Pertumbuhan Ekonomi Semester II 2024 Diprediksi Melandai, Ekonom Sarankan Ini ke BI

Pertumbuhan Ekonomi Semester II 2024 Diprediksi Melandai, Ekonom Sarankan Ini ke BI

Ekonomi | inews | Rabu, 25 September 2024 - 20:38
share

JAKARTA, iNews.id - Kondisi makro ekonomi Indonesia di semester II 2024 diprediksi melandai, meski Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen pada 18 September 2024 lalu. Bahkan, diperkirakan BI memmpunyai ruang untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin hingga 50 bps sampai dengan akhir tahun ini.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, pemangkasan BI rate menjadi 6 persen tidak serta merta mendorong ekonomi agar tumbuh di paruh kedua tahun ini.

Dalam kebijakan moneter, Piter menyebut, ada dua kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk mengatur stabilitas likuiditas. Selain menurunkan suku bunga, kebijakan lain adalah penerbitan instrumen operasi moneter kontraksi, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Adapun SRBI merupakan instrumen pro market untuk memperkuat pendalaman pasar uang, upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta optimalisasi aset SBN.

“Suku bunga uda turun, dari 6,25 persen jadi 6 persen ya, tapi suku bunga itu bukan satu-satunya instrumennya BI dalam mengatur likuiditas Indonesia,” ujar Piter dalam sesi diskusi publik di Jakarta, Rabu (25/9/2024). 

“BI punya dua instrumen utama yang sekarang ini digunakan oleh BI untuk mengatur likuiditas dalam rangka menjamin stabilitas. Pertama, suku bunga, suku bunga dinaikkan, tetapi disisi lain Bank Indonesia itu juga yang seperti saya jelaskan sebelumnya melakukan operasi moneter yang menyerap likuiditas,” tuturnya

Sejak diterbitkan pada 17 September 2024, penerbitan SRBI telah mencapai Rp918,42 triliun. Piter memandang, hal yang menjadi persoalan saat ini adalah likuiditas negara masih ‘kering’ alias menipis. 

Menurutnya, jumlah uang beredar saat ini masih di bawah pertumbuhan ekonomi, karena itu harus diwaspadai. 

“Jadi pertumbuhan sederhananya gini, kalau pertumbuhan jumlah uang beredar di bawah pertumbuhan ekonomi itu uda gak wajar karena uang dibutuhkan untuk membiayai ekonomi,” kata dia. 

“Ketika ekonominya sendirinya tidak cukup dibiayai oleh jumlah uang, pertumbuhan uangnya itu kondisinya pasti tidak sehat. Dampak keringnya likuiditas adalah suku bunga tetap tinggi,” ujarnya.

Melihat dinamika makro ekonomi dalam negeri sedemikian itu, Piter memandang Bank Indonesia perlu mengurangi operasi moneter kontraksinya dengan menghentikan penerbitan SRBI.

Penurunan suku bunga tanpa diikuti oleh operasi moneter yang lebih longgar, lanjutnya, tidak akan berdampak pada pergerakan suku bunga kredit perbakan.

“Dengan skenario kebijakan moneter seperti itu kira-kira dampak ke perekonomian kita seperti apa? Ya tidak berubah karena tidak ada yang berubah, hanya BI rate yang turun, tetapi likuiditasnya tetap, kondisi ekonominya tetap,” ucapnya.

“Sederhana, BI menghentikan penerbitan SBRI, karena arti dari penerbitan SBRI itu adalah BI mengeluarkan instrumen, narik likuiditas dari perbankan, masuk ke BI. Kalau duitnya perbankan masuk ke BI, berarti duit yang masuk ke penerbitan SBN akan berkurang,” tuturnya.

Topik Menarik