Mengenal Gelar Gus yang Disandang Gus Miftah, Tidak Boleh Dipakai Sembarangan dan Bukan untuk Kebanggaan
Gus Miftah belakangan menjadi sorotan dan panen kritikan masyarakat imbas mengolok-olok seorang penjual es teh dengan kata-kata yang dianggap kasar.
Banyak yang menyayangkan bahkan mengecam sikapnya. Apalagi, seperti diketahui, ulama sekaligus Utusan Khusus Presiden ini menyandang gelar "Gus" yang seharusnya berprilaku baik dan menjadi teladan bagi masyarakat.
Sayangnya, sikap kasar dan beberapa kontroversi Gus Miftah dinilai tidak sesuai dan mencerminkan gelar "Gus" yang disandangnya itu. Gelar ini sendiri merujuk pada putra kiai atau santri yang memiliki pengetahuan agama mendalam dan dihormati dalam masyarakat, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Lantas, apa sebenarnya makna dan keistimewaan gelar "Gus" yang salah satunya disandang oleh Gus Miftah ini? Berikut akan diulas Okezone, melansir dari laman resmi NU, Rabu (4/12/2024).
Panggilan ‘Gus’ dalam Nahdlatul Ulama merupakan panggilan yang Istimewa, khususnya di daerah Jawa yang sering diperuntukkan bagi putra seorang kiai. Di daerah lain juga ada tradisi panggilan spesial kepada anak kiai seperti ‘lora’, ‘ajengan’, ‘buya’, ‘anre’, atau ‘aang’.
Dalam buku Baoesastra Djawa yang ditulis Poerwadarminta, kata ‘Gus’ berasal dari kata Bagus. Awal mula panggilan ‘Gus’ ini berasal dari tradisi keraton yang memanggil putra raja yang masih kecil dengan penggilan Raden Bagus yang disingkat Den Bagus.
Sementara dalam sebuah Jurnal berjudul Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis yang ditulis Millatuz Zakiyah (2018) disebutkan bahwa seiring berjalannya waktu, putra kiai disapa ‘Gus’ tidak terbatas oleh umur.
Panggilan Gus tetap disematkan walau putra kiai tersebut sudah tidak kecil lagi. Panggilan ‘Gus’ juga melebar dan digunakan sebagai simbol ketokohan seseorang dari sisi agama. Walau bukan anak kiai, seseorang yang mendalam pemahaman agamanya juga bisa saja dipanggil ‘Gus’. Jadi, panggilan ‘Gus’ berdasarkan kajian sosiologis bisa didapat secara alami (ascribed status) yang disebabkan faktor keturunan dan melalui proses perjuangan serta pengorbanan (achieved status).
Terkait panggilan ‘Gus’ ini, Putra Kiai Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso KH Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar) mengingatkan siapa saja yang senang mendapat panggilan "Gus" untuk tidak bangga terlebih dahulu saat mendapatkan gelar tersebut.
Ia menjelaskan bahwa panggilan "Gus" merupakan sebuah penghormatan yang diberikan oleh masyarakat, khususnya Jawa Timur, kepada orang yang kebetulan dilahirkan dari para ulama yang memiliki karya, atsar, atau legacy (peninggalan) dalam hidupnya.
“Artinya, ‘Gus’ itu sama sekali bukan penghormatan kepada dirinya. Tapi ini adalah menghargai jasa-jasa orangtuanya,” ujar Gus Kautsar.
Ia sepakat jika ada orang yang membangun karya dan perjuangannya sendiri dengan tidak mengandalkan nasab orangtua untuk dipanggil dengan ‘Kiai’, bukan ‘Gus’. Karena menurut dia ‘Gus’ itu tidak punya karya.
"Kami ini terhormat karena karya orang tua kami. Karena kebaikan, karena kualitas yang dimiliki oleh orang tua kami. Kakek nenek kami,” ungkap Gus Kautsar.
Ia pun merasa heran kepada orang yang bangga sekali jika dipanggil ‘Gus’. Padahal jika yang bersangkutan mau memahami bahwa ia dipanggil ‘Gus’ sama sekali bukan karena kehebatannya.
“Hanya untuk mengingatkan: Hei Mas, Anda itu anaknya orang hebat. Sekarang berusahalah untuk kemudian memantaskan diri menjadi orang yang lumayan. Tidak usah seperti bapaknya, setidaknya lumayan,” ujar Gus Kautsar.
Hal senada disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadzik. Ia mengatakan bahwa gelar 'Gus' tidak sembarangan boleh dipakai seseorang.
Menurut Gus Fahmi, menyandang gelar 'gus', lora, ajengan, dan lain sebagainya merupakan penanda bahwa dia putra ulama/kiai, tentu tidak sembarangan. Harus diiringi sifat, akhlak, dan adab yang baik.
"Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil 'Gus'. Repotnya lagi, banyak yang memanipulasi gelar 'Gus' untuk keburukan. Tentu ini berbahaya bagi 'Gus-Gus' yang baik dan memang putra kiai,” tutup cucu Hadratussekh Hasyim Asy'ari ini.