Kisah Perebutan Monopoli Perdagangan Cengkeh Spanyol dan VOC Belanda di Maluku
VOC, perusahaan dagang Belanda, memperluas pengaruhnya ke wilayah timur Nusantara. Salah satu daerah yang diincar oleh VOC adalah Pulau Ternate di Kepulauan Maluku. Perebutan wilayah dengan Spanyol pun tak terhindarkan, bahkan benteng Spanyol di Pulau Bacan juga direbut oleh VOC.
Benteng itu kemudian diberi nama Fort Barnevelt. Tak berselang lama, VOC Belanda selama dua tahun berhasil membangun benteng-benteng yang dilengkapi oleh 500 orang tentara di daerah Taloko, Takome, dan Kalamata, Pulau Ternate; Tapasoho, Ngofakiaha, dan Tabalola di Pulau Makian; dan beberapa lagi di Jailolo atau Halmahera, dan Pulau Tidore.
Kebijakan monopoli cengkeh VOC di Maluku mengalami perubahan di sekitar tahun 1650-an. Perubahan itu sudah tampak sejak Sultan Hamzah (1627-1648), adik Sultan Baabullah, masih muda. Saat itu Hamzah, adik Sultan Baabullah pernah disandera oleh Gubernur Jenderal Spanyol Pedro da Cunha menyandera Sultan Said ke Manila. Ia baru kembali ke Ternate, sekitar 1627 dan langsung dipilih oleh Dewan Kerajaan sebagai sultan.
Dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia", salah satu hambatan yang dihadapi Hamzah untuk melaksanakan cara pemerintahan yang otokratis itu adalah perlawanan dari keluarga Tomagola, yang sejak abad ke-16 telah diberi hak untuk berkuasa di Jazirah Hoamoal di Seram, dan di pulau-pulau sekitarnya, termasuk di Jazirah Hitu, Pulau Ambon.
Pusat kekuasaan Tomagola di Hoamoal itu terletak di Negeri Luhu yang juga merupakan pelabuhan ekspor cengkeh utama di masa itu. Keluarga Tomagola adalah salah satu dari empat keluarga bangsawan yang menentukan politik Kerajaan Ternate.
Guna menghilangkan otonomi dari keluarga Tomagola di Hoamoal dan Hitu, Hamzah mengatakan bahwa mereka dibutuhkan di Ternate sebagai penasihat sultan. Keinginan Hamzah itu selalu ditolak oleh keluarga Tomagola. Oleh karena itu, Hamzah mencari jalan lain untuk mematahkan kekuasaan Tomagola dengan cara meminta gubernur VOC di Ambon untuk memerintah di Hoamoal dan Hitu atas namanya.
VOC sangat gembira dengan tindakan Sultan Hamzah itu, karena Hoamoal dan Hitu selalu menjadi titik lemah sistem monopolinya di Kepulauan Ambon. Para pedagang Eropa dari Makassar senantiasa mengirim para nahkoda Bugis dan Makassar, untuk membeli cengkeh secara tersembunyi di kedua wilayah itu untuk dijual kembali kepada para pedagang Eropa. Hal itu juga dilakukan oleh para pedagang dari Kepulauan Banda.
Pelaksanaan administrasi monopoli di Maluku Utara itu dilakukan oleh sebuah birokrasi yang memusat di Kota Ternate. Berbeda dengan di Ambon dan di Banda, di Maluku Utara VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar di seluruh wilayah itu.
Pemerintahan yang dilakukan oleh aparat tradisional dari ketiga kerajaan, yakni Ternate, Tidore, dan Bacan, yang sultannya masing-masing dalam awal abad ke-17 menjadi sekutu VOC. Kemudian berubah status menjadi vasal, dengan sistem Pemerintahan VOC di Maluku Utara itu dinamakan Gouvernement der Molukken (Pemerintah Maluku).
Dengan demikian, VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan cengkeh secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup cengkih yang umumnya adalah orang Jawa, Melayu, dan Banda. Selain itu, ekstirpasi pohon cengkeh setiap tahun di Maluku Utara menguntungkan VOC.
Pada pertengahan abad ke-17 sudah terjadi kelebihan produksi cengkeh sehingga harganya di pasaran Eropa mulai merosot. Pengurangan produksi di Maluku Utara itu akan menormalkan kembali harga cengkih di pasaran dunia.
Pada Perjanjian 1652 antara VOC dan Sultan Mandar Syah ditentukan juga harga beli cengkeh. Selanjutnya VOC akan membayar 50 ringgit (realen) bagi setiap bahar cengkih yang berukuran 625 pon. Namun, di kemudian hari VOC menghentikan pembayaran dengan ringgit (realen), tetapi dengan bahan-bahan kebutuhan untuk setiap bahar cengkeh. Kebijakan itu diambil karena para pedagang yang mendatangi Ternate lebih tertarik pada ringgit (realen).