Mereka yang Menolak Lupa Jadi Korban Tes Bom Nuklir AS dan Inggris...
Tumbuh besar di Kiribati, negara kawasan Pasifik, Oemwa Johnson mendengar cerita kakeknya tentang ledakan nuklir yang disaksikannya pada tahun 1950-an. Ledakan itu mengeluarkan panas yang dahsyat dan cahaya yang menyilaukan.
Dia mengatakan kepadanya bahwa orang-orang tidak diajak berkonsultasi atau diberi perlengkapan pelindung terhadap bom nuklir yang diledakkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di Pulau Kiritimati, yang sekarang menjadi bagian dari Kiribati, beberapa dekade lalu.
Orang-orang di Kiribati menderita konsekuensi kesehatan yang serius akibat paparan radiasi dari uji coba bom nuklir pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, sebuah “warisan” yang menurut mereka berlanjut hingga hari ini.
Johnson mengatakan ada kurangnya akuntabilitas dan kesadaran tentang bagaimana uji coba senjata nuklir oleh negara-negara asing telah merugikan rakyat dan tanah airnya.
"Tidak masalah jika mereka adalah negara kepulauan yang sangat kecil, kisah mereka penting," kata pria berusia 24 tahun itu.
Menurut Pace University International Disarmament Institute, antara tahun 1946 hingga 1996, AS, Inggris, dan Prancis melakukan lebih dari 300 uji coba senjata nuklir bawah laut dan atmosfer di wilayah Pasifik.
Kiribati, Polinesia Prancis, dan Republik Kepulauan Marshall termasuk di antara yang paling terdampak.
Selama beberapa dekade, negara-negara tersebut telah menyerukan keadilan atas dampak lingkungan dan kesehatan yang berkelanjutan dari pengembangan senjata nuklir.
Dorongan tersebut semakin intensif bulan ini ketika para pendukung perjanjian PBB tentang pelarangan senjata nuklir (TPNW)—termasuk banyak dari negara-negara Pasifik—bertemu untuk membahas perjanjian tersebut dan menyerukan ratifikasi yang lebih luas.
Perjanjian tersebut memberlakukan larangan pengembangan, pengujian, penimbunan, penggunaan, atau ancaman penggunaan senjata nuklir—atau membantu negara lain dalam kegiatan tersebut.
Perjanjian itu mulai berlaku pada tahun 2021 dan memiliki 98 negara sebagai pihak atau penandatangan. Di kawasan Pasifik, 11 negara telah mendukung perjanjian tersebut.
Para pendukung perjanjian menginginkan dukungan global yang universal, tetapi banyak negara—termasuk AS, Inggris, dan Prancis—menentang perjanjian tersebut.
Sembilan negara bersenjata nuklir berpendapat bahwa senjata semacam itu sangat penting bagi keamanan mereka. Demikian pula, negara-negara NATO, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain belum menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
Australia, tempat Inggris melakukan uji coba nuklir pada tahun 1950-an, belum meratifikasi TPNW meskipun Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan pada tahun 2018 bahwa Australia akan melakukannya saat partainya berkuasa.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan Australia memiliki ambisi yang sama dengan negara-negara pihak TPNW untuk mewujudkan dunia tanpa senjata nuklir tetapi, seperti AS, Inggris, dan Prancis, memprioritaskan perjanjian nonproliferasi senjata nuklir.
Banyak pendukung TPNW berpendapat bahwa perjanjian tersebut memperkuat dan melengkapi perjanjian nonproliferasi, sementara penentang seperti NATO mengatakan perjanjian tersebut tidak sesuai dengan kewajibannya.
Perwakilan dari misi diplomatik PBB di Prancis, AS, dan Inggris tidak menanggapi permintaan komentar tentang TPNW.
Risiko Perang Nuklir Meningkat
Dengan latar belakang ini, politisi, aktivis, dan perwakilan lainnya berkumpul di markas besar PBB di New York bulan ini untuk berdiskusi selama seminggu tentang cara mendapatkan lebih banyak dukungan untuk TPNW.Hinamoeura Morgant-Cross, seorang perwakilan dari majelis Polinesia Prancis, termasuk di antara anggota Parlemen. Dia mengatakan keluarganya sangat terdampak oleh ledakan nuklir Prancis di atol Moruroa dan Fangataufa antara tahun 1966 hingga 1996.
Morgant-Cross mengatakan kepada forum tersebut bahwa tingginya angka kanker akibat radiasi di keluarganya telah memotivasinya untuk menjadi aktivis anti-nuklir dan anggota majelis.
“Semua berawal dari nenek saya yang menderita kanker tiroid,” katanya.
“Kemudian putri pertamanya—bibi saya—menderita kanker tiroid. Dia juga menderita kanker payudara. Ibu dan saudara perempuan saya menderita penyakit tiroid. Saya menderita leukemia kronis saat berusia 24 tahun. Saya masih berjuang melawan leukemia ini,” keluhnya.
Perwakilan Selandia Baru untuk PBB di Jenewa, Deborah Geels, menekankan pentingnya perjanjian tersebut di Pasifik. "Ketegangan antara negara-negara bersenjata nuklir dan risiko nuklir meningkat, dan tidak ada kawasan yang kebal—bahkan Pasifik Selatan," katanya.
Kepulauan Marshall, tempat AS meledakkan 67 bom nuklir selama tahun 1940-an hingga 1950-an, belum bergabung dengan TPNW.
Kepulauan Marshall telah menyatakan kekhawatiran bahwa pasal enam perjanjian tersebut—yang menyerukan negara-negara yang terikat oleh perjanjian tersebut untuk memberikan bantuan bagi korban dan pemulihan lingkungan—dapat membebaskan AS dari tanggung jawab untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh uji coba nuklir.
Upaya untuk membangun perjanjian internasional dana perwalian untuk mendukung pasal enam masih berlangsung.
“Meskipun kami ingin memastikan tidak ada uji coba nuklir dan perang nuklir…kami merasa TPNW tidak cukup jauh untuk mengatasi masalah yang memengaruhi kita semua,” kata Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB John Silk.
Berbicara di hadapan panel penyintas nuklir dan komunitas garis depan, Duta Besar Kiribati untuk PBB Teburoro Tito mendorong Kepulauan Marshall dan semua negara untuk menandatangani dan meratifikasi perjanjian tersebut.
“Kami berharap mereka akan segera bergabung dengan TPNW yang kami yakini sebagai cara paling efektif untuk menangani dampak penggunaan dan pengujian nuklir,” kata Tito.
Johnson ingin meningkatkan kesadaran akan dampak senjata nuklir yang menghancurkan di Pasifik dan melihat perjanjian tersebut sebagai jalan menuju keadilan.
Dia mengatakan waktunya telah tiba untuk mengakhiri ancaman senjata nuklir terhadap semua negara.
“Kita harus berkomitmen untuk memastikan bahwa dunia tidak pernah melupakan peristiwa yang terjadi di Kiribati dan negara-negara Pasifik lainnya,” katanya.
“Suara mereka bukan sekadