1 Tahun Perang Gaza, Israel Makin Terpuruk secara Militer, Politik dan Ekonomi

1 Tahun Perang Gaza, Israel Makin Terpuruk secara Militer, Politik dan Ekonomi

Terkini | inews | Senin, 7 Oktober 2024 - 07:21
share

ISTANBUL, iNews.id - Israel semakin terpuruk setelah 1 tahun perang di Jalur Gaza, Senin (7/10/2024). Gaza memang porak-poranda, namun Israel selaku agresor tak kalah hancurnya, meski tidak secara fisik.

Data Kementerian Kesehatan di Gaza mengungkap, serangan Israel selama 365 hari telah membunuh setidaknya 41.870 orang yang berarti 1 dari 55 warga. Sebanyak 16.756 di antaranya adalah anak-anak dan 11.346 perempuan. Angka gabungan dari korban anak-anak dan perempuan berarti 66 persen dari total korban tewas.

Selain itu, sebanyak 97.166 orang menderita luka yang berarti 1 dari 23 warga Gaza.

Tak usah disebutkan lagi berapa banyak bangunan yang hancur, termasuk rumah sakit dan tempat-tempat pengungsian. Warga yang terpaksa meninggalkan rumah mereka yang rata dengan tanah, serta anak-anak kecil yang terpaksa hidup seorang diri karena semua saudaranya dibantai pasukan Zionis.

Perpecahan di Israel Semakin Dalam

Sementara itu di Israel, masyarakatnya mengalami keretakan yang dalam setahun perang. Ini seiring dengan meningkatnya radikalisasi, polarisasi politik, ketidakstabilan ekonomi, serta ketegangan militer.

Mantan penasihat senior pemerintah Israel, Daniel Levy, menyebut negaranya sedang mengalami kemunduran. Dia menyoroti kerapuhan yang semakin meningkat di masyarakat.

"Bukan berarti negara ini akan runtuh, tetapi menunjukkan unsur-unsur benang yang terurai, unsur-unsur kemunduran. Masyarakat yang kerapuhan dan kerentanannya terungkap, itulah yang kita lihat," katanya, dikutip dari Anadolu.

Menurut Levy, masyarakat Israel sebenarnya sudah terpolarisasi terkait isu-isu dalam negeri sebelum perang 7 Oktober. Demonstrasi memprotes kasus dugaan korupsi dan reformasi peradilan yang dilakukan Netanyahu meluas.
Namun, sejak dimulainya perang Israel di Gaza, sebagian besar warga telah bersatu dalam pendirian terhadap warga Palestina.

“Warga Israel telah menerima narasi bahwa apa yang dilakukan di Gaza pantas, sah, tak peduli apa kata orang lain. Media Israel telah memompa satu narasi ke rumah-rumah warga,” tuturnya.

Dia menambahkan, meskipun warga Israel membenarkan kebrutalan terhadap warga Palestina, mereka juga merasa semakin rapuh dan terpecah menjadi kubu-kubu yang berseberangan.

Satu faksi percaya bahwa serangan 7 Oktober adalah harga yang harus dibayar oleh Palestina serta untuk mengawali era penebusan di mana warganya harus dihancurkan, dibersihkan secara etnis, dan diusir secara permanen dari tanah mereka. 

Namun ada kelompok lain, terutama dari kalangan yang berpikiran maju, berpikir sebaliknya. Perpecahan mengenai sikap terhadap warga Palestina juga terjadi di pemerintahan.

Hal senada disampaikan Miko Peled, seorang aktivis dan penulis keturunan Israel-Amerika, Israel masih dalam keadaan kacau setelah serangan 7 Oktober 2023 yang juga menandai serangan negara Yahudi itu ke Gaza.

"Penegakan hukum kacau, sistem peradilan, badan legislatif kacau total. Pemerintah, tentara, maksud saya, ada semacam disfungsi total di semua bidang negara. Negara dalam kondisi lumpuh atau hampir lumpuh,” kata Peled, seraya menegaskan fungsi negara terdampak sangat parah.

Cucu dari Avraham Katznelson, salah satu pendiri Israel, itu juga yakin masyarakat Israel tidak pernah kohesif karena hanya disatukan oleh selotip sejak awal.

"Ada keretakan besar dalam masyarakat ini. Ini bukan masyarakat tunggal. Ini adalah sekelompok orang-orang berbeda yang secara artifisial disatukan. Jadi, keretakan telah terjadi selama beberapa dekade," ujarnya.

Dia mencontohkan demonstrasi, termasuk soal reformasi peradilan pada 2023 serta unjuk rasa besar-besaran menuntut pembebasan sandera di Gaza yang masih berlangsung sampai saat ini. Ada kelompok masyarakat Israel yang menuntut perubahan guna mempertahankan status mereka.

“Dan kita melihat pita perekat itu semakin lemah, terutama karena segmen yang memprotes sekarang adalah yang paling istimewa," tuturnya.

Dia juga mencermati dukungan yang meluas terhadap kekerasan sadis terhadap warga Palestina di kalangan masyarakat Israel. Kondisi itu justru menambah perpecahan internal.

“Keretakannya jelas, masyarakat ini terkoyak. Bahkan orang-orang dalam masyarakat yang tidak setuju saling menyebut pengkhianat dan terlibat dalam perkelahian lalu terlibat dalam perpecahan sangat dalam yang hampir tidak bisa dijembatani,” ujarnya.

Moral Tentara Israel Ambruk

Para ahli juga menyoroti bagaimana perang Israel di Gaza telah memengaruhi militer. Levy mencatat, militer Israel dalam tekanan berat di mana pasukan Zionis dipaksa melakukan pertempuran kota.

"Faktanya adalah bahwa mereka menghancurkan Gaza yang berarti militer tidak bisa bertempur di lansekap perkotaan. Semuanya harus dihancurkan, termasuk militernya, setelah setahun," kata Levy.

Dia juga menyinggung rasa lelah yang semakin meningkat di antara pasukan Israel.

"Bukan karena begitu banyak pasukan Israel yang terbunuh, tapi banyak yang mengalami luka parah dan banyak tentara cadangan yang tidak muncul lagi untuk bertugas," ujarnya.

Meskipun pada awalnya banyak dukungan luas untuk berperang, di mana banyak prajurit cadangan yang melapor untuk bertugas, kondisi itu telah berubah seiring waktu. Data yang dia ketahui, lebih dari 50 persen tentara cadangan tidak datang ke medan perang. 

Unit-unit di angkatan darat (AD) terpecah. Mereka tidak ingin berperang untuk pemimpin politik yang tidak sah dan mengejar tujuan yang tidak sah pula.

Dampak Ekonomi

Ekonomi Israel juga menderita akibat perang, dengan inflasi, pengangguran, dan penurunan investasi.

“Harga telah naik secara signifikan. Ada inflasi yang tidak dilaporkan. Ada ketidakmampuan yang tidak dilaporkan untuk mendapatkan stok segala sesuatu. Namun jika Anda melihat gambaran lebih besar pada ekonomi, tentu saja ini menimbulkan tekanan,” kata Levy.

Dia juga mencatat fenomena kaburnya warga Israel secara besar-besaran. Banyak dari mereka yang memilih untuk meninggalkan Israel dalam waktu lama atau memperoleh paspor kedua, terutama warga kaya yang punya uang untuk membeli rumah di luar negeri.

Selain itu, bandara internasional utama Israel yang berada di Kota Lid nyaris tidak beroperasi.

Maskapai penerbangan besar juga menolak untuk mendarat di kota pelabuhan Eliat.

Penutupan pelabuhan Eilat juga menjadi pukulan ekonomi telak. Penjualan mobil, industri besar di Israel, telah terhenti karena kurangnya impor.

Mantan negosiator Israel Gershon Baskin juga yakin, pemerintahan Netanyahu sedang menghancurkan ekonomi.

“Banyak anak muda Israel mengatakan, ‘Untuk apa saya tinggal di sini? Bagaimana masa depan saya di negara ini dengan kepemimpinan sekarang?’ Netanyahu sedang menghancurkan negara ini dan dia harus pergi,” kata Baskin.

Citra Israel di Kancah Global Hancur

Levy dan Peled sepakat, perang di Gaza tidak diragukan lagi telah mengubah citra global Israel. Israel meobilisasi sejumlah besar pasukan ke Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Peled menilai, posisi Israel di kancah global ambruk dan terus memburuk.

“Sebenarnya tidak ada keraguan tentang itu. Setiap pembicaraan tentang normalisasi dengan negara-negara Arab, tidak mungkin dilakukan. Wajah Zionisme yang sebenarnya kini terpampang disaksikan orang-orang yang belum pernah melihatnya,” ujar Peled.

Pembantaian massal warga sipil di Gaza disiarkan langsung di media sosial, mengungkap kebrutalan konflik.

Sementara itu Levy menyoroti putusan badan-badan internasional, seperti Mahkamah Internasional, kebangkitan Palestina sebagai isu utama dalam Gerakan Non-Blok di PBB, serta maraknya aksi boikot sebagai tanda bahwa Israel kini berada dalam realitas baru.

Topik Menarik