Tampil di Istana Kepresidenan, Tarian Lumense dari Sultra Ternyata Punya Makna Ini

Tampil di Istana Kepresidenan, Tarian Lumense dari Sultra Ternyata Punya Makna Ini

Gaya Hidup | BuddyKu | Rabu, 17 Agustus 2022 - 09:55
share

JAKARTA, iNews.id - Tarian Lumense dari Sulawesi Tenggara (Sultra) tampil dalam gelaran HUT ke-77 RI di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (17/8/2022). Tarian ini dulunya ditampilkan untuk menolak segala macam bencana.

Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudkan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana.

Penutup dari ritual tersebut ini biasanya penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser.

Dijelaskan, ensiklopedi Tari dan Musik di Sultra, (1977/1978), ada pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena yakni bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.

Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah.

Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah. Kekinian tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, tari Lumense masih dianggap memiliki nilai spiritual. Masyarakat setempat menganggap tari lumense adalah tari penyembuhan.

Tari Lumense memiliki arti yang diambil dari bahasa daerah setempat yakni kata lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi, jadi secara menyeluruh, nama tarian ini berarti terbang tinggi. Lumense artinya terbang mengamuk. Penamaan tari ini berasal dari Kabaena Kabupaten Buton. Mereka menamakan lumense karena gerakan penarinya laksana seorang yang sedang mengamuk dengan pedang di tangannya.

Tari Lumense atau Tarian Lumense ini berasal dari Tokotua, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Kata lumense sendiri berasal dari bahasa daerah setempat yakni lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi. Jadi, lumense bisa diartikan terbang tinggi.

Tari lumense berasal dari Kecamatan Kabaena. Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang dating dari Hindia Belakang pada zaman pra sejarah.

Secara geografis, Kecamatan Kabaena merupakan pulau terbesar setelah Moronene dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu Kecamatan Kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Moronenesehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan Moronene pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.

Tari lumense telah berkembang sejak 200 tahun yang lalu. Tari ini pernah lenyap di sekitar tahun 1946 sampai dengan tahun 1960 kemudian timbul kembali pada tahun 1962. Pada tahun 1973 tari Lumense mulai berkembang dikalangan masyarakat.

Sampai sekarang terian tersebut tetap dipertahankan sebagai tarian tradisional di daerah Buton. Pada zaman dahulu yaitu pada saat mula lahirnya tarian ini sampai pada masa sebelum proklamasi kemerdekaan bangsa kita, tari Lumense digolongkan pada masa sebelum proklamasi kemerdekaan bangsa kita, tari Lumense gigolongkan pada tarian upacara kerohanian, karena dilakukan untuk menyembuhkan penyakit. Pada saat sekarang ini yakni sesudah proklamasi, kedudukan tari tersebut bukan saja sebagai tarian upacara melainkan juga dipertunjukkan sebagai tari petunjukkan.

Tari ini diiringi dengaan instrumen musik gendang, gong besar (Mbololo) dan gong kecil (Ndengu-Ndengu). Ketiga instrumen musik ini dimainkan serentak oleh tiga orang pemain musik. Biasanya tari Lumense ini dilakukan di arena atau panggung terbuka, sehingga perlengkapan pertunjukkan tari tersebut hanya terdiri atas parang dan batang pisang saja.

Pakaian penarinya terdiri atas pakaian adat. Penari pria memakai baju berwarna hitam, kain sarung dan topi bambu khas daerah Moronene. Penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang.

Musik pengiring tari ini berasal dari alat musik gendang dan gong besar yang disebut tawa-tawa dan gong kecil (ndengu-ndengu). Pengiring musik berjumlah tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung. Dahulu tari ini dipertunjukkan pada waktu siang, akan tetapi sekarang ini, biasa juga dipertunjukkan pada waktu malam. Lama pertunjukkan diperkirakan memakan waktu lebih kurang 10 sampai 15 menit.

Topik Menarik