Merajut Kembali Kebinekaan demi Membangun Peradaban Indonesia

Merajut Kembali Kebinekaan demi Membangun Peradaban Indonesia

Nasional | sindonews | Rabu, 18 Desember 2024 - 05:36
share

Hadi Susiono PandukKolumnis kelahiran Undaan Kidul-Kudus. Alumnus Universitas Diponegoro Semarang

SITUASI dunia jelas tidak dalam keadaan baik-baik saja, business as usual. Perang Rusia-Ukraina, diprediksi bertambah sengit, setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengizinkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menggunakan rudal jarak jauh buatan Amerika Serikat, Army Tactical Missile System (ATACMS) untuk menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia. Rudal yang diproduksi perusahaan Lockheed Martin ini memiliki kemampuan menyerang target hingga jarak 300 kilometer. Senjata ini pertama kali dikembangkan pada era 1980-an untuk menghadapi Uni Soviet, seperti dilansir harian New York Times, 20 November 2024.

Selang sehari, Pemerintah Federasi Rusia, disebut membalas menyerang Ukraina, dengan meluncurkan rudal balistik Intermediate-Range Ballistic Missile (IRBM), Oreshnik. Rudal ini biasanya dirancang dengan jangkauan ribuan kilometer dan dapat membawa hulu ledak nuklir, meskipun dalam beberapa kasus juga dapat dilengkapi dengan hulu ledak konvensional, seperti diberitakan dalam tajuk Explainer di Harian Surat Kabar Nasional Inggris The Guardian, 22 November 2024.

Di belahan dunia lain, Timur Tengah, terjadi konflik tak berkesudahan antara Israel-Hamas, Hizbullah, Houthi, dan proksi pro-Iran lainnya. Perang besar antara Israel-Hamas terjadi, pada tanggal 8 Oktober 2023. Zionis Israel telah membumihanguskan Jalur Gaza dan membantai lebih dari 42.000 warga Palestina (VOA-Indonesia, 10/11/2024).

Tidak sampai di situ, Pemerintahan Benjamin Netanyahu juga, menginvasi dan membombardir wilayah Lebanon, hingga lebih dari 3.000 warga Lebanon tewas, 13.492 luka-luka. Di antara korban yang tewas terdapat 589 wanita, dan 185 anak-anak (Aljazeera, 5/11/2024).

Kini, genjatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah disepakati dengan menampilkan juru runding dari Amerika Serikat dan Prancis. Salah satu kesepakatan yang dibuat adalah bahwa Hizbullah diberikan waktu 60 hari untuk mengakhiri keberadaan pasukannya di Selatan Lebanon. Begitu juga, Israel harus menarik pasukannya dari wilayah yang sama pada waktu yang sama pula (BBC News, 26/11/2024).

Pada saat genjata senjata diumumkan, timbul pergolakan dan penggulingan pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah yang dilakukan oleh koalisi pemberontak yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang melancarkan serangan mengejutkan di wilayah Aleppo, Idlib hingga ke jantung Kota Damaskus (CNN.Com, 9/12/2024). Pemerintahan rezim Bashar al-Assad pun tumbang setelah berkuasa selama 24 tahun. Suriah pun sedang bergolak dan entah sampai kapan akan terbentuk pemerintahan yang stabil.

Tantangan Indonesia ke Depan

Konflik dan peperangan sebagaimana disebut, menyadarkan kepada kita sebagai bangsa harus senantiasa mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, prepare for the worst. Indonesia berada di pusaran pertarungan geopolitik Amerika-China. Dinamika geopolitik di Asia Pasifik, terkait revalitas negara-negara besar berpotensi memicu perang terbuka, dan hal ini mengancam negara-negara kawasan, termasuk Indonesia. Dunia begitu cepat berubah. Situasi kawasan regional bahkan internasional tidak mudah diterka. Lebih lanjut, Indonesia berada di kawasan yang paling dinamis dan cenderung bergejolak karena revalitas kekuatan besar yakni Amerika-China. Laut China Selatan, Laut China Timur, Semenanjung Korea, Selat Taiwan, dan Pasifik Selatan adalah titik-titik panas di kawasan karena menjadi bagian dari proyeksi kekuatan negara-negara adidaya dunia.

Ilustrasi tersebut, meniscayakan berbagai tantangan bangsa Indonesia yang akan merayakan Indonesia Emas pada tahun 2045. Tantangan Indonesia bukan hanya tantangan yang bersifat domestik fundamental seperti swasembada pangan, kelangkaan pupuk dan tidak stabilnya 9 harga bahan pokok, tetapi juga tantangan bersifat eksternal yang mengharuskan Indonesia mengambil peran lebih aktif dalam percaturan kancah internasional.

