Persaingan Kekuatan Asing dalam Perebutan Kendali atas Suriah
JAKARTA - Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Suriah menjadi arena persaingan antara kekuatan asing seperti Israel, Turki, dan Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut melakukan serangan udara di berbagai wilayah Suriah dengan dalih melindungi kepentingan masing-masing setelah kelompok pemberontak berhasil menggulingkan Assad dalam serangan kilat. Kegembiraan atas kebebasan masyarakat setelah keluarga Assad memerintah selama 54 tahun, segera berubah menjadi kesadaran bahwa kekuatan asing mulai saling berebut untuk menguasai Suriah.
Melansir The Guardian Israel bertindak cepat dengan menyerang aset militer Suriah yang sudah lemah dan mengambil alih zona penyangga yang sebelumnya diawasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Dataran Tinggi Golan. Dalam waktu 48 jam, lebih dari 350 serangan udara diluncurkan untuk menghancurkan senjata dan infrastruktur militer Suriah, termasuk pesawat tempur, radar, dan sistem pertahanan udara.
Tindakan ini mendapat kritik dari komunitas internasional. Meski beberapa negara seperti Prancis dan Spanyol mengecam serangan tersebut, banyak kekuatan Barat lainnya, termasuk Amerika Serikat, mendukung atau bersikap pasif. Hal ini menimbulkan tuduhan standar ganda dalam hukum internasional, terutama dibandingkan dengan respons terhadap invasi Rusia di Ukraina.
Utusan khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, termasuk sedikit pihak yang secara langsung meminta Israel menghentikan serangan udara dan invasi daratnya, karena melanggar perjanjian gencatan senjata 1974.
"Ini harus dihentikan," kata Pedersen. "Saya tidak berhubungan langsung dengan pihak Israel, tetapi tentu saja, PBB di New York berhubungan dengan mereka. Pasukan penjaga perdamaian di Dataran Tinggi Golan juga berhubungan setiap hari dengan Israel. Dan tentu saja, pesan dari New York tetap sama – apa yang kita lihat ini adalah pelanggaran terhadap perjanjian pemisahan tahun 1974," tambahnya.
Menurut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serangan ini dilakukan untuk melindungi keamanan negaranya dari potensi ancaman pemberontak dan kelompok jihad. Israel juga memanfaatkan dukungan Amerika Serikat (AS), yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pertahanan diri.
"Kami tidak memiliki niat untuk ikut campur dalam urusan internal Suriah, tetapi kami jelas berniat untuk melakukan apa yang diperlukan untuk memastikan keamanan kami," kata Netanyahu sebagaimana yang dikutip dari ABC News.
Pada Senin (9/12/2024), juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengungkapkan argumen Israel terkait invasi ke Suriah. Ia menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Assad, tentara Suriah meninggalkan posisinya di sepanjang perbatasan Israel-Suriah, yang menurut Miller dapat menciptakan celah yang berpotensi diisi oleh kelompok teroris.
Miller menambahkan bahwa Israel menyatakan bahwa tindakan ini bersifat sementara dan bertujuan untuk melindungi perbatasannya. Namun, banyak yang meragukan klaim “sementara” tersebut, karena media Israel melaporkan bahwa pejabat militer menyatakan pasukan tersebut akan tetap berada di sana "untuk masa mendatang."
Netanyahu sendiri menegaskan bahwa Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah pada perang 1967 dan diduduki sejak itu, akan menjadi bagian dari Israel "selamanya." Israel mencaplok wilayah ini secara sepihak pada tahun 1981, yang kemudian dianggap tidak sah oleh Dewan Keamanan PBB melalui resolusi yang menyatakan aneksasi itu tidak berlaku menurut hukum internasional. Meski hampir seluruh dunia tidak mengakui klaim Israel atas Golan, pada 2019, Donald Trump mengakui aneksasi tersebut, sebuah keputusan yang hingga kini tidak dibatalkan oleh pemerintahan Biden.
Profesor Mehmet Ozalp dari Charles Sturt University mengatakan perkembangan saat ini di Suriah menguntungkan bagi Israel.
