Penambahan Kewenangan Jaksa Disorot, Kasus Pemerasan ke Guru Disinggung
JAKARTA - Penambahan fungsi intelijen dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dinilai rentan disalahgunakan. Anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023, Bhatara Ibnu Reza pun menyoroti pemberian kewenangan yang sangat luas bagi Korps Adhyaksa.
Menurutnya, penambahan kewenangan sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi. "Kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dapat mengancam HAM, hingga fungsi intelijen yang berbahaya dan berpotensi untuk disalahgunakan secara sewenang-wenang," ujarnya seperti dikutip, Sabtu (22/2/2025).
Kewenangan intelijen dalam RUU Kejaksaan yang dapat melakukan penyelidikan, menurutnya sangat menyalahi hakikat dari intelijen itu sendiri. Sebab, intelijen seharusnya bekerja diruang-ruang yang rahasia dan tidak boleh bersentuhan langsung dengan objek. "Kasi Intel bisa manggil orang diluar konteks pro yustisia dan bisa memanggil siapapun tanpa ada alasan dan bukti permulaan cukup," kata dia.
Karena itu, ia menilai kewenangan tersebut sangat rentan diselewengkan oleh jaksa untuk mengancam pihak tertentu. Ia lantas mencontohkan kasus pemerasan yang dilakukan jaksa kepada guru-guru di Indragiri Hilir.
"Komisi turun lapangan dan melakukan pemantauan, dari hasil pemantauan tesebut terbukti bahwa yang terlibat dalam pemerasan tersebut adalah jaksa di Kejaksaan Negeri tersebut," tuturnya.
Bhatara menegaskan seharusnya intelijen Kejaksaan tidak menyentuh objek tetapi cukup untuk mengumpulkan informasi dan menganalisa informasi, bukan melakukan penyelidikan.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Ali Syafaat pun mempertanyakan alasan dikebutnya proses revisi terhadap UU Kejaksaan.
Sebab menurutnya, saat ini tidak ada alasan yang mendesak sehingga membuat RUU Kejaksaan menjadi diperlukan. "Jika ada penambahan Kewenangan pasti akan ada konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan," ujarnya.
Ali menegaskan apabila penambahan kewenangan itu benar dilakukan maka hanya akan menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan baru. Ali menilai yang jauh lebih penting dibutuhkan saat ini adalah penguatan lembaga pengawasan penegak hukum.
"Perubahan terhadap UU ini yang disebut sebagai autocratic legalisme, berbahaya bagi demokrasi dan HAM juga negara hukum. Kalau revisi itu terus dipaksaakan justru akan menganggu dan mengancam kebebasan sipil. Kalau terus dipaksakan, jutsru kita jadi curiga ada apa ini terus di paksakan, apa ada kepentingan kekusaan," tuturnya.
Di sisi lain, praktisi hukum Awan Puryadi turut menyoroti hak imunitas jaksa yang masih tertuang dalam RUU terbaru. Padahal, kata dia, hak imunitas itu sangat rentan disalahgunakan oleh jaksa-jaksa nakal.
Tak hanya itu, Awan menyebut dalam draft RUU Kejaksaan yang beredar nantinya jaksa akan memiliki kewenangan berlebih dalam proses penegakan hukum. Mulai dari penyelidikan, intelijen hingga penuntutan.
"Padahal, UU Kejaksaan tahun 2021 telah memberi kewenangan yang berlebihan pada Jaksa dan potensial disalahgunakan seperti masalah hak imunitas Jaksa," tuturnya.
Terakhir, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina mengkritik penambahan kewenangan bagi jaksa yang tidak dibarengi dengan penguatan di sektor pengawasan.
Gina menegaskan hal itu sangatlah berbahaya mengingat Kejaksaan sendiri saat ini banyak diadukan terkait pelanggaran HAM hingga kode etik dalam proses penegakan hukum.
"Kejaksaan banyak diadukan berkaitan dengan pelanggan kode etik dan penetapan, penahanan sewenang-wenang. Perubahan UU Kejaksaan harus mempertimbangkan mekanisme check and balances agar tidak berujung pada penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.