Benarkah Lebanon Pernah Menjadi Bagian dari Israel? Ini Penjelasannya
JAKARTA - Pada 30 September 2024, Israel memulai operasi darat di Lebanon selatan setelah serangan udara yang menghancurkan infrastruktur Hizbullah. Menurut BBC, serangan ini menyebabkan lebih dari 2.300 orang tewas di Lebanon, dan lebih dari 1,2 juta orang mengungsi. Hizbullah merespons dengan menembakan roket ke wilayah utara Israel.
Israel dan Hizbullah telah terlibat dalam banyak konflik, dan serangan-serangan ini semakin intensif sejak perang di Gaza dimulai. Walaupun perang ini sebagian besar terjadi di Gaza, serangan lintas perbatasan Israel-Hizbullah menjadi semakin sering, memicu ketegangan antara kedua negara. Pertanyaan mengenai apakah Lebanon pernah menjadi bagian dari Israel sering kali muncul karena sejarah konflik yang panjang antara kedua negara.
Lebanon adalah negara kecil dengan populasi sekira 5,5 juta jiwa dan seperti banyak negara di Timur Tengah, mereka memiliki sejarah yang panjang sebagai bagian dari berbagai kekaisaran, termasuk Kekaisaran Ottoman yang memerintah wilayah ini dari 1516 hingga 1918. Melansir Middle East Research and Information Project, pada masa Ottoman, Lebanon bukanlah entitas yang terpisah melainkan bagian dari sistem administratif yang mencakup wilayah modern Suriah, Palestina, dan Yordania.
Wilayah semi-otonom Mutasarrifiyah Gunung Lebanon dibentuk pada 1861 untuk melindungi komunitas Kristen Maronit dari konflik antar kelompok agama yang sering terjadi di wilayah tersebut. Hal ini menjadi cikal bakal identitas Lebanon sebagai wilayah yang unik secara sosial dan politik.
Setelah kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memberikan mandat atas wilayah ini kepada Prancis. Pada 1920, Prancis membentuk Lebanon Raya dengan memasukkan wilayah Gunung Lebanon dan area sekira seperti Beirut, Tripoli, Sidon, Tirus, dan Lembah Beqaa. Pada 1923, perbatasan resmi antara Lebanon dan Palestina ditetapkan, memisahkan kedua wilayah tersebut secara definitif.
Deklarasi kemerdekaan Israel pada 1948 menjadi titik awal konflik yang lebih luas di Timur Tengah. Negara-negara Arab, termasuk Lebanon, menolak pembentukan Israel dan terlibat dalam Perang Arab-Israel pertama. Perang ini menyebabkan banyak pengungsi Palestina melarikan diri, dengan lebih dari 100.000 orang menetap di Lebanon dan tinggal di kamp-kamp seperti Shatila dan Ein al-Hilweh.
Meskipun Lebanon terlibat dalam konflik dengan Israel, wilayahnya tidak pernah secara langsung dikuasai oleh negara Yahudi tersebut. Namun, hubungan antara kedua negara terus memburuk, terutama akibat aktivitas kelompok-kelompok bersenjata seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang beroperasi dari Lebanon untuk menyerang Israel.
Israel telah beberapa kali melancarkan serangan militer ke Lebanon, yang terkadang melibatkan pendudukan sementara di wilayah selatan negara itu. Salah satu peristiwa penting adalah Operasi Litani pada tahun 1978, ketika Israel menginvasi Lebanon selatan untuk mengusir PLO. Meskipun operasi ini menghasilkan pendudukan sementara, Israel tidak menciptakan kontrol permanen atas wilayah tersebut.
Pada 1982, Israel kembali melancarkan invasi besar-besaran ke Lebanon. Dengan alasan untuk menghancurkan PLO, pasukan Israel mencapai Beirut dan menduduki sebagian besar wilayah Lebanon. Pendudukan ini menimbulkan tragedi kemanusiaan, termasuk pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila oleh milisi Lebanon yang didukung oleh Israel.
Setelah mundur dari sebagian besar wilayah, Israel tetap menduduki wilayah selatan Lebanon hingga tahun 2000, menciptakan zona keamanan untuk menghadapi ancaman dari kelompok bersenjata seperti Hizbullah. Pada 2006, perang besar kembali pecah setelah Hizbullah menculik dua tentara Israel, yang memicu serangan udara dan invasi darat oleh Israel. Namun, seperti sebelumnya, pendudukan ini tidak bersifat permanen.
Lebanon memiliki nilai strategis yang tinggi bagi Israel, terutama karena sumber daya alam seperti Sungai Litani dan lokasi geografisnya yang berdekatan dengan wilayah utara Israel.