“Slametan” Bittersweet Semarang
SEMARANG, iNewsJatenginfo.id - Sebuah tumpeng nasi kuning dengan 7 (tujuh : pitu, pitulungan/kerahmatan) lauk pauk tersaji pada sebuah ‘tampah’ (penampan bambu) beralaskan daun pisang, di atas meja tamu lantai 2 gedung PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Teta Kirana Pangestika, entrepreneur muda anggota bidang E-commerce dan Ekonomi Kreatif (Ekraf) Lembaga Pengembang UMKM PWM Jateng, pemegang principle Bettersweet wilayah Semarang sudah siap menunggu kerawuhan Ketua PWM, Dr. KH. Tafsir, M.Ag. Setelah mendoakan, Ketua PWM Jateng memotong tumpeng dan menyerahkan kepada Teta, sambil mengatakan “semoga laris dan bisa menginspirasi banyak kalangan untuk berwirausaha”.
Empat bulan lalu, Teta kami minta merintis usaha kuliner milenial dengan memanfaatkan sebuah ruangan lantai 1 kompleks PWM yang sebelumnya dimanfaatkan oleh Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan (MEK) dan Koperasi Aisyiyah Jateng. Setelah rembugan dan melakukan kesepakatan dengan MEK PWA Jateng, disiapkanlah sebuah konsep toko kuliner kekinian yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan kalangan milenial menengah perkotaan. Sebuah ihtiar kolaboratif LP-UMKM dengan MEK PWA Jateng. Semoga usaha ini bisa menginspirasi kaum millenial untuk terjun menjadi seorang entrepreneur yang handal di masa mendatang.
Alvin Eugene Toffler (4 Oktober 1928-27 Juni 2016), futurolog dan penulis kenamaan Amerika Serikat banyak menulis “ramalan” akan datangnya revolusi komunikasi, singularitas teknologi dan revolusi digital. Toffler membagi perkembangan peradaban manusia menjadi 3 (tiga) gelombang. Yaitu (1) Era Agraris yang bergantung teknologi pertanian tradisional, (2) Era Industri yang ditandai kemajuan industri dan pendidikan formal, dan (3) Era Komunikasi dimana komunikasi menembus ruang dan waktu berkat teknologi informasi dan digital.
Ramalan Alvin Toffler empat puluh tahun lalu melalui 3 buku legendaris : “Future Shock, The Third Wave dan Power Shift” yang diterjemahkan ke berbagai bahasa –edisi bahasa Indonesia diterbitkan Pantja Simpati, Jakarta, 1988– menjadi kenyataan. Seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang berlangsung sangat cepat. Yang terlihat dan bisa kita rasakan adanya perkembangan teknologi komunikasi “telepon”, internet dan digital yang sangat cepat.
Perangkat radio panggil (penyeranta) yang dahulu banyak dipergunakan kaum profesional seperti dokter, manager perusahaan dan lainnya hanya bertahan 2 tahun digeser handphone generasi analog. Handphone analog bertahan sebentar tergeser teknologi GSM. Kemudian berkembang secara pesat mulai 1G, 2G, 3G, 4G dan sekarang 5G. Sebuah singularitas (keganjilan) teknologi sebagaimana diramalkan Toffler pun terjadi.
Yang paling mutakhir, lahirnya teknologi AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan). Side effect-nya, apa yang sering saya sampaikan di beberapa forum sebagai cultural lag dan civilization gap. Cultural lag adalah ketertinggalan budaya yang merupakan bagian dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Saya sering mengistilahkan dengan “memar budaya”. Civilization gap atau kesenjangan peradaban terjadi beriringan dengan cultural lag. Sebab budaya itu sesuatu yang tidak tampak, sedangkan peradaban adalah sesuatu yang nampak dan terlihat sebagai hasil budi daya masyarakat.
Budaya Pangan
Food, Fashion and Fun (3F) yang mendunia adalah tiga bidang kehidupan yang berjalan seiring perkembangan teknologi informasi yang berlangsung secara sistematis, massif dan terstruktur dan super cepat. Food (pangan : makanan dan minuman) yang viral di sebuah titik lokasi pada belahan benua Amerika, dalam hitungan menit bisa menjalar di benua Asia, Australia dan Afrika.
Sebuah kompetisi global yang tidak lagi dapat dihindari dan harus disikapi secara arif bijaksana.
Budaya pangan masyarakat Indonesia yang “kurang mengenal” makanan pembuka (appetizer), makanan utama (main course) dan makanan penutup (dessert) berubah mengikuti berbagai link informasi, laman media sosial serta milyaran informasi yang sangat mudah ditemukan melalui “satu klik” di handphone, android maupun i-phone. Budaya pangan yang berubah ini menggeser budaya makan tradisional yang berbasis padi, jagung, sagu, singkong, ketela, sukun berubah menjadi berbasis sorgum dan terigu impor dengan berbagai varian topping sebagai pemanis produk makanan dan minuman (mamin).
