Praktisi Sosial Ekonomi: BPI Danantara Harus Dorong Kepemilikan Rakyat Secara Langsung
JAKARTA, iNewsBogor.id - Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto akan segera membentuk Badan Pengelola Investasi Danantara (BPI Danantara). Sebuah lembaga yang memiliki tupoksi mengkonsolidasikan aset dan investasi pemerintah dari sumber non APBN dan sekaligus menjadi superholding bagi BUMN.
Oleh karena mengkonsolidasikan asset negara, maka tujuan BPI Danantara harus dapat menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, bukan hanya pengembangan bisnis semata (profit oriented-red). Harus dipastikan aspek keadilan dan kontrol masyarakat terhadap lembaga baru dibawah Presiden ini.
“Selama ini, BUMN kita itu banyak yang bangkrut dan dilikuidasi, ada yang didilusi sahamnya hingga saham negara tinggal menjadi minoritas, dan saham yang mayoritas masih di tangan pemerintah juga banyak yang dikuasai asing,” kata praktisi sosial ekonomi, Suroto dalam keterangan tertulis pada media di Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES) menyebut, dari 191 BUMN selama pemerintahan awal Jokowi misalnya, sekarang ini tinggal 40 BUMN.
“Rakyat sebetulnya banyak yang tidak tahu kalau kekayaan mereka sudah banyak yang hilang. Konsolidasi BUMN melalui program holdingisasi juga ternyat bukan menjadikan BUMN sebagai entitas bisnis yang semakin kuat tapi justru makin lemah,” terangnya.
Katanya lagi, “Banyak yang masih andalkan bisnisnya itu dari fasilitas kebijakan pemerintah. Termasuk fasilitas subsidi, modal penyertaan, dana penempatan, bailout ( talangan) ketika bangkrut dan lain sebagainya,”.
Suroto memberi ilustrasi, BUMN yang sudah right issue seperti BRI. Seharusnya konsisten ketika sudah listing di bursa maka sumber modal sepenuhnya dari pasar modal, bukan malah membebani negara lewat penyertaan modal negara.
“Bagaimana bisa perusahaan yang sudah listing di bursa saham lalu andalkan pendapatanya dari subsidi kredit program pemerintah?. Ini jelas tidak sehat dan hancurkan daya saing, moral kerja karyawan dan juga potensi moral hazard,” tandasnya.
Menurut Suroto, adalah ironi BUMN kita yang asetnya sudah trilyunan tapi laporan keuanganya masih belum teraudit atau unauditable, tidak ada transparansi, dan yang paling parah adalah bisnisnya banyak merugikan masyarakat.
“Ada juga BUMN tapi bisnisnya sebabkan konflik agraria dengan masyarakat, tempatnya rakyat sebagai pemilik perusahaan justru hanya jadi obyek kebijakan mereka. Seperti misalnya tarif yang mencekik,” kata Suroto.
Suroto menambahkan, semangat dari pembentukan BPI Danantara itu harus rombak paradigma lama BUMN yang bisnisnya penuh kongkalilong, rugikan negara. Lebih penting dari itu, saham saham BUMN itu harus dipastikan justru dapat dimiliki secara luas oleh rakyat Indonesia secara langsung.
“BPI Danantara itu penting untuk transformasi ekonomi rakyat, jangan justru hanya jadikan rakyat sebagai penonton. Rakyat banyak harus dipastikan punya saham langsung di BUMN. Mereka harus dijamin ikut aktif mengawasi dan terlibat dalam pengambilan kebijakan BUMN. Aksiomanya jelas, apa yang tak kita miliki maka tak dapat kita kendalikan,” tambahnya.
Asset BUMN khususnya, kata Suroto sekarang ini masih ada 10.300 an trilyun rupiah. Jangan sampai dengan dibentuk superholding justru makin menyusut dan rakyat tidak mendapat manfaat. Badan Usaha Milik Negara itu kuasanya ada di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah. Ini adalah diatur dalam Konstitusi kita.
“Fungsi BPI Danantara ini memang sangat strategis. Bahkan tidak perlu lagi fungsi Kementerian BUMN. Tapi harus diatur dalam sebuah regulasi yang kuat setingkat Undang Undang dan tidak cukup dengan Perpres,” pungkasnya.