Pengusaha Waspadai Dampak Tarif Impor AS
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyuarakan kekhawatirannya terkait tarif impor AS sebesar 32 terhadap produk Indonesia.
Kebijakan tersebut dinilai berisiko menurunkan ekspor, memengaruhi investasi, hingga memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor-sektor tertentu.
Ketua Umum Kadin, Anindya Bakrie menilai langkah ini bisa berdampak besar terhadap neraca pembayaran Indonesia, terutama pada neraca perdagangan dan arus investasi. Dia menyoroti pentingnya posisi Amerika Serikat sebagai penyumbang devisa utama dengan nilai surplus perdagangan mencapai USD16,8 miliar pada tahun 2024.
“Mitra dagang bilateral terbesar Indonesia pada tahun 2024 adalah AS yang memberikan surplus USD16,8 miliar kepada Indonesia. Hampir semua ekspor komoditas utama Indonesia ke AS meningkat pada tahun 2024. Sebagian besar barang Indonesia yang diekspor ke AS adalah produk manufaktur, yaitu peralatan listrik, alas kaki, pakaian, bukan komoditas mentah. Selama ini, produk Indonesia dikenakan tarif impor sekitar 10 di AS. Namun, faktanya, beberapa barang konsumsi sepenuhnya bebas bea masuk, karena Indonesia menikmati fasilitas preferensi sistem umum (GSP) yang diberikan oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang,” jelasnya, Jumat (4/4/2025).
Guna menjaga stabilitas neraca perdagangan, Kadin mendorong pemerintah agar lebih selektif dalam melakukan negosiasi dagang. Fokus utama diarahkan pada industri padat karya yang terdampak secara menyeluruh dari hulu ke hilir.
“Selain itu, Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin,” ujarnya.
Kadin juga menilai Indonesia masih memiliki peluang mempertahankan hubungan dagang yang kuat dengan Amerika Serikat, mengingat kebutuhan AS terhadap berbagai produk strategis dari Indonesia.
“Kita bisa menegosiasikan hal ini dengan produk ekspor andalan Indonesia,” katanya.
Selain itu, Anindya menyoroti implementasi Inflation Reduction Act (IRA) oleh pemerintah AS, yang bertujuan menekan inflasi serta mendorong transisi ke energi bersih melalui insentif besar-besaran untuk kendaraan listrik, energi terbarukan, serta industri baterai dan semikonduktor.
Menurutnya, hal ini bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk tetap mengekspor produk olahan mineral, khususnya nikel, ke pasar AS, asalkan memenuhi standar lingkungan dan ketenagakerjaan.
“Hal ini dimungkinkan oleh critical minerals agreements dengan AS,” ujarnya.
Anindya juga menyampaikan bahwa rencana kebijakan tarif impor AS tak hanya berdampak pada perdagangan, tetapi juga berpotensi memengaruhi arus masuk investasi, baik portofolio maupun investasi langsung (FDI). Oleh karena itu, dia mendorong pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang ditujukan bagi mitra dan aliansi AS sebagai upaya menarik relokasi industri dari Tiongkok.
“Dampak negatif kebijakan Presiden Trump perlu dihitung dengan cermat. Penurunan ekspor alas kaki, pakaian, dan produk elektronik Indonesia ke AS akan berdampak pada ketenagakerjaan. Kadin mengimbau agar pemerintah dan pelaku usaha bersama-sama mencegah PHK,” pungkasnya.
Baca Selengkapnya: Kadin Blakblakan soal Dampak Besar Tarif Impor Trump ke Indonesia