Setahun Perang Gaza, Israel Terancam Resesi Ekonomi Parah
GAZA - Ketika perang genosida Israel di Gaza menimbulkan bayangan gelap di wilayah yang lebih luas dan dunia, mengancam eskalasi lebih lanjut lintas batas, beberapa pakar memperingatkan bahwa miliaran yang dihabiskan untuk menghancurkan Gaza dan Palestina dapat terbukti menjadi biaya yang terlalu tinggi bagi ekonomi Israel. Krisis keuangan di negara itu terancam akan semakin parah.
Menurut seorang peneliti ekonomi Israel, hanya ada sedikit atau tidak ada tanda-tanda pemulihan, dengan indikator yang lemah, penurunan investasi asing dan pariwisata, bersama dengan eksodus warga yang mengkhawatirkan, memberikan gambaran suram bagi masa depan Israel.
"Krisis ekonomi hanya akan semakin buruk. Tidak ada prospek untuk pemulihan," terang ekonom politik Israel Shir Hever memperingatkan dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency (AA).
Pendapatnya ini menggemakan penilaian baru-baru ini oleh Yoel Naveh, mantan kepala ekonom di Kementerian Keuangan Israel, yang mengatakan pemerintah harus bertindak dengan penuh semangat dan dengan tindakan segera untuk mencegah risiko krisis keuangan yang mengancam.
Ia menambahkan, kondisi saat ini dapat menyeret ekonomi yang dilanda perang ke dalam resesi dan membahayakan keamanan nasional negara tersebut.
Biaya ekonomi akibat serangan mematikan Israel di Gaza, yang telah menewaskan dan melukai hampir 140.000 warga Palestina sejak serangan lintas batas Hamas Oktober lalu, diyakini mencapai lebih dari USD67 miliar, menurut perkiraan ekonom Israel pada bulan Agustus.
Bank Israel mengatakan pada bulan Mei bahwa biaya perang akan melonjak menjadi sekitar 250 miliar shekel (USD66 miliar) hingga akhir tahun depan.
Di sisi lain, ekonomi Israel hanya tumbuh sebesar 0,7 pada kuartal kedua tahun 2024, jauh di bawah perkiraan 3 oleh analis Bursa Efek Tel Aviv.
Pada bulan Agustus, rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai minus 8,3, meningkat dari minus 7,6 pada bulan Juni, minus 6,2 pada bulan Maret, dan minus 4,1 pada bulan Desember lalu.
Pada bulan Agustus saja, defisit anggaran mencapai 12,1 miliar shekel (USD3,22 miliar).
"Harga-harga tinggi. Standar hidup menurun. Terjadi inflasi. Terjadi penurunan nilai mata uang Israel,” kata Hever.
Investasi asing telah mengering, lebih dari 85.000 orang telah keluar dari angkatan kerja, dan ada seperempat juta orang yang telah mengungsi di dalam negeri dan kehilangan pekerjaan dan rumah mereka.
"Dan, tentu saja, jumlah orang yang pergi begitu saja sangat banyak. Jumlah orang yang pergi sungguh belum pernah terjadi sebelumnya, dalam sejarah Israel,” lanjutnya.
"Anda melihat orang-orang hanya membeli tiket sekali jalan untuk melihat apa yang akan terjadi. Ketika Anda melihat begitu banyak orang melakukan ini hanya untuk melindungi keluarga mereka, hasilnya adalah mereka yang tinggal merasa bahwa negara sedang dalam proses keruntuhan,” tambahnya.
Dia menegaskan indikator ekonomi bukanlah cerita lengkapnya.
"Cerita lengkapnya adalah apa perspektif penduduk mengenai masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa ada masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa negara Israel akan mampu pulih dari krisis ini," katanya.
"Mereka tidak berinvestasi. Mereka tidak ingin membesarkan anak-anak mereka di Israel. Mereka tidak ingin mencari pekerjaan atau belajar. Ini berarti bahwa krisis ekonomi hanya akan semakin buruk. Tidak ada prospek untuk pemulihan,” lanjutnya.
Orang-orang Israel menarik tabungan mereka untuk membawa mereka keluar dari negara itu dan pemerintah telah menanggapi dengan mengancam untuk mengambil "dana pensiun Anda dan menginvestasikannya dalam perekonomian," tambahnya.