RUU TNI: Arogansi Kekuasaan yang Mengancam Demokrasi?
POLEWALI MANDAR, iNewspolman.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang saat ini tengah dibahas memicu polemik di tengah masyarakat. Kamis, (20/3/25)
Ketua Jaringan Organisasi Lingkungan dan Lembaga (JOLL), Lasuardi, menilai bahwa RUU ini bukan sekadar urgensi pertahanan negara, melainkan manifestasi arogansi kekuasaan yang berpotensi menghidupkan kembali konsep “dwi fungsi” militer yang sudah seharusnya ditinggalkan sejak era reformasi.
RUU TNI yang tengah diperdebatkan dinilai membuka kembali peluang bagi militer untuk terlibat dalam ranah sipil dengan dalih kedaulatan negara dan pertahanan nasional.
Padahal, reformasi TNI yang telah berjalan selama dua dekade terakhir justru bertujuan untuk memisahkan peran militer dari politik dan kehidupan sipil.
Jika disahkan, aturan ini bisa menjadi jalan bagi militer untuk kembali mendominasi sektor non-militer, sebuah langkah yang dianggap sebagai kemunduran demokrasi.
Penolakan terhadap RUU ini datang dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis hak asasi manusia, hingga kelompok sipil.
Lasuardi menegaskan bahwa pembahasan RUU ini mencerminkan upaya segelintir elit untuk mempertahankan dominasi militer dalam pemerintahan.
“Kita membutuhkan reformasi yang mempertegas pemisahan antara kekuatan militer dan politik sipil, bukan memperkokoh posisi TNI dalam urusan rakyat,” ujar Lasuardi.
Konsep “dwi fungsi” TNI pernah menjadi alat bagi rezim Orde Baru untuk mengontrol berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keterlibatan militer dalam urusan sipil saat itu berdampak pada pengekangan kebebasan dan pengabaian hak asasi manusia.
Dengan menghidupkan kembali peran TNI di ranah sipil, RUU ini dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi dan prinsip supremasi sipil yang telah dibangun sejak era reformasi.
Jika RUU ini lolos, maka konsekuensi yang muncul tidak hanya sebatas meningkatnya campur tangan militer dalam kebijakan sipil, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan dalam tata kelola pemerintahan.
Keputusan strategis yang seharusnya berada di tangan pemimpin sipil akan dipengaruhi oleh kepentingan militer, membuka potensi konflik kepentingan dan regresi demokrasi.
Para aktivis dan akademisi mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih transparan dalam proses legislasi ini serta melibatkan publik dalam pembahasannya.
Mereka menegaskan bahwa fokus utama seharusnya adalah memperkuat supremasi sipil dalam demokrasi, bukan mengembalikan militer ke ranah yang bukan menjadi domainnya.
RUU TNI bukan hanya persoalan regulasi biasa, tetapi ujian bagi demokrasi Indonesia. Jika aturan ini disahkan, bukan hanya sebuah langkah mundur yang mengancam supremasi sipil, tetapi juga sinyal bahwa kekuatan lama masih enggan menerima perubahan.