Kepala BGN Singgung Masalah Gizi Pemain Timnas Indonesia
JAKARTA - Penampilan Timnas Indonesia menuai kritik tajam setelah kalah telak 5-1 dari Australia di Kualifikasi Piala Dunia. Banyak pihak menyoroti kelemahan mendasar tim, bahkan sampai mempertanyakan kondisi gizi para pemain.
Kekalahan telak tersebut memicu perdebatan mengenai kesiapan tim, bukan hanya dari segi taktik dan strategi, tetapi juga dari aspek fisik. Kondisi fisik pemain, yang erat kaitannya dengan nutrisi, menjadi sorotan utama dalam analisis performa tim.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana mengatakan bahwa ada hubungan antara kinerja permainan pemain sepak bola Indonesia dan kualitas gizi mereka.
“Jangan heran kalau PSSI sulit menang karena main 90 menit berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus dan banyak pemain bola lahir dari kampung,” ucap Dadan, di Pendopo Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, dikutip dari Antara, Minggu (24/3/2025).
1. Gizi Pemain Timnas
Kualitas tim nasional Indonesia saat ini meningkat berkat kontribusi pemain naturalisasi. Mereka yang dibesarkan di negara-negara dengan standar diet ketat seperti Belanda memiliki dampak fisik yang signifikan dan kinerja tim. Timnas Indonesia mendapat manfaat dari pemain yang terbiasa dengan pola makan sehat dan pelatihan intensif. Dengan rata-rata 17 pemain naturalisasi, diharapkan Timnas Indonesia juga lebih baik.
Pendapat Dada, olahraga bukan hanya latihan fisik; itu juga tentang kemampuan untuk membaca dan bermain permainan lawan.
2. Harapan Program Makan Bergizi Gratis
Akibatnya, pihaknya berharap melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat membantu bayi yang masih di dalam kandungan, balita, dan anak-anak dari SD hingga SMA untuk mendapatkan nutrisi yang baik dan menjadi tenaga kerja produktif yang berkualitas dalam dua puluh tahun mendatang.
3. Kemiskinan Indonesia
Saat ini, Indonesia dilaporkan mengalami peningkatan penduduk yang sangat cepat, dengan rata-rata kelahiran 6 orang per menit atau 3 juta anak per tahun, hingga total penduduknya mencapai 280 juta.
Diperkirakan, pada tahun 2045, ketika Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaan, jumlah penduduknya akan mencapai 324 juta. Jumlah rumah tangga yang terdiri dari keluarga miskin dan rentan miskin merupakan komponen yang berkontribusi pada pertumbuhan penduduk.
Data menunjukkan bahwa dari 100 keluarga miskin, 78 memiliki anak tiga, dan 12 memiliki anak dua. Jika 100 keluarga miskin dan rentan miskin digabungkan, lima puluh keluarga memiliki 3 anak, dan lima puluh keluarga lainnya memiliki dua anak.
“Di situ sumber pertumbuhan penduduk Indonesia dari dulu, sampai sekarang, dan yang akan datang. Jadi Pak Presiden gelisah, kalau kita tidak intervensi (dengan program Makan Bergizi Gratis), ini kelompok ini 60 persen tidak pernah melihat menu dengan gizi seimbang. Kalau makan itu ada nasi, ada bala-bala, ada mi atau bihun, kerupuk, kecap ada semua karbohidrat. Itu sudah cukup bagi mereka bahagia, yang penting asal bisa hidup, dan 60 persen dari anak kelompok ini tidak pernah minum susu bukan karena tidak mau, tapi tak mampu minum susu,” ucap Dadan.
Pertumbuhan jumlah rumah tangga dari kalangan atas dan menengah dinilai tidak terlalu berpengaruh pada peningkatan populasi secara keseluruhan. Faktor-faktor lain, seperti angka kelahiran dan migrasi, memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap dinamika kependudukan.
“Jadi, kalau ada 100 orang keluarga kelas atas, itu 84 keluarga anaknya satu, 16 keluarga tidak punya anak.. (lalu) kalau ada 100 orang kelas menengah, 12 keluarga anaknya dua, 88 anaknya satu,” tambah Dadan.
Baca Selengkapnya: Kepala BGN Sebut Timnas Indonesia Sulit Menang karena Gizinya Tak Bagus