Latar Belakang Perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang, Sejarah hingga Dampaknya
JAKARTA, iNews.id - Berikut latar belakang perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang. Peristiwa itu terjadi pada 14 Februari 1945.
Kota Blitar menjadi saksi dari salah satu peristiwa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di bawah pimpinan Shodancho Supriyadi menandai sebuah tindakan berani dan bersejarah melawan kekuasaan penjajah Jepang.
Berikut latar belakang perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang sebagaimana iNews.id rangkum dari berbagai sumber, Jumat (24/11/2023).
Latar Belakang Perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang
Pembentukan PETA dan Tindakan Diskriminatif Jepang
Sejarah pembentukan PETA berkaitan dengan masuknya Jepang ke wilayah Indonesia pada 1942. Dengan membentuk PETA, Jepang melibatkan penduduk lokal dalam mendukung upaya perang mereka melawan Sekutu.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya ketidakpuasan dan penderitaan yang dirasakan oleh prajurit PETA. Penderitaan rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Jepang, khususnya di Blitar, menjadi pemicu perlawanan.
Latar belakang perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang salah satunya terjadi karena Romusha. Mereka harus bekerja paksa untuk membangun benteng-benteng pantai mengalami kondisi menyedihkan, bahkan banyak yang tewas akibat kelaparan dan penyakit tanpa mendapat perawatan yang memadai.
Selain itu, pelecehan terhadap wanita Indonesia oleh tentara Jepang turut menyulut kemarahan prajurit PETA.
Perencanaan dan Pelaksanaan Pemberontakan
Latar belakang perlawanan PETA di Blitar terhadap Jepang bermula pada September 1944. Shodancho Supriyadi mulai merencanakan pemberontakan merespons penderitaan rakyat Indonesia.
Pada 14 Februari 1945, dipilih sebagai waktu yang strategis karena pada hari itu dijadwalkan pertemuan seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar.
Dalam aksi pemberontakan pada pukul 03.00 WIB, pasukan PETA menyerang dengan menembakkan mortir ke Hotel Sakura, kediaman perwira militer Jepang. Markas Kempetai juga diserang dengan senapan mesin.
Aksi lainnya termasuk merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!" sebagai simbol perlawanan.
Namun, pemberontakan tidak sesuai rencana. Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain, dan Jepang segera merespons dengan mengirimkan pasukan militer untuk memadamkan pemberontakan.
Akibatnya, 78 orang perwira dan prajurit PETA ditangkap dan diadili di Jakarta.
Nasib Misterius Shodancho Supriyadi
Nasib Shodancho Supriyadi tetap menjadi misteri. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Soekarno mengumumkan Supriyadi sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Namun, Supriyadi menghilang secara misterius dan tidak pernah muncul lagi.
Dampak dan Konsekuensi Pemberontakan PETA
Pemberontakan PETA di Blitar berdampak signifikan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tindakan tersebut menciptakan kecemasan di kalangan tentara Jepang di Jawa, terbukti dengan tidak adanya kecaman langsung dari militer Jepang dan keringanan hukuman terhadap para prajurit PETA yang terlibat.
Perlawanan ini juga mendorong prajurit PETA di daerah lain untuk merdeka. Contohnya, di Rengasdengklok, kabar pemberontakan di Blitar mendorong beberapa prajurit untuk menculik Sukarno-Hatta, yang pada akhirnya memunculkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Demikianlah latar belakang pemberontakan PETA di Blitar terhadap Jepang yang terjadi pada 14 Februari 1945. Peristiwa tersebut menjadi cermin dari perlawanan gigih prajurit terhadap penindasan Jepang.