Media Publik Jadi Media Negara: Langkah Mundur?
Yohanes WidodoDosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SEJAK November 2011, wacana penggabungan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI dan RRI telah mencuat, ditandai dengan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, meskipun akhirnya tidak terealisasi.
Baru-baru ini, usulan konsolidasi LPP kembali mengemuka. Anggota DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyuarakan dukungannya untuk menggabungkan RRI, TVRI, dan LKBN Antara menjadi satu entitas media negara yang komunikatif, efisien, dan efektif.
Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Eric Hermawan mengusulkan transformasi TVRI, RRI, dan Antara dari lembaga publik dan badan usaha milik negara menjadi media negara. Tujuannya adalah menciptakan media yang menjunjung tinggi kepentingan nasional dan mendukung pemerintah, berfungsi sebagai corong pemerintah di bawah lembaga komunikasi kepresidenan. Dalam rapat dengar pendapat mengenai efisiensi program kerja tahun 2025, anggota DPR Evita Nursanty (Fraksi PDI-P) menekankan bahwa karena anggaran TVRI dan RRI berasal dari negara, independensi mereka seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mengutamakan kepentingan pemerintah.
Anggota Komisi I DPR RI Yulius Setiarto juga menekankan pentingnya mengubah status LPP RRI dan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Negara. Menurutnya, perubahan ini akan memungkinkan kedua lembaga tersebut berperan lebih efektif sebagai pengawal kepentingan negara.
Di sisi lain, Direktur Utama Perum LKBN Antara Akhmad Munir menilai bahwa dengan penggabungan tersebut, negara akan memiliki entitas media yang lebih kuat dan bersifat multiplatform, sehingga mampu meningkatkan produktivitas serta efektivitas, sekaligus menekan efisiensi.
Direktur Utama LPP TVRI Iman Brotoseno juga mendukung usulan penggabungan TVRI, RRI, dan Antara. Ia menambahkan bahwa penggabungan ini penting untuk menjadikan media penyiaran publik di Indonesia sebagai media negara yang lebih kuat dan efisien.
Usulan transformasi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) menjadi media negara menimbulkan kekhawatiran terkait independensi dan kebebasan pers. Perubahan status ini dapat mengurangi kemampuan media dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyajikan informasi yang berimbang kepada masyarakat.
Kebebasan pers adalah hak asasi warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan esensial bagi demokrasi. Namun, jika media berada di bawah kendali pemerintah, ada risiko bahwa media tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pengawas jalannya demokrasi dan cenderung menjadi alat propaganda pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak transformasi ini terhadap independensi media dan kebebasan pers.
Aspek Kepemilikan dan Kontrol Editorial
Perbedaan mendasar antara media negara, media pemerintah, dan media publik terletak pada aspek kepemilikan, kontrol editorial, dan tujuan operasional. Pemahaman mengenai perbedaan ini penting untuk menilai sejauh mana media dapat menjalankan perannya dalam masyarakat demokratis.Cerdiknya Pangeran Diponegoro Pindahkan Markas dari Selarong ke Jekso saat Serbuan Belanda
Media Negara merupakan media yang sepenuhnya dimiliki dan dikendalikan oleh negara. Konten yang disajikan biasanya mencerminkan kebijakan pemerintah dan sering digunakan untuk membangun legitimasi politik. Kontrol editorial yang ketat pada media jenis ini berpotensi menjadikannya alat propaganda, seperti yang terlihat pada Russia Today (RT) di Rusia dan China Central Television (CCTV) di Tiongkok.
Di beberapa negara dengan kemunduran demokrasi, kontrol negara atas media meningkat, membuka ruang bagi kontrol politik atas pemberitaan. Media negara cenderung bergantung pada dana publik dan mengikuti kebijakan editorial yang diarahkan oleh pemerintah, yang membatasi kebebasan pers serta keberagaman informasi. Sistem media negara cenderung membentuk monopoli informasi, berisiko mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan manipulasi opini publik.
