlahnya semakin sedikit.

Untuk terus terjaganya tradisi ini, Putra berharap kepada juniornya sebagai generasi penerus untuk berlatih dan tetap semangat agar lompat batu yang terkenal dan mendunia itu tidak musnah.

"Harapan saya pada junior kami yang ingin melanjutkan lompat batu ini marilah berlatih dengan baik. Jangan sampai lompat batu ini musnah soalnya ini juga yang menjadi daya tarik wisatawan datang ke sini. Kalau Kami nanti udah tidak ada ya maunya ada generasi penerusnya dari bawah," ucapnya.

Usia pria yang mengikuti lompat batu ini dimulai dari umur 10 tahun dan tak hanya asal lompat tetapi juga ritual dilakukan secara serius saat melakukan lompat batu serta harus mengenakan busana ala pejuang Nias.

Topik Menarik