Di kalangan generasi milenial dan Gen-Z perubahan budaya makan ini dengan sangat mudah dilihat dengan maraknya berbagai outlet mamin yang berbasis budaya pangan “impor”. Nama, diksi, istilah dan beragam bahasa gaul pun mengiringi beragam jenis mamin yang beredar di tengah masyarakat. Dalam perpektif ilmu pangan, saya membagi tiga sikap “budaya pangan” yang terjadi di masyarakat.
Pertama, kaum revivalis pangan. Kaum ini bersikukuh mempertahankan dan menghidupkan kembali pangan tradisional yang telah atau pernah ada. Komunitas ini kebanyakan berisi generasi tua “kolonial” yang merasa belum sarapan jika belum makan nasi. Bagi kalangan revivalis, meski di pagi hari sudah mengkonsumsi roti bakar, gethuk, jagung dan singkong rebus, tetap merasa masih belum sarapan jika belum ketemu nasi sebagai menu pokok saat makan pagi, siang atau malam.
Mereka barangkali lupa bahwa komoditas beras yang dijadikan makanan pokok hampir Lima Dasawarsa bagi seluruh rakyat Indonesia adalah impact dari Politik Beras jaman Orde Baru. Saudara kita di Papua dan Maluku yang makanan pokoknya sagu “dipaksa” berganti beras. Rakyat Madura dan Gorontalo yang biasa makan “binte biluhuta” berbasis jagung diubah makan nasi. Maka tidaklah mengherankan jika program Makanan Gratis Bergizi yang hendak dijalankan Pemerintah mulai Januari 2025 masih bersikukuh menjadikan nasi sebagai makanan pokok.
Kedua, kaum moderat pangan (moderasi). Bagi kalangan moderat, soal pangan dan mamin lebih disikapi secara luwes, adaptif, berkeadaban dan berorientasi sustainable. Kaum moderat sudah merasa cukup konsumsi nasi atau tanpa nasi, asalkan asupan kandungan nutrisi dan gizi terpenuhi. Kalangan moderat bisa dan terbiasa sarapan dengan nasi, roti, singkong, sukun, jagung, madu dan berbagai bahan pangan lain, asalkan memenuhi standar nutrisi dan gizi yang cukup dan secara seimbang (7 unsur) yaitu : air, karbohidrat, vitamin, mineral, protein, lemak dan serat.
Ketiga, kaum reformis pangan. Yaitu kalangan yang sangat menikmati aneka jenis pangan kekinian (modern), kurang bisa menikmati pangan tradisional (local genius), dan seringkali abai terhadap mutu dan keamanan pangan, keseimbangan nutrisi, serta budaya pangan yang sesuai dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Indikator faktual diantaranya yaitu konsumsi bahan pangan GMO (Genetically Modified Organism) yang meningkat dan masih minimnya sertifikat halal produk pangan. Kalangan ini banyak diisi kaum milenial dan Gen-Z yang gemar mengkonsumsi pangan secara instan, lebih tertarik membeli pangan berdasarkan keviralan dan penampilan produk mamin di dunia maya.
Sebagai kader yang diamanati persyarikatan untuk mengembangkan UMKM, khususnya bidang UMKM pangan, kami lebih memilih sikap yang moderat dalam hal pangan (moderasi pangan). Kami tidak melupakan beragam pangan lokal/tradisional yang telah lama hadir dan berkembang di tengah masyarakat, sekaligus kami tidak anti dengan kehadiran beragam pangan kekinian. Kami pun sangat memperhatikan potensi sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan terkait bahan baku pangan. Maka usaha kami membuka outlet Bitter-Sweet kali ini, musti dimaknai sebagai sebuah ihtiar kecil anak bangsa untuk berpartisipasi mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Secara bertahap tapi pasti berbagai produk cake dan dessert yang kami jual menggunakan bahan pangan lokal seperti : kopi dan teh, susu untuk milkbath, kacang mete, kacang tanah dan coklat untuk topping. Ke depan, semoga bahan baku terigu impor dapat dikurangi dan diganti dengan Modified Casava Flour (Mocaf : tepung singkong), rice-flour (tepung beras), corn-flour (tepung jagung), Arenga pinnata Merr (tepung aren/kolang-kaling), sago-flour (tepung sagu), dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan dan atau minuman”.
Adapun Ketahanan Pangan disebutkan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan”.
Ketahanan nasional sebuah bangsa tergantung dari ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Sebagaimana “paribasan” (pepatah) mengatakan “Weteng wareg pikiran teteg, weteng ngelih imane biso malih (Perut kenyang pikiran tenang, perut lapar iman pun bisa terkapar). Wallahu’alam