Banyak Perambahan Mangrove di Desa Tanjung Rejo, Sanksi Tebang 1 Harus Tanam 500 Pohon
MEDAN - Mangrove merupakan ekosistem unik yang ditemukan di pesisir tropis dan subtropis, di mana air laut bercampur dengan air tawar. Mangrove memiliki berbagai manfaat penting bagi lingkungan, masyarakat, dan kehidupan laut.
Namun, meskipun memiliki peran vital, mangrove semakin terancam oleh aktivitas manusia, seperti alih fungsi lahan, pembangunan, dan pencemaran, seperti yang terjadi di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.
Atas dasar itu, Kepala Desa Tanjung Rejo, Selamet, membuat regulasi baru, bahwa satu batang pohon mangrove yang ditebang harus diganti dengan 500 pohon serupa.
Hal itu dikatakan Selamet saat media gathering Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan The World Bank. Kedua lembaga ini membuat program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR), sebuah aksi konservasi dan rehabilitasi mangrove.
Sejak menjadi Kepala Desa, Slamet membuat Peraturan Desa (Perdes) Nomor 522.5/07/2014. Regulasi itu berisi tentang perlindungan mangrove dan burung migran.
“Saya juga telah bergerak dari tahun 2006, mengajak masyarakat remaja masjid untuk mencintai mangrove. Setelah saya menjadi Kepala Desa 2014, kami membuat Peraturan Desa terkait dengan perlindungan mangrove dan burung migran,” kata Selamet kepada wartawan, Senin (2/12/2024).
Pasalnya, keberadaan hutan mangrove di Desa Tanjung Rejo dimanfaatkan warga lokal untuk membuat Kelompok Sima Batik. Kelompok ini membuat tinta kain batik memakai akar mangrove yang sudah mati, dan dapat menghasilkan ragam warna.
“Ada 22 warna dari getah (yang dihasilkan lewat akar) mangrove itu sendiri yang dibuat untuk batik,” bebernya.
Tidak hanya itu, warga juga memanfaatkan buah dari tanaman mangrove untuk dijual ke pasar domestik. Mulai dari dodol, jus, selai, keripik mangrove dan sebagainya.
“Saat ini pohon mangrove itu belum berbuah. Kalau sudah musim buah, pohon berembang ini dagingnya (buah) inilah yang dapat diolah menjadi dodol mangrove dan selai mangrove,” tuturnya.
Di samping itu, Pemdes juga membangun taman edukasi mangrove di Dusun 13, yang menceritakan tentang manfaat mangrove. Kata dia, mangrove ditata dengan baik sekaligus melakukan budidaya ikan, kepiting dan udang di dalamnya sekitar tiga hektar.
“Untuk makanannya itu cukup dengan plankton yang ada di tambak dan lumut. Kami juga berbudidaya lebah di bawah pohon mangrove,” pungkasnya.
Diketahui, Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) adalah program konservasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan World Bank. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi ribuan hektar mangrove yang terdegradasi di empat fokus lokasi, yakni di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Langkah ini dilakukan demi memperkuat ketahanan pesisir, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain berfokus pada pemulihan ekosistem mangrove, M4CR juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal melalui berbagai program berkelanjutan yang melibatkan masyarakat, seperti ekowisata, produksi kuliner lokal dan pelatihan pengelolaan sumber daya alam.
Program ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam aksi iklim global dan bertujuan untuk mengurangi kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana alam melalui pendekatan konservasi yang terpadu. Melalui kolaborasi antara Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) serta Kementerian Koordinator Bidang Pangan.