Trump Terpilih Kembali Sebagai Presiden AS, Apa Dampaknya Bagi Konflik Palestina-Israel?

Trump Terpilih Kembali Sebagai Presiden AS, Apa Dampaknya Bagi Konflik Palestina-Israel?

Global | okezone | Kamis, 7 November 2024 - 08:59
share

JAKARTA – Donald Trump akan kembali ke Gedung Putih sebagai Presiden Ke-47 Amerika Serikat (AS) setelah mengalahkan calon dari Partai Demokrat, Kamala Harris pada pemilihan, Selasa, (5/11/2024). Diyakini bahwa salah satu isu yang mendorong pemilih untuk memberikan suaranya Trump dibandingkan Harris adalah terkait isu Palestina dan kekejaman yang dilakukan Israel di Gaza. 

Pemilih meyakini bahwa Trump merupakan pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan isu di Timur Tengah antara Israel dan Hamas, serta kekejaman rezim zionis terhadap warga sipil Palestina. 

Perang Israel di Gaza, dan dukungan penuh pemerintahan Biden terhadap upaya perang zionis, memungkinkan Trump untuk menampilkan dirinya sebagai alternatif yang lebih baik bagi para pemilih Muslim dan Arab yang marah atas pembantaian tersebut. Di sisi lain, Harris, yang merupakan Wakil Presiden Biden, dianggap sebagai bagian dari pemerintahan yang mendukung genosida Israel tersebut. 

Namun apa sebenarnya sikap Trump terhadap isu Palestina dan Gaza?

Selama kampanyenya, Trump telah menegaskan bahwa ia yakin kebijakan luar negeri AS memerlukan perubahan mendasar. Ini juga terkait hubungan AS dengan sekutu-sekutunya, termasuk Israel. 

 

Kurang dari sepekan sebelum pemilihan, Trump mengunjungi sebuah restoran Lebanon di Dearborn, sebuah kota dengan populasi Arab Muslim yang besar di Michigan. Di sana dia menjanjikan bahwa dia akan mengusahakan perdamaian di Timur Tengah jika terpilih. 

"Anda akan mendapatkan kedamaian di Timur Tengah, tetapi tidak dengan badut-badut yang Anda miliki yang menjalankan AS saat ini," kata Trump saat itu, sebagaimana dilansir Middle East Eye. 

Namun, terlepas dari janjinya tersebut, Trump tetap menggambarkan dirinya sebagai pembela Israel. Ia mengecam protes pro-Palestina yang terjadi di jalan-jalan dan kampus-kampus universitas di Amerika, dan berjanji akan mengambil tindakan keras terkait kritik terhadap Israel jika terpilih kembali. 

"Jika Anda membuat saya terpilih, dan Anda benar-benar harus melakukan ini … kita akan memundurkan gerakan itu (kampanye solidaritas pro-Palestina) 25 atau 30 tahun," kata Trump kepada para donatur Yahudi di sebuah acara meja bundar di New York awal tahun ini.

Dengan berbagai kekacauan Timur Tengah dan perang yang dikobarkan Israel di Gaza dan Lebanon, Trump menggambarkan dirinya sebagai orang yang akan mengubah pendekatan bipartisan AS selama puluhan tahun terhadap militer dan diplomasi.

Saat Trump menjabat sebagai Presiden AS untuk pertama kali pada 2016, dia mengubah posisi politik yang sudah lama ada di Timur Tengah, dan Israel menjadi pusat dari perubahan kebijakan tersebut.

 

Para ahli mengatakan bahwa Trump terus menerima, dukungan besar dari gerakan Zionis evangelis AS, yang merupakan kekuatan utama dalam politik konservatif, basis pendukung Trump. Pada masa jabatan peratamanya Trump memberi dorongan pada basis pendukung itu dengan berbagai kebijakan yang sangat membantu Israel.

Trump mengakhiri tahun pertamanya menjabat dengan langkah kebijakan luar negeri yang penting untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan itu berbeda dari kebijakan bipartisan yang telah dipegang AS selama puluha  tahun, dan disambut dengan kemarahan dari berbagai segmen masyarakat internasional, termasuk dunia Arab dan Muslim.

Pada Maret 2019, ia menandatangani perintah eksekutif yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki. Dua juga menarik AS dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan menyatakan bahwa badan internasional tersebut menunjukkan bias negatif terhadap Israel.

Salah satu langkah terakhirnya yang mendukung Israel adalah dengan menyatakan bahwa produk dari permukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki harus diberi label "Buatan Israel".

Trump juga bergerak untuk semakin melemahkan posisi kepemimpinan Palestina dengan memangkas dana sebesar USD200 juta untuk Otoritas Palestina, badan pemerintahan untuk Tepi Barat yang diduduki.

Meski saat meninggalkan jabatannya pada 2021, Trump tampaknya mengalami perpecahan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, kebijakan yang diambil Trump selama bertugas sebagai Presiden AS sangat mendukung Israel. 

Selama beberapa kampanyenya bulan terakhir, Trump telah melontarkan beberapa kritik terbatas terhadap upaya perang Israel di Gaza. Namun, ia terus menempatkan dirinya sebagai sahabat yang lebih baik bagi Israel daripada Biden atau Harris.

Ini juga terbantu dengan optik publik terhadap pemerintahan Biden-Harris terhadap isu Israel dan Palestina. Sementara laporan media mengatakan Harris lebih bersimpati terhadap Palestina, ia terus mendukung upaya perang Israel dan mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah pendekatan Biden terhadap Israel. 

 

Selain itu sebagian besar keputusan yang dibuat Trump terhadap Israel saat menjabat tidak dibatalkan oleh pemerintahan Biden-Harris.

Terpilihnya kembali Trump juga ditanggapi dengan ketakutan oleh warga Palestina yang saat ini terjebak dalam perang Israel di Gaza dan Tepi Barat. Mereka melihat Trump sebagai sebuah “bencana baru” bagi Palestina. Trump tidak memiliki citra yang baik di mata warga Palestina dan Gaza.  

Sementara itu Otoritas Palestina dan kelompok Hamas skeptis dengan Trump, dan berharap dia tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan Pemerintahan AS sebelumnya, dengan memberikan “dukungan buta” kepada Israel. 

"Kami mendesak Trump untuk belajar dari kesalahan Biden," kata pejabat Hamas Sami Abu Zuhri kepada Reuters. Abu Zuhri mengatakan Trump akan diuji atas pernyataannya bahwa ia dapat menghentikan perang dalam beberapa jam setelah menjabat sebagai presiden AS. 

Melihat retorika Trump selama kampanye dan rekam jejaknya selama masa jabatan pertama, sulit untuk memperkirakan akan ada perubahan berarti pada kebijakan AS terkait isu Palestina dan Israel, dan kemungkinan situasi bisa bertambah buruk. Tetapi jika Trump bisa merealisasikan janjinya untuk mengakhiri perang di Gaza, ini bisa menjadi poin positif yang akan mendorong penyelesaian konflik Israel-Palestina di masa pemerintahannya. 
 

Topik Menarik