Gagalkan Buron Marimutu Sinivasan ke Malaysia, Petugas PLBN Patut Diapresiasi

Gagalkan Buron Marimutu Sinivasan ke Malaysia, Petugas PLBN Patut Diapresiasi

Nasional | okezone | Selasa, 10 September 2024 - 17:18
share

JAKARTA- Pengamat hukum yang juga Pegiat Anti Korupsi, Hardjuno Wiwoho memberikan apresiasikepada petugas perbatasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Pasalnya, mereka berhasil menggagalkan upaya Marimutu Sinivasan untuk meninggalkan wilayah Indonesia menuju Malaysia.

Keinginan melarikan diri bos Texmaco Grup ini dilakukan di tengah pencegahan yang diberlakukan atas obligor BLBI tersebut, yang memiliki utang besar kepada negara.

"Kinerja petugas perbatasan patut diapresiasi, negara harus memberi penghargaan besar. Mereka telah menjalankan tugas dengan baik dalam mencegah Marimutu Sinivasan, seorang obligor BLBI, melanggar pencegahan yang diterapkan oleh Satgas BLBI, kata Hardjuno di Jakarta, Selasa (10/9/2024).

Ini adalah bentuk upaya nyata dalam menjaga kedaulatan hukum dan memastikan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap negara tetap berada dalam pengawasan,"sambungnya.

Namun, apresiasi tersebut disertai dengan kritik tajam Hardjuno terhadap pendekatan hukum yang diterapkan dalam kasus ini.

Karena, Marimutu Sinivasan dan kasus-kasus besar lainnya yang terkait dengan BLBI hanya dimintai pertanggungjawaban secara perdata dan bukan pidana. Padahal nilai kerugian negara yang ditanggungnya mencapai Rp29 triliun.

"Kasus ini cermin adanya ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia. Kita melihat bahwa obligor dengan kewajiban sebesar Rp29 triliun hanya dihadapkan pada kasus perdata, sementara pelaku pencurian kecil atau kesalahan perpajakan yang nilainya jauh lebih kecil bisa langsung dijatuhi hukuman pidana, ucapnya.

Mantan Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI menilai bahwa perlakuan ini tidak seimbang jika dibandingkan dengan kasus-kasus pidana yang melibatkan kerugian negara jauh lebih kecil.Ada ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang harus segera kita tangani," ujarnya.

Hardjuno mengatakan secara 'text book', mungkin ada justifikasi hukum untuk memperlakukan kasus ini sebagai perdata, terutama terkait dengan status utang yang dimiliki oleh Grup Texmaco yang dipimpin Marimutu Sinivasan. Namun, melihat besarnya dampak kerugian negara, ia menegaskan perlunya penerapan hukum progresif yang lebih tegas.

"Benar bahwa secara doktrin hukum, utang seperti yang dialami Marimutu dapat dianggap sebagai persoalan perdata. Namun, kita harus ingat bahwa BLBI bukan kasus biasa. Nilai utang yang melibatkan Rp29 triliun tentu bukanlah jumlah yang bisa kita anggap remeh, jelasnya.

Apalagi, upaya Marimutu untuk meninggalkan negara saat dicegah menunjukkan bahwa ada indikasi niat untuk menghindari kewajiban. Ini semestinya cukup untuk menerapkan pendekatan hukum yang lebih keras dan progresif demi rasa keadilan masyarakat," imbuhnya.

Hardjuno melanjutkan kasus ini mencerminkan perlunya reformasi hukum yang lebih luas, terutama dalam menangani kasus-kasus besar yang merugikan negara. Ia menekankan bahwa sistem hukum Indonesia perlu beradaptasi dan memperkuat perangkatnya untuk memastikan kasus-kasus besar seperti BLBI bisa ditangani dengan proporsional dan adil.

"Kasus Marimutu ini hanya puncak gunung es dari masalah yang lebih besar dalam sistem hukum kita. Negara sudah memberikan waktu dan kesempatan selama lebih dari dua dekade bagi para obligor untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Ada banyak obligor yang terus menunda penyelesaian utangnya tanpa konsekuensi hukum yang memadai,"pungkasnya.

Topik Menarik