Dilema Tax Amnesty Jilid III di Mata Pengusaha, Bikin Polemik Tapi Dibutuhkan
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan, kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty akan selalu menimbulkan polemik dan diskursus yang bertentangan di masyarakat. Lantaran itu pemerintah diminta mempersiapkan dengan baik perihal data dan mekanisme penerapan jika program pengampungan pajak (Tax Amnesty) ada lagi di 2025.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani mengatakan, tax amnesty selalu menimbulkan polemik, lantaran kebijakan ini akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Sehingga dengan kata lain, masyarakat yang mengikuti program tax amnesty, berarti mengakui bahwa sebelumnya mereka tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan.
"Kedua, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty. Kedua hal inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal," jelas Ajib dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (22/11/2024).
Diakui Ajib, masyarakat Indonesia secara umum memang masih mempunyai literasi perpajakan yang rendah. Kalaupun masyarakat golongan yang sudah faham tentang perpajakan, lanjutnya, budaya taat pajaknya juga masih rendah.
Diungkapkannya, hal ini tercermin dari tingkat tax ratio Indonesia yang hanya bergerak di kisaran 10. Tahun 2025, kebijakan coretax system akan diberlakukan, ini membutuhkan prasyarat wajib pajak mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.
Ia menilai, hal ini yang kemudian membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat. Dari sisi pemerintah lanjut Ajib, paling tidak ada tiga manfaat dengan kebijakan tax amnesty.
Pertama, kebutuhan budgeteir, yaitu untuk menambah pemasukan buat APBN. Kedua, harta bersih yang dilaporkan oleh wajib pajak, akan muncul yang sebelumnya menjadi bagian underground economy, bisa masuk ke Sistem Keuangan Indonesia yang lebih terbuka, dan selanjutnya menjadi aset yang lebih produktif masuk dalam putaran perekonomian nasional.
Ketiga, bisa membantu memberikan daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi 8 persen. Sebab tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk membelanjakan uang yang telah diakui dalam program tax amnesty tersebut.
Ajib menuturkan, secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau fungsi budgeteir, dan fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat.
"Kesimpulannya, kebijakan tax amnesty adalah program yang kurang ideal, tapi dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah," pungkas Ajib.
Sebagaimana diketahui, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Mukhamad Misbakhun menyampaikan, bahwa DPR RI memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Artinya pemerintah akan kembali menjalankan tax amnesty jilid III setelah sebelumnya menjalankan pada tahun 2016 dengan program tax amnesty dan tahun 2022 dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Tax amnesty jilid I yang berlaku pada tahun 2016, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu pengampunan atas pajak terhutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan. Hasilnya, negara mengumpulkan uang tebusan Rp130 triliun, data deklarasi sebesar Rp4.813,4 triliun dan repatriasi sebesar 146 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang berlaku pada Tanggal 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP).
Program ini selanjutnya dikenal dengan tax amnesty jilid II. Kebijakan ini bisa mengumpulkan dana dari setoran PPh buat negara sebesar Rp61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp594,82 triliun.
"Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I, diantaranya karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik," pungkas Ajib.