Pakar Hukum: Publik Resah Ada Upaya Pelemahan Kejagung!
JAKARTA -Pakar hukum pidana Universitas Nasional Ismail Rumadan menyoroti sejumlah isu yang mengarah pada dugaan upaya pelemahan Kejaksaan Agung. Salah satunya dalam menangani tindak pidana korupsi.
Dia melihat adanya framing dan opini yang menyudutkan Kejagung, pembunuhan karakter Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus termasuk isu revisi KUHAP yang disebut menghapus kewenangan jaksa dalam menyidik perkara korupsi.
“Memprihatinkan di tengah kerja Kejagung yang produktif menangani kasus korupsi. Tentu banyak yang resah, ini harus diperjuangkan agar kewenangan Kejaksaan sidik Tipikor tidak dipreteli,” kata ujar Rumadan, Jumat (21/3/2025).
Peneliti pada Pusat Hukum BRIN ini mengatakan, keresahan publik cukup berasalan mengingat saat ini Kejagung jadi tumpuan harapan penegakan hukum.
Kejagung, terangnya, dipercaya publik serta dinilai berprestasi karena berhasil mengungkap kasus-kasus skandal korupsi kelas kakap.
SBY Kumpulkan 38 Ketua DPD Demokrat di Cikeas, Ingatkan Kader Kepentingan Negara di Atas Partai
“Karena itu publik tidak ingin Kejagung bernasib sama seperti KPK yang dilemahkan melalui revisi UU, pintu revisi itu efektif lemahkan lembaga,” ungkapnya.
Dalam draf RUU KUHAP Pasal 6 tentang penyidik berikut penjelasannya, jaksa menjadi “Penyidik Tertentu” yang kewenangannya terbatas menyidik kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat. Jaksa tidak lagi berwenang menyidik kasus tindak pidana korupsi.
Namun belakangan, Komisi III DPR RI meluruskan informasi yang beredar bahwa draf tersebut bukanlah draf hasil akhir, upaya membatasi atau menghapus kewenangan jaksa tetap saja tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Saya kira prosesnya perlu lebih transparan di mana publik bisa akses dan terlibat secara partisipatif. Mungkin saja pikiran untuk membatasi kewenangan jaksa memang ada sehingga memicu reaksi dari banyak kalangan,” jelasnya.
Ismail mengatakan, jika draf yang membatasi kewenangan jaksa benar adanya, ia minta agar sebaiknya dikaji kembali.
"Sebaiknya rumusan tersebut dikaji kembali. Karena korupsi masih menjadi musuh bersama, sehingga perlu banyak energi untuk memberantasnya. Untuk itu, penyidik kejaksaan masih sangat diperlukan untuk menyidik tipikor," katanya.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unas ini tidak setuju bila kewenangan kejaksaan dihapus dalam revisi KUHAP.
"Penyidik kejaksaan dalam tipikor sangat produktif. Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam penyidikan tipikor. Bukan mengurangi kewenangan lembaga," tandasnya.
Senada dengan Suparji, pakar pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menyebut penghapusan kewenangan kejaksaan sebagai bentuk pembegalan.
“Undang-Undang yang bersangkutan itu, misalnya UU Kejaksaan memberi kewenangan menyidik dan menuntut perkara korupsi dan HAM. Tapi kenapa dalam Penjelasan (RUU KUHAP) malah dihilangkan? Itu kan ada begal. Pembegalan itu namanya,” tegasnya.
Dikatakan Hibnu, dengan pertimbangan dominis litis atau pun redistribusi kewenangan, tidak mungkin kejaksaan hanya berada di kewenangan penuntutan saja. Dalam pandanganya, hal demikian itu merupakan bagian dari politik hukum.
"Sudah ada dasar putusan Mahkamah Konstitusi, karena jaksa itu merupakan cermin penegakan hukum. Kalau itu dicabut, rontok itu penegakan hukum korupsi,” paparnya.
Hibnu mengatakan, ada pemahaman yang keliru dalam draf Penjelasan revisi KUHAP, yang menghapus kewenangan kejaksaan untuk menyidik perkara korupsi.
Dijelaskannya, selama ini penyidik itu ada yang berasal dari polisi, jaksa, KPK, bahkan penyidik yang berasal dari PPNS. Lagi pula, masalah kewenangan jaksa menjadi penyidik sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak empat kali. Hasilnya MK selalu menolak gugatan itu.
“Artinya, sebetulnya ada keputusan pembuat undang-undang waktu itu merespon putusan MK yang sudah ada, putusan MK yang memenangkan kejaksaan dalam penyidik tertentu. Jadi terminologi penyidik tertentu adalah penyidik yang diberikan oleh UU yang sudah sebelumnya. Misalnya UU KPK, UU Kejaksaan, UU AL,” tandasnya.