Bappenas Rancang Kebijakan Atasi Krisis Sanitasi di RI
JAKARTA - Beppenas merancang kebijakan dalam mengatasi krisis kondisi Laik Higiene Sanitasi di tanah air selama ini. Kedeputian Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan (PMMK) Bappenas bekerjasama dengan Pengurus Pusat Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI).
MoU tersebut tentang “Pengembangan Kolaborasi Pendayagunaan Tenaga Sanitasi Lingkungan untuk Meningkatkan Kualitas Laik Higiene Sanitasi Lintas Sektor Pembangunan untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030”. MoU diteken oleh Amich Alhumami, Deputi PMMK Kementerian PPN/Bappenas, dan Arif Sumantri, Ketua Umum PP HAKLI.
Isu strategis globalnya mencakup trend transisi energi; perubahan standar kualitas hidup masyarakat; laju kerusakan lingkungan; penurunan kualitas udara, air, tanah, pangan dan lingkungan binaan; perubahan iklim dan kerentanan pangan dimana kedua isu yang saling terkait; perubahan dinamika transmisi vektor; peningkatan penyakit berbasis lingkungan; serta peningkatan kebencanaan lintas skala dan frekuensi.
Isu strategis nasional Kesling mencakup manajemen kebijakan dan kelembagaan publik Kesling; SDM Kesling; Iptek dan inovasi Kesling; air sanitasi dan hegiene; transisi konversi energi, pengendalian bahan kimia dan bahan berbahaya dan beracun (B3); mikrobiologi lingkungan dan vektor; pangan dan Kesling Vektor; kualitas udara; perubahan iklim dan kesehatan; penilaian dampak kesehatan; Kota Sehat berkelanjutan; serta kesehatan anak, kesehatan mental dan lingkungan.
1. Ancaman penemaran air
Pada kasus air sanitasi dan hegiene misalnya. Sebagai sumber kehidupan, di antara permasalahan krusial air yang belum terselesaikan sampai sekarang adalah pasokan air yang buruk; fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) kurang memadai; fasilitas layanan dan teknologi pengolahan limbah dan pencemaran B3 masih minim dan tidak merata; serta pengetahuan dan mental masyarakat yang buruk tentang manajemen sanitasi.
Pajak Layanan Bandara Turun 50 Persen, Dukung Harga Tiket Pesawat Turun 14 Persen saat Lebaran
HAKLI 2024 mencatat, hanya 12 rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi aman. Padahal bila air tercemar, akan meningkatkan berbagai risiko penyakit dan menjadi sarang mikroba berbahaya yang bertahan lama. Mikroba bertahan lama juga antara lain akibat pembuangan sampah secara serampangan dan kualitas pengolahannya yang minim, sehingga sumber-sumber air bersih tercemar.
Akses dan kualitas air bersih di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Dalam laporan BPS tahun 2022, hanya 44,94 rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses air minum yang memadai. Provinsi Kalimantan Timur memiliki proporsi rumah tangga dengan akses air minum terendah, yaitu 16,52.
Selama ini untuk memenuhi air minum, mayoritas masyarakat Indonesia mengandalkan sumber air minum (SAM) dari Depo Air Isi Ulang. Riset HAKLI 2023 menunjukan, sebagian besar SAM di Indonesia telah terkontaminasi sehingga berada pada katagori “tidak aman”.
Dinilai dari kontaminasi E.coli air SAM, hanya 18,1 akses air minum nasional yang aman. Dinilai dari kontaminasi TDS, E.coli, pH, nitrat dan nitrit, hanya 11,9 akses air minum nasional yang aman. Papua dan Maluku menempati peringkat SAM paling tidak aman.
2. Kebijakan terobosan
MoU Kedeputian PMMK Bappenas dan HAKLI menyepakati menyusun perencanaan koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga (K/L) berkaitan dengan koordinasi kebijakan Kesling yang komprehensif dan integratif; mendayagunakan SDM Sanitasi Indonesia; dan sertifikasi Laik Heginie Sanitasi.
“Untuk mengelola hubungan kesehatan-lingkungan, diperlukan rencana dan kebijakan yang terintegrasi, sehingga perlu koordinasi dan sinergi antar K/L dalam rangka melaksakanan program-program strategis nasional dalam menangani isu-isu kesehatan dan kesehatan lingkungan sebagai suatu ekosistem,” terang Amich Alhumami.
Tentang pendayagunakan SDM Sanitasi, menurut Arif Sumantri, pihak HAKLI telah berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja berkaitan dengan perluasan dukungan pengawasan internal yang tidak hanya tertuju pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), tetapi juga pengawasan terhadap Laik Higiene Sanitasi. “HAKLI mengusulkan untuk memadukan K3 dengan kondisi Laik Heginie Sanitasi menjadi kesatuan konsep,” papar Arif.
Adapun tentang Sertifikat Laik Higiene, menurut Arif, pihak Kemenkes telah sepakat program Kota Sehat mesti memenuhi standar laik higiene sanitasi sebagai salah satu syarat wajib dalam penilaian Kota Sehat.
Tahun ini HAKLI tengah merancang konsep pembinaan Laik Higien Sanitasi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Yogyakarta. Dengan adanya MoU Bappenas dan HAKLI, Arif optimis pembinaan tersebut akan diperluas di semua daerah penerima manfaat MBG.
“Harapannya, sukses pembinaan dalam program MBG, bisa ditularkan pada program perioritas nasional lainnya, terutama dalam perzinan dunia industri berbasis risiko yang telah diatur dalam UU Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Konsep basis risikonya bukan hanya K3, tapi juga mencakup Laik Higiene Sanitasi,” papar Arif.
3. SDM Sanitasi menjadi kunci
Para ahli Kesling yang tergabung dalam HAKLI dan juga para pejabat Pemda yang tergabung dalam Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI), berharap MoU tersebut dapat menjadi efek kejut bagi peningkatan dan pengembangan kapasitas dan praktik keilmuan SDM Sanitasi. “Kunci pelaksanaan MoU ini memang terletak pada pendayagunaan SDM Sanitasi Lingkungan,” lanjut Arif Sumantri.
Menurut Diah Lenggogeni, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat (KGM) Bappenas, pendayagunaannya akan ditindaklanjut melalui kajian komprehensif perencanaan untuk menentukan formulasi struktur dan sistemnya. “Kelak akan ditindaklanjut dengan rapat kerja bersama (RKB) secara mendalam dengan HAKLI, Kemenkes dan regulator terkait, sebagai tindaklanjut dari MoU ini,” kata Diah.
Dalam naskah latarbelakang perencanaan MoU tersebut, terdapat sejumlah permasalahan krusial bagi SDM Sanitasi Lingkungan. Antara lain, kurangnya SDM Ahli di berbagai pusat layanan kesehatan, terutama di Puskesmas, sehingga terjadi pengalihan dan penggandaan tugas; adanya kesenjangan distribusi dan kompetensi SDM ini antardaerah.
Pada saat yang sama, karier bagi lulusan Prodi Kesehatan Lingkungan di semua Politektik Kesehatan tidak sesuai; insentif bagi Tenaga Sanitasi Lingkungan juga belum memadai; serta antara kompetensi bidang kesehatan dan lingkungan terdapat kesenjangan lebar yang belum integratif sebagai suatu ekosistem.
Menurut data Kemenkes yang diolah BPS, dari 1,49 juta total tenaga kesehatan di Indonesia pada 2023, Tenaga Sanitasi Lingkungan hanya 24.759 orang. Rata-rata Tenaga Sanitasi Lingkungan yang tersedia di setiap provinsi tidak berimbang sesuai dengan tantangan demografi dan geografi Kesling kewilayahannya.
Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SGD’s) tahun 2030 yang sejalan dengan karakteristik demografi dan geografi setiap daerah, HAKLI mencatat setidaknya Indonesia membutuhkan 28.500 tenaga Sanitasi Lingkungan/Kesling di berbagai tingkat kebutuhan di lintas sektor dan program K/L.