Menangkal Disintegrasi dengan Keakuran Nasional

Indonesia dihuni berbagai suku, agama, ras dan antargolongan, terdiri lebih dari 281,6 juta jiwa yang menyebar dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa serta pulau kecil sekitar 17.504. Dari sisi penganut agama, Indonesia menjamin berbagai agama hidup berdampingan, seperti Islam, Protestan, Katolik, Budha, Konghucu. Keberagaman juga terjadi pada 721 bahasa daerah di Indonesia

Indonesia bukanlah Jawa, karena didiami lebih dari 151,6 juta penduduk. Bukan juga Papua, karena luas wilayahnya terbesar, yaitu 786.000 km2, juga demikian halnya Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Indonesia bukanlah ketiganya. Indonesia sejatinya, adalah kelima-limanya. Indonesia juga bukan islam, meskipun agama terpopuler tersebut, dipeluk oleh 87, 2 persen dari jumlah penduduk, sehingga Indonesia dilabeli negara dengan Muslim terbesar di dunia, yakni 241,7 juta pemeluk. Indonesia bukan juga Protestan, Katolik, Budha, Konghucu, atau yang lainnya. Tetapi, keseluruhan agama itulah Indonesia. Kebinekaan yang luar biasa tersebut, harus terus terjaga, terawat, dan terus tersampaikan kepada generasi muda Indonesia saat ini, sebagai modal dasar bagi penerus sejarah perjuangan anak bangsa.

Di sisi lain, keakuran antar komponen bangsa harus dirajut ulang, pascapilpres, pileg dan pilkada 2024. Para elit prominen di Indonesia harus mampu menjaga stabilitas kohesivitas masyarakat akar rumput dengan tidak memproduksi narasi-narasi insinuatif dan melempar postulat politik yang kabur sehingga masyarakat awam yang sedang ‘terbakar’ karena calon-calon yang didukung kalah, mencercap sebagai kebenaran sehingga situasi menjadi chaos dan disorder yang akan berimplikasi terhadap ‘pembangkangan’ terhadap pemerintahan yang baru, sehingga menimbulkan disintegrasi bangsa, di saat kita membutuh persatuan dan kesatuan untuk membangun NKRI agar dapat sejajar dengan negara-negara raksasa di dunia. Para politisi harus mengajari konstituennya, bahwa demokrasi bukanlah berbeda dalam kebencian, caci makian, dan baku hantam, karena demokrasi sejatinya berisikan dialektika gagasan demi kemajuan berkesinambungan bangsa Indonesia. Setiap anak bangsa harus bersikap aposteriori dan mulai menanggalkan sikap apriori dalam kehidupan berbangsa agar tercipta kohesivitas dan harmoni bersama demi menjadi sebuah bangsa yang unggul, terdepan, dan berperadaban. Dalam diskursus keindonesiaan, para pemimpin Indonesia tidaklah dihadapkan pada perang fisik dewasa ini, melainkan 'perang' program. Pelbagai program heroik untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia harus terus digulirkan, hingga pengurangan bahkan pengentasan jumlah masyarakat miskin di Indonesia benar-benar terealisasikan. Program mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga anak-anak Indonesia ter-upgrade pendidikan mereka minimal 12 tahun juga harus terus ditindaklanjuti, dan dapat benar-benar dirasakan oleh jutaan anak Indonesia terutama pada kawasan wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal.

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia juga menjadi prioritas pemimpin, sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang merasa ditelantarkan atau dianaktirikan bahkan di negerinya sendiri. Menyejahterakan rakyat Indonesia adalah hal lain yang sangat fundamental. Tidak ada lagi berita di media massa bahwa terdapat rakyat Indonesia yang mengalami malnutrisi, stunting, busung lapar, atau bahkan tidur di kolong jembatan, karena pemimpin yang heroik akan berpikir keras bagaimana menyediakan perumahan murah bagi warga negaranya. Pada akhirnya, tugas para pemimpin adalah menunjukkan keheroikannya dengan berbagai terobosan program kerakyatan sebagai legacy yang bernilai tambah guna meneruskan catatan sejarah bangsanya, dan hal tersebut, dapat dicapai hanya dengan kembali merajut kebhinekaan demi membangun peradaban Indonesia.

Semoga!Wallahu A'lamu Bishawab.

Topik Menarik