Hoegeng, Jenderal Antisuap Hidup Pas-pasan dari Gaji Polisi

Hoegeng, Jenderal Antisuap Hidup Pas-pasan dari Gaji Polisi

Nasional | sindonews | Minggu, 30 Juni 2024 - 05:15
share

Hoegeng Iman Santoso atau populer disebut Hoegeng masih menjadi mitos bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam setengah abad terakhir. Ketegasan sikap dan kejujurannya terus diperingati setiap tahun tapi warisannya itu belum sepenuhnya diteladani.

Pada Senin (1/7/2024) besok diperingati Hari Bhayangkara ke-78. Di antara banyak tokoh polisi, sosok Hoegeng tampaknya masih paling relevan untuk dikenang pada hari lahir Kepolisian Republik Indonesia tersebut. Tidak sebatas dikenang sebagai kebanggaan tapi juga diharapkan menjadi inspirasi bagi anggota Polri dalam melaksanakan moto Rastra Sewakotama atau Abdi Utama bagi Nusa Bangsa.

Hoegeng tidak lama memimpin Polri di awal pemerintahan Presiden Soeharto, hanya tiga tahun, dari 1968-1971. Meski singkat tapi kepemimpinan Hoegeng membawa perubahan signifikan di tubuh Bhayangkara. Hoegeng membenahi struktur organisasi di Mabes Polri sehingga lebih dinamis dan komunikatif. Polri juga semakin aktif di peta polisi internasional, International Criminal Police Organization, dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.

Baca juga: Ketegasan Jenderal Polisi Hoegeng saat Akan Disuap Wanita Cantik

Di masa kepemimpinan Hoegeng, juga terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres Nomor 52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) berubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Pun demikian, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol). Perubahan tersebut juga membawa konsekuensi penyesuaian beberapa instansi di bawah Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Saat ini disebut Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda).

Saat menjabat Kapolri, Hoegeng menunjukkan sikap tak pandang bulu dalam menangani kasus-kasus yang diduga melibatkan 'orang-orang kuat'. Beberapa di antaranya adalah kasus pemerkosaan Sum Kuning di Yogyakarta pada 1970, penyelundupan sejumlah mobil mewah, dan penembakan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh taruna Akabri. Akibat sikap tegas tanpa kompromi itu, Hoegeng terpaksa dipensiunkan sebelum waktunya.

Sebagai pimpinan polisi, Hoegeng juga menunjukkan keteladanan yang patut ditiru, tidak saja oleh anggota Polri tapi juga masyarakat secara umum, apa pun profesinya. Berikut ini beberapa kisah keteladanan Hoegeng, polisi jujur yang disebut Gus Dur bersama patung polisi dan polisi tidur.

1. Antisuap

Dalam buku 'Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan, Sebuah Autobiografi' karya Ramadhan KH (1993) diceritakan mengenai Hoegeng yang sering menghadapi godaan suap. Pada 1956, saat berpangkat Kompol, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng yang dikenal sebagai polisi jujur, tegas, dan antikorupsi ditugaskan di wilayah Medan yang banyak terjadi kasus kejahatan mulai dari penyelundupan, perjudian, hingga perampokan.

Saat pindah Medan, Hoegeng belum memiliki rumah dinas karena masih dihuni oleh pejabat lama. Situasi ini dimanfaatkan oleh bandar judi dengan mengirim utusan untuk menemui Hoegeng saat tiba di Pelabuhan Belawan dan menawarkan rumah serta mobil. Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.

Dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jalan Rivai siap dihuni, Hoegeng terkejut karena rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Rupanya barang-barang mewah itu pemberian dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Namun Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya.

Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu tidak juga memindahkan barang-barang mewah tersebut. Hoegeng kemudian memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih bijak daripada menistakan sumpah jabatan dan sumpah sebagai Anggota Polri. Hoegeng geram mendapati para polisi, Jaksa dan Tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi.

"Sebuah kenyataan yang amat memalukan," katanya geram.

Baca juga: Kisah Jenderal Hoegeng Tertawa Terpingkal-pingkal saat Rumahnya Disatroni Maling

2. Tegas dan Tahan Godaan

Selama bertugas di Medan, Sumut, Hoegeng gencar memerangi penyelundupan. Dia tak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua disikat. Salah satunya seorang pengusaha wanita berparas cantik. Dia berupaya mengajak damai Hoegeng dengan mengirimkan berbagai hadiah mewah ke alamat rumah Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah tersebut pun langsung dikembalikan oleh Hoegeng.

Namun si wanita tak patah arang, dia terus membujuk Jenderal Hoegeng. Hoegeng terheran-heran karena para koleganya di kepolisian dan kejaksaan memintanya melepaskan wanita cantik itu. Hoegeng heran lantaran mengapa begitu banyak pejabat yang berusaha menolong pengusaha wanita tersebut.

Belakangan Hoegeng memperoleh kabar bahwa wanita itu tak segan-segan tidur dengan pejabat demi melancarkan aksi penyelundupannya. Hoegeng hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan koleganya yang terbius uang dan rayuan wanita.

3. Jujur dan Sederhana

Hoegeng hanya mengandalkan gaji dari kepolisian untuk menghidupi keluarganya. Karena itu, istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu pun laris dan terus berkembang. Namun sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut Dirjen Imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan Imigrasi dengan menutup toko bunga.

"Nanti semua orang yang berurusan dengan Imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," kata Hoegeng.

Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk menerapkan kejujuran, ia memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu. "Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.

Aditya Soetanto dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa(2009) menggambarkan bagaimana kejujuran dan kesederhanaan ayahnya. Polisi kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921 itu menolak segala bentuk hadiah atau pemberian yang bukan haknya. Suatu hari ada ada seorang pengusaha mengirimkan dua unit sepeda motor Lambretta ke rumah Hoegeng. Motor itu merupakan jatah bagi pejabat negara. Namun setelah diketahui asal usulnya, Hoegeng meminta ajudannya untuk mengembalikan sepeda motor itu karena merasa tidak berhak menerima.

4. Antinepotisme

Hoegeng juga sosok antinepotisme seperti dikisahkan dalam buku berjudul Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanankarya Farouk Arnaz. Waktu itu, anak kedua Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng berniat masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Ia lalu menemui ayahnya yang menjabat sebagai Kapolri untuk meminta surat izin. Namun Hoegeng mengatakan 'nanti saja'.

Beberapa hari kemudian Adit diminta datang ke Mabes Polri. Hoegeng menanyakan kemantapan hati Adit yang ingin masuk militer. Namun ayahnya itu juga menyampaikan bahwa tidak ingin ada Hoegeng lain di Kepolisian. Adit sangat marah karena ayahnya tidak memberikan rekomendasi dan ternyata pendaftaran masuk Akabri telah tutup dua hari sebelumnya. Di tengah kemarahan anaknya itu, Hoegeng menjelaskan bahwa hati kecilnya berharap tidak ada lagi yang mengikuti jejaknya di angkatan. Tak hanya itu, Hoegeng juga menjelaskan alasannya tidak mengizinkan Adit bergabung di Akabri. Hoegeng tidak ingin jabatannya sebagai Kapolri akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.

Selepas penjelasan panjang lebar terkait alasannya tidak memberi izin bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Jenderal Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya untuk meminta maaf.

Itulah empat teladan dari Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Kapolri periode 1968-1971 yang melegenda hingga saat ini.

Topik Menarik