"Tetapi meskipun kondisinya sekarang lebih menguntungkan bagi Israel, mereka masih akan melihat kepemimpinan Suriah yang baru sebagai ancaman," ujar Ozalp.
"Dan akan ingin melemahkannya secara militer sebanyak mungkin,” lanjutnya.
Setelah Assad melarikan diri ke Moskow pada Minggu (8/12/2024), AS juga melancarkan serangan udara terhadap lebih dari 75 target yang dianggap sebagai kamp atau kelompok operatif ISIS di wilayah tengah Suriah. AS tidak ingin kekosongan kekuasaan setelah jatuhnya Assad dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk bangkit kembali. Selain itu, AS juga khawatir konflik ini akan memicu kembali gelombang pengungsi besar-besaran ke Eropa dan negara-negara tetangga.
Intervensi militer AS di Suriah dimulai pada 2014 untuk melawan kelompok ISIS yang menyatakan kekuasaannya atas sepertiga Suriah dan Irak.
Meskipun sebagian besar pasukan AS ditarik pada 2019, sekira 900 tentara masih bertahan untuk mendukung Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang mayoritasnya adalah Kurdi.
Dinamika politik di AS, khususnya kemungkinan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, diperkirakan akan mengurangi keterlibatan AS di Suriah. Selama masa jabatannya, Trump cenderung enggan terlibat dalam konflik Suriah. Menurut Profesor Ozalp, hal ini yang mendorong kelompok pemberontak untuk mempercepat serangan mereka sebelum proses transisi kepemimpinan di AS selesai.
"Mereka tahu kebijakan Trump di Suriah tentang ketidakpedulian atau tidak terlalu terlibat. Dan dalam periode sementara antara Biden dan Trump, mereka akan berpikir bahwa apa pun keuntungan yang mereka miliki, mereka mungkin dapat mempertahankannya ketika Trump benar-benar berkuasa,” jelasnya.
Perang sipil Suriah yang dimulai pada 2011 memicu keterlibatan Turki secara langsung. Turki mendukung kelompok pemberontak anti-Assad, termasuk dengan mendanai, melatih, dan mempersenjatai Tentara Nasional Suriah (SNA). Lokasi geografis Turki yang berbatasan langsung sepanjang 911 km dengan Suriah mempermudah aliran senjata dan barang logistik lainnya. Turki juga mendukung kelompok pemberontak lainnya seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang kini menguasai ibu kota Damaskus.
Profesor Ozalp dari Charles Sturt University, dukungan Turki memungkinkan pemberontak bertahan bahkan memperkuat posisinya. Salah satu tujuan utama Turki adalah melemahkan kelompok Kurdi Suriah, yang dianggap berhubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok separatis yang beroperasi di Turki dan melancarkan pemberontakan di Turki sejak 1984.
Namun, keterlibatan Turki sering kali menuai kritik. Beberapa pengamat menyatakan bahwa serangan pemberontak tidak mungkin terjadi tanpa persetujuan Ankara. Meski begitu, jatuhnya Assad telah memperkuat posisi geopolitik Turki, menjadikannya pemain penting di Timur Tengah.
Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dulu merupakan bagian dari al-Qaeda, kini menghadapi tugas berat membangun pemerintahan transisi yang inklusif. selama perang saudara Suriah. Beberapa negara Barat dan PBB sedang mempertimbangkan untuk mencabut statusnya sebagai organisasi teroris jika HTS dapat menunjukkan komitmen terhadap reformasi politik dan pembentukan konstitusi baru.
Kelompok HTS dan faksi-faksi pemberontak lainnya menghadapi tantangan besar untuk menyatukan berbagai kelompok di Suriah ke dalam pemerintahan yang solid dan inklusif, yang mampu mengelola perpecahan sektarian serta etnis hingga terbentuk konstitusi baru dan diadakan pemilu. Mereka juga harus mengatasi warisan kejam rezim Assad, yang bertanggung jawab atas hampir 500.000 kematian dan perpindahan setengah populasi Suriah, serta melawan pengaruh asing.