ICC Tangkap Duterte, Pakar: Permasalahan Anggota ASEAN Harus Diselesaikan di Kawasan
Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh International Criminal Court (ICC) membelah publik Filipina. Satu kelompok mendukung penangkapan sementara kelompok lainnya, dalam jumlah yang lebih besar mengecam keras langkah dimaksud.
Pakar hubungan internasional Prof. Anak Agung Banyu Perwita menilai, langkah Presiden Bongbong terhadap pendahulunya itu amat sangat disayangkan. Dari sisi hukum sebenarnya tidak ada masalah karena setiap negara bebas menerapkan politik hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Apalagi yang sudah mengancam eksistensi negara bersangkutan dalam bentuk instabilitas keamanan nasional. Indonesia juga memiliki politik hukum yang keras terhadap penjahat narkotika kelas kakap dalam bentuk hukuman mati.
“Jadi, tidak ada yang salah dengan kebijakan Duterte yang menghabisi para pelaku kejahatan narkotika di Filipina. Negara ini sepenuhnya berdaulat menjalankan politik hukumnya,” ucapnya.
Banyu Perwita menambahkan Pemerintah Indonesia perlu menegaskan kembali sikapnya permasalahan yang menyangkut negara-negara anggota ASEAN harus diselesaikan di dalam kawasan.
Terutama melalui mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN, bukan oleh institusi eksternal seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Prinsip ini sejalan dengan komitmen ASEAN terhadap kedaulatan regional dan prinsip non-intervensi sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN.
“Meskipun Indonesia mengakui pentingnya akuntabilitas dan keadilan, kami meyakini bahwa masalah semacam ini harus ditangani melalui kerangka hukum nasional dan regional, sesuai dengan prinsip persatuan dan sentralitas ASEAN,” ucapnya.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN, Indonesia secara konsisten mengadvokasi solusi regional untuk tantangan regional. ASEAN telah membangun. “Harapannya Indonesia dapat menyatakan keprihatinannya atas perkembangan terbaru terkait tindakan ICC terhadap mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte,” katanya.
Sementara itu, mantan Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi yang saat ini tinggal di Kalifornia, AS, Adnan Alonto, berpendapat penangkapan mantan Presiden Rodrigo Roa Duterte berdasarkan kasus yang diajukan oleh ICC mencerminkan dua aspek yang secara tepat menjadi ciri pemerintah Filipina saat ini.
Pertama, pemerintah ini tidak dapat dipercaya. Sebelumnya, pemerintah ini berjanji untuk tidak bekerja sama dengan ICC karena negara ini memiliki sistem peradilan yang berfungsi. Membiarkan penangkapan ini melanggar dan mengurangi integritas cabang peradilan. Kedua, dispensasi ini akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan keluarga Duterte.
Presiden Hakbang ng Maisug, Washington DC dan pengacara hak asasi manusia internasional Arnedo Valera menyatakan penangkapan yang tidak sah terhadap mantan Presiden Rodrigo Roa Duterte bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono ini adalah salah perhitungan politik yang fatal dan putus asa oleh pemerintahan Marcos Jr atau Bongbong.
“Tindakan ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh, memecah belah pasukan militer dan polisi, serta memicu gelombang protes massa dan keresahan sosial di seluruh negeri. Ini akan mengguncang kepercayaan investor, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan membuat oposisi semakin berani, sehingga mempercepat jalan menuju perubahan rezim,” kata Valera, Kamis (20/3/2025).
Dirtipidum Dilaporkan ke Propam Terkait Penggelapan Barang Bukti, Ini Klarifikasi Brigjen Djuhandani
Pendukung setia Duterte lainnya yang tinggal di AS, Reynaldo Aralar Jr. menyebut penangkapan Duterte sebagai penculikan internasional yang dipertontonkan secara terbuka kepada dunia.
“Menurut pendapat saya, penangkapan, penahanan, dan pemindahan mantan Presiden Rodrigo R. Duterte ke tempat yang tidak diketahui, tanpa dasar hukum apa pun sama saja dengan penculikan. Semua mata sekali lagi tertuju ke Filipina dengan cara yang salah. Apa yang terjadi dengan kedaulatan Filipina? Filipina bukan lagi anggota ICC, oleh karena itu pada 17 Maret 2019 Statuta Roma tidak berlaku. ICC tidak memiliki yurisdiksi. Bagaimana ini bisa terjadi di Filipina? Tidak ada pejabat tinggi yang berbicara tentang ini,” kata Aralar.
Pendukung perempuan Duterte dari Davao dan Contra Costa Teresa Opaon-Ali mengatakan penangkapan itu adalah dendam pribadi (Presiden) Bongbong Marcos terhadap keluarga Duterte.
“Ini adalah upaya terakhir untuk menghentikan Sarah Duterte mencalonkan diri sebagai Presiden. Ini menunjukkan pengkhianatan, tidak ada kesetiaan dan rasa terima kasih setelah Duterte membantunya menang. Pertama-tama, ICC tidak memiliki kewenangan untuk menangkap karena Filipina bukan anggota ICC seperti halnya AS,” kata Opaon-Ali.
“Memalukan bagi ICC untuk menangkap Duterte. Mantan Presiden Duterte telah mencapai banyak hal dalam masa jabatannya dengan menurunkan angka kejahatan, narkoba, dan perdagangan perempuan. Apa yang dilakukan ICC hanyalah berpolitik. Ini adalah intimidasi bagi negara kecil seperti Filipina. Mereka seharusnya menangkap Putin dan Netanyahu terlebih dahulu dalam daftar mereka, tetapi karena mereka tidak berdaya untuk melakukan itu, mereka menindas negara kecil seperti negara kita.”