Media Pemerintah adalah media yang dikelola oleh pemerintah dengan tujuan utama menyampaikan informasi terkait kebijakan publik, layanan pemerintah, dan agenda pemerintahan kepada masyarakat. Meskipun tidak selalu dimiliki langsung oleh negara, media pemerintah tetap bergantung pada kebijakan, pendanaan, dan garis editorial yang ditentukan oleh pemerintah. Media jenis ini melaporkan aktivitas pemerintahan dan kebijakan publik dengan perspektif yang lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah. Contohnya, NPR (National Public Radio) di Amerika Serikat menerima pendanaan dari pemerintah tetapi tetap memiliki kebebasan editorial dalam batasan tertentu.
Media Publik bertujuan melayani kepentingan masyarakat tanpa intervensi pemerintah dalam kebijakan editorialnya. Media ini didanai oleh pajak atau lisensi, serta memiliki regulasi hukum untuk memastikan independensinya dari campur tangan politik. Media publik memiliki badan pengawas independen yang memastikan kebijakan editorial bebas dari intervensi politik.
Dalam sistem negara demokratis, keberadaan media independen sangat penting untuk menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah serta memastikan keberagaman informasi bagi masyarakat. Contohnya, BBC di Inggris dan NHK di Jepang mempertahankan independensinya dari intervensi pemerintah, meskipun didanai oleh negara.
Memahami perbedaan ini penting untuk menilai sejauh mana media dapat menjalankan perannya dalam masyarakat demokratis. Media publik yang independen cenderung lebih mampu menyediakan informasi yang berimbang dan objektif, sementara media negara dan media pemerintah mungkin menghadapi tantangan dalam menjaga kebebasan pers dan keberagaman informasi.
Implikasi media negara
Wacara menjadikan media publik menjadi media negara dan jadi corong pemerintah perlu disikapi serius. Pertama, transformasi ini berisiko melemahkan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan memperkuat dominasi negara atas arus informasi. Intervensi politik dapat menjadikan media sebagai alat propaganda yang hanya menyajikan narasi yang menguntungkan pemerintah, sekaligus membatasi pemberitaan kritis.Studi Dragomir & Söderström (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 80 media negara di berbagai negara mengalami kendali editorial tinggi oleh pemerintah, sehingga berita yang disiarkan cenderung bias dan menjadi alat legitimasi politik. Di Indonesia, ancaman utama dari model media negara adalah hilangnya independensi jurnalisme sebagai pengawas kekuasaan (watchdog).
Kedua, kontrol negara atas media juga berpotensi mengurangi pluralisme informasi, membatasi keberagaman perspektif, serta menghambat jurnalis dalam melaporkan isu-isu sensitif. Jika media negara mendominasi ekosistem penyiaran, akses masyarakat terhadap perspektif alternatif menjadi terbatas.
Ketiga, dominasi media yang dikontrol oleh negara dapat mengurangi keberagaman perspektif dalam ruang publik serta menciptakan monopoli informasi yang hanya menguntungkan pemerintah. Ketika wacana publik didikte oleh narasi resmi, masyarakat kehilangan akses terhadap sudut pandang alternatif, yang dapat mempersempit ruang diskusi kritis. Hal ini berpotensi memicu fragmentasi sosial, di mana kelompok yang merasa tidak terwakili oleh media negara mencari informasi dari sumber yang kurang kredibel, meningkatkan risiko polarisasi dan disinformasi.
Keempat, perubahan ini akan memunculkan pertimbangan etis terkait tanggung jawab media, utilitas publik, dan kode etik yang mengatur jurnalisme. Etika media memainkan peran penting dalam memastikan penyebaran informasi yang adil dan bertanggung jawab, terutama dalam konteks media yang dikontrol oleh negara.
Selain itu, model ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap media. Transformasi ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap media, karena khalayak dapat menganggap media yang dikontrol oleh negara sebagai media yang bias dan tidak dapat dipercaya. Ketika masyarakat menyadari bahwa informasi telah difilter sesuai kepentingan pemerintah, mereka cenderung mencari sumber alternatif yang belum tentu kredibel, sehingga meningkatkan risiko penyebaran disinformasi.
Optimalisasi komunikasi digital
Ketika pagar api jurnalistik (firewall) di media-media swasta telah diruntuhkan dari dalam secara terang-terangan oleh desakan komersialisasi dalam industri media massa (Krisdinanto, 2024), benteng terakhir yang tertinggal hanyalah media publik. Namun, kalau benteng terakhir ini pun ikut diruntuhkan, siapa lagi yang bisa diandalkan?Untuk itu, alih-alih mengubah media publik menjadi media negara, pemerintah sebaiknya fokus pada komunikasi digital dan platform OTT yang lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pergeseran ke media digital diperlukan karena televisi dan radio semakin kehilangan audiens, sementara masyarakat kini lebih mengandalkan internet dan media sosial.
Pendekatan Government Public Relations (GPR) modern perlu diterapkan. Pemanfaatan teknologi digital memungkinkan pemerintah membangun hubungan lebih erat dengan masyarakat, memperkuat keterlibatan publik, serta meningkatkan transparansi komunikasi pemerintahan. Model Government 2.0 yang memanfaatkan media sosial memungkinkan interaksi publik lebih partisipatif dibandingkan pendekatan media negara yang bersifat top-down.
Di masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo pernah memanfaatkan platform YouTube dan Instagram untuk menjangkau masyarakat luas. Sayangnya, komunikasi ini lebih bersifat personal karena terpusat pada akun pribadi, sehingga tidak dapat diteruskan oleh pemimpin berikutnya. Model ini perlu diadopsi lebih luas oleh instansi pemerintah agar komunikasi publik tetap transparan dan efektif secara berkelanjutan.
Media sosial juga dapat digunakan untuk meningkatkan keterlibatan publik dalam pengambilan kebijakan. Konsep bi-directional engagement memungkinkan pemerintah mendengar aspirasi masyarakat, merespons secara langsung, serta mengelola opini publik lebih efektif dibandingkan kontrol informasi yang kaku melalui media negara. Analitik media sosial juga membantu pengukuran efektivitas komunikasi pemerintah dan penyesuaian strategi berdasarkan respons masyarakat.
Prinsip konvergensi media menjadi elemen penting dalam kebijakan komunikasi pemerintah. Dengan konsep multimedia, multichannel, multiplatform (3M), pemerintah dapat menjangkau masyarakat luas melalui berbagai media, baik digital maupun tradisional. Pendekatan ini memungkinkan penyampaian informasi lebih cepat, murah, dan interaktif.
Salah satu alternatif yang bisa dikembangkan adalah optimalisasi GPR TV yang dikelola Kementerian Komdigi sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. GPR TV dirancang menjadi sarana komunikasi pemerintah dan sebagai sarana penyebaran informasi, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Sayangnya, GPR TV yang dikelola oleh Kominfo sejak 10 Desember 2018, telah mengakhiri aktivitas siaran pada 31 Desember 2024. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa lembaga-lembaga pemerintah masih gagap dalam mengelola media untuk kepentingan GPR.
Padahal, model GPRTV ini bisa menunjukkan bahwa pemerintah dapat memiliki saluran komunikasi sendiri tanpa mengendalikan LPP, yang seharusnya tetap independen dalam menjalankan mandatnya sebagai penyedia layanan informasi publik.
Jangan lengah
Perubahan status Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI dan RRI menjadi media negara menimbulkan kekhawatiran serius terkait kebebasan informasi dan demokrasi di Indonesia. Sejarah panjang TVRI dan RRI pada era Orde Lama dan Orde Baru menunjukkan bahwa media yang dikendalikan oleh negara cenderung digunakan sebagai alat propaganda, membatasi pluralisme media, dan menghambat kebebasan pers.Kepemilikan dan kontrol pemerintah atas media berisiko memanfaatkan saluran tersebut untuk kepentingan politik semata, bukan untuk kepentingan publik. Hal ini dapat menciptakan monopoli informasi dan membungkam kritik, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai alternatif, daripada mengubah LPP menjadi media negara, pemerintah sebaiknya memperkuat strategi komunikasi digital yang lebih efektif dan sesuai dengan tuntutan zaman, tanpa mengorbankan independensi dan kebebasan pers yang esensial bagi demokrasi.