Soal Masalah Lingkungan, Survei Ungkap 30,6 Publik Merasa Terganggu

Soal Masalah Lingkungan, Survei Ungkap 30,6 Publik Merasa Terganggu

Nasional | okezone | Senin, 2 Desember 2024 - 20:08
share

JAKARTA - Persoalan lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diatasi, khususnya di Indonesia. Bahkan, dari survei yang dilakukan Golkar Institute, persoalan lingkungan merupakan masalah yang mengganggu masyarakat.

Ace Hasan Syadzily, Ketua Golkar Institute sekaligus Gubernur Lemhannas RI, menyatakan, sejak berdiri pada 2020, Golkar Institute telah menunjukkan perhatian serius terhadap isu lingkungan. Apalagi, di era Presiden Prabowo Subianto, penanganan lingkungan hidup telah ditingkatkan dengan menjadikan kementerian terkait sebagai lembaga terpisah. 

“Pada era kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup menjadi kementerian terpisah (regenerasi), sehingga ini telah menjadi perhatian khusus, efisiensi dan fokus pelaksanaan tugas untuk pembangunan berkelanjutan dan menjadi elemen kunci untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Golkar Institute percaya bahwa generasi muda harus  memimpin perubahan ini,” kata Ace dalam keterangannya, Senin (12/2/2024).

Menurut Ace, hasil survei ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan hidup terus meningkat. Survei ini diharapkan berguna bagi pihak yang ingin mengangkat isu lingkungan hidup. Bagi partai politik atau politisi, survei ini dapat membantu mengidentifikasi elemen masyarakat yang sudah memiliki ketertarikan maupun terpapar pada masalah lingkungan hidup. 

"Sementara bagi pegiat lingkungan hidup, hasil survei ini dapat membantu mengidentifikasi segmen masyarakat yang masih perlu diedukasi, agar semakin banyak pihak yang memperkuat kepeduliannya pada masalah ini,” katanya.

Sementara itu Faculty Chair Golkar Institute, Mulya Amri memaparkan hasil survei, bahwa sekitar 30,6 responden merasa terganggu oleh masalah lingkungan. Sedangkan 18,1 sering mengalami dampak langsungnya. 

“Sebanyak 30,6 responden menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup sangat mengganggu atau cukup mengganggu kehidupan mereka. Selain itu, 18,1 responden melaporkan sering atau sangat sering merasakan dampak langsung dari masalah lingkungan hidup,” ujar Mulya.

Masalah utama yang dihadapi adalah ketersediaan air bersih, pencemaran udara, lingkungan yang kotor, dan kenaikan suhu bumi. Sebanyak 41,8 responden melaporkan terkadang hingga sangat sering mengalami masalah ketersediaan air bersih dan 27,8 menyebutkan, masalah ini cukup dan sangat mengganggu. 

 

Kemudian, 44 mengaku pernah mengalami dampak dari pencemaran udara dan 43,7 menyatakan merasa terganggu. Selain itu, 62,5 responden merasa lingkungan mereka kotor, dengan 35,7 menyatakan kondisi tersebut cukup mengganggu. Pemanasan global juga menjadi sorotan, di mana 52,8 sering merasakan dampaknya, dengan 49,1 menyatakan bahwa fenomena ini cukup hingga sangat mengganggu. 

Sebanyak 74,9 responden pernah mendengar istilah pemanasan global, meskipun hanya 19,4 yang memahami penyebabnya secara mendalam mengenai akar permasalahannya. Di sisi lain, istilah seperti energi terbarukan kurang dipahami masyarakat, hanya dikenal oleh 6,3 responden. Hal ini menegaskan perlunya edukasi yang lebih sederhana dan mudah dimengerti. 

Pemerintah juga dinilai belum maksimal dalam menangani isu lingkungan, dengan 32,9 responden menyatakan kurang puas atas upaya yang dilakukan. Sedangkan 33,0 menganggap permasalahan ini tidak cukup menjadi perhatian serius. Hal tersebut menandakan harapan yang tinggi terhadap kebijakan yang lebih tegas dalam mengatasi pencemaran, pengelolaan sampah, dan penyediaan air bersih.

Ketua Eksekutif Koalisi Ekonomi Membumi, Gita Syahrani, menekankan pentingnya menggunakan istilah yang lebih sederhana untuk menjangkau masyarakat luas, seperti mengganti istilah teknis dengan penjelasan yang mudah dipahami. 

"Survei ini menggantikan istilah teknis seperti Global Warming dengan istilah ‘suhu panas bumi yang semakin tinggi,’ yang lebih relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Ini adalah langkah penting dan menjadi insights baru untuk saya pribadi dalam memastikan komunikasi tentang isu lingkungan menjadi inklusif dan efektif,” kata Gita.

 

Sementara itu, Direktur Mandala Katalika, Juliarta Ottay, menyarankan penerapan kebijakan pajak tambahan bagi produsen plastik yang sulit terurai sebagai langkah konkret untuk mengurangi dampak sampah plastik.

"Penerapan pajak tambahan bagi produsen yang menggunakan plastik sulit terurai adalah salah satu langkah strategis. Semakin sulit plastik tersebut terurai, semakin tinggi pajaknya. Langkah ini akan mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dan memilih material yang lebih ramah lingkungan,” kata Juliarta.

Survei ini juga mencatat kondisi kesehatan psikologis masyarakat. Didapati 58,5 responden menyatakan tidak pernah mengalami kesedihan atau putus asa dalam dua minggu terakhir. Namun, 34,9 mengaku terkadang merasa sedih, dan 6,2 sering mengalaminya. Terkait kecemasan, 46,3 responden sesekali merasa cemas, sementara 12,1 sering mengalami kecemasan.

Dengan adanya survei ini, Golkar Institute berharap bisa menjadi panduan strategis untuk mengembangkan kebijakan yang inklusif, ramah lingkungan, dan berorientasi pada keberlanjutan. Survei ini dirilis dalam acara diskusi publik sebagai bagian dari program pelatihan Executive Education Program for Young Political Leaders (YPL) angkatan ke-17, bertempat di DPP Partai Golkar, Jakarta, pada 2 Desember.

Topik Menarik