Ruh Perlawanan dan Tanda-Tanda Zaman

Ruh Perlawanan dan Tanda-Tanda Zaman

Nasional | sindonews | Selasa, 25 Maret 2025 - 15:25
share

Hasyim Arsal AlhabsiDeputi Bidang Perhubungan DPP Partai Demokrat

DI ANTARA dentuman rudal, pekikan drone, dan debu kehancuran, Yaman tetap berdzikir. Negeri ini bukan hanya arena perang, tapi juga tanah suci perenungan. Di balik gunung-gunungnya yang sunyi, lembah-lembahnya yang keras, dan malam-malam yang tanpa listrik, ruh bangsa ini tidak pernah padam.

Justru di tengah gelap, mereka menyala. Dan mungkin, Yaman sedang menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kemenangan taktis: tanda zaman.

1. Yaman dan Ahlul BaitDalam tradisi Islam, Yaman selalu memiliki kedekatan istimewa dengan Ahlul Bait. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Iman itu Yaman, dan hikmah itu pun dari Yaman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalimat ini bukan sekadar pujian. Ini adalah penunjuk jalan sejarah. Di saat banyak bangsa Islam bergeser menjauh dari warisan Ahlul Bait, Yaman tetap memeluknya erat, bahkan ketika dibayar dengan darah. Mereka menyebut Sayyidina Ali sebagai Imam, mencintai Fatimah az-Zahra, dan menghormati cucu-cucu Nabi tanpa kompromi.

Tak mengherankan jika suara perlawanan mereka bukan hanya politik, tetapi spiritual. Mereka tidak berperang karena ambisi, tapi karena cinta. Cinta kepada yang benar. Cinta kepada yang dizalimi.

2. Qiyam: Nilai-Nilai Luhur Sebagai Akar KetahananApa yang membuat Yaman tetap berdiri ketika negara lain runtuh dalam krisis? Jawabannya: Qiyam—nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat mereka. Nilai-nilai ini bukan doktrin, tapi darah dalam nadi sosial.

Di antaranya, pertama, Karamah (kemuliaan): Hidup dalam kemiskinan tidak menghapus kehormatan. Kedua, Sabr (kesabaran aktif): Bukan diam, tapi istiqamah dalam tekanan. Ketiga, Iffah (kesucian diri): Tidak menjual harga diri untuk kekayaan. Keempat, Tadhiyah (pengorbanan): Mengorbankan kenyamanan untuk masa depan anak cucu. Kelima, Wilayah: Kesetiaan spiritual dan politik kepada mereka yang layak memimpin.

Qiyam ini ditanamkan sejak kecil. Di sekolah, di masjid, di rumah, bahkan dalam nyanyian rakyat. Maka jangan heran jika anak-anak Yaman bicara tentang “kemuliaan” dan “kezaliman” dengan pemahaman yang jauh melampaui usia mereka.

3. Antara Mihrab dan Medan TempurYaman tidak pernah memisahkan agama dari realitas hidup. Salat dan senjata adalah dua sisi dari keberanian. Doa dan taktik saling mengisi. Di medan perang, para pejuang Yaman: • Membaca Ziyarat Asyura sebelum menyerbu, • Mengangkat tangan penuh harap di tengah malam, • Membawa nama Fatimah dan Zainab sebagai kekuatan spiritual.

Mereka percaya, bahwa keadilan bukan hanya tujuan politik, tapi kewajiban ilahi. Dan jika mereka gugur, itu bukan kekalahan, tapi perjumpaan dengan yang Maha Benar.

4. Peran Yaman dalam Narasi MahdawiDalam banyak riwayat, Yaman memiliki tempat khusus dalam narasi tentang zuhur Imam Mahdi AFS: Pertama, Akan muncul seorang pemimpin dari Yaman bernama Yamani, yang menyeru umat menuju kebenaran,

Kedua, Ia disebut sebagai bendera paling lurus di antara gerakan akhir zaman. Ketiga, Para ulama Ahlul Bait menekankan: siapa pun yang melihat bendera Yamani, wajib menolongnya, karena ia tidak membawa selain kebenaran.

Meskipun banyak penafsiran atas siapa “Yamani” ini, namun fenomena hari ini membuka kemungkinan bahwa Yaman telah memainkan bagian awal dari skenario ilahiah itu. Negeri ini tidak menuntut pengakuan, tapi justru menciptakan getaran spiritual global yang tidak bisa diabaikan.

5. Napas Baru Peradaban IslamYaman tidak sedang sekadar membela diri. Ia sedang membentuk kembali kesadaran umat Islam. Pertama, Bahwa kekuatan bukan pada senjata, tapi pada keberanian menyatakan kebenaran. Kedua, Bahwa pembangunan bukan berarti meniru Barat, tapi menegakkan keadilan sosial. Ketiga, Bahwa Islam bukan nostalgia sejarah, tapi energi pembebas yang hidup.

Di tengah stagnasi peradaban Muslim, Yaman seperti nafas baru. Napas yang meski berdarah, tapi menghidupkan. Napas yang meski berat, tapi mengandung harapan.

Negeri di Ujung tapi di Tengah ZamanYaman terletak di ujung selatan Jazirah Arab, namun hari ini ia berada di tengah denyut sejarah umat Islam. Ia menjadi cermin yang memantulkan pertanyaan kepada setiap kita: “Jika mereka bisa berdiri dalam reruntuhan demi kehormatan, mengapa kita yang hidup dalam kemudahan tak berani berkata jujur?”

Yaman telah melangkah jauh lebih dari sekadar mempertahankan wilayah. Ia sedang memperjuangkan makna kemanusiaan dan harga diri yang sedang dilupakan dunia.

Dan mungkin, dari tanah Yaman yang tertindas, akan lahir arus besar yang menghantarkan umat ini kembali kepada pemimpinnya yang dijanjikan. Yaman bukan sekadar bab dalam sejarah. Ia mungkin adalah prolog dari zaman yang akan datang.

Topik Menarik