DPR Ingatkan Pengetatan Aturan Rokok Bisa Picu PHK: Banyak Masyarakat Bergantung di Sektor Tembakau

DPR Ingatkan Pengetatan Aturan Rokok Bisa Picu PHK: Banyak Masyarakat Bergantung di Sektor Tembakau

Terkini | inews | Selasa, 24 September 2024 - 14:33
share

JAKARTA, iNews.id - Anggota Komisi XI DPR, Willy Aditya mengingatkan aturan pengetatan rokok dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). Aturan tersebut seharusnya dibahas dengan melibatkan semua pihak.

"Alih-alih membuka lapangan kerja, kebijakan ini justru mengancam hajat hidup orang banyak. Alih-alih menghidupkan ekonomi, kebijakan ini malah meredupkan sektor usaha khususnya industri hasil tembakau," ujar Willy Aditya, Selasa (24/9/2024). 

PP 28/2024 mengatur banyaknya pengetatan terhadap produksi rokok, termasuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari PP yang memuat standarisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek.

Willy mengatakan jika aturan standarisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek diterapkan, maka akan terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan. Padahal warung-warung kelontong hampir sebagian penjualan hariannya berasal dari rokok.

“Dan kebijakan ini pasti menekan dari sisi produksi industri hasil tembakau (IHT). Akhirnya, industri akan melakukan efisiensi di mana-mana, khususnya tenaga kerja. Maka potensi PHK massal jadi keniscayaan,” ungkap Willy.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah memperkirakan PHK massal tidak hanya terjadi di industri tembakau saja, melainkan juga ke industri pendukungnya, seperti industri kertas dan industri filter. Willy mengingatkan, banyak masyarakat Indonesia yang bergantung pada sektor industri tembakau. 

“Industri tembakau merupakan bagian dari identitas nasional yang harus dijaga dan kita pertahankan. Karena banyak masyarakat yang bergantung dari sektor ini, mulai dari petani, produsen sampai ke pihak distributor dan pedagang kecil,” paparnya.

Willy juga mengingatkan, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), CHT mencapai Rp210,29 triliun pada tahun 2023. 

Meskipun dalam kurun lima tahun ke belakang angkanya terus menurun, tapi industri ini adalah salah satu penyumbang pendapatan negara yang besar atau 10 persen dari APBN di tahun 2023.

"Padahal, iklim ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Sama dengan yang terjadi di dunia. Di tengah situasi seperti ini, industri tembakau memiliki peran dan fungsi strategi," ungkap Willy.

Anggota Komisi di DPR yang membindangi urusan perekonomian dan keuangan negara itu pun menyoroti pernyataan pihak Kemenperin yang mengaku tidan dilibatkan dalam pembahasan aturan tersebut. Willy menegaskan, kebijakan yang dibuat seharusnya mempertimbangkan dari sisi industri termasuk pengusaha kecil dan UMKM di sektor tembakau. 

"Tapi karena kebijakan yg tidak partisipatif ini, beberapa sektor usaha jadi bergejolak. Lebih-lebih terhadap buruh di IHT," katanya.

Topik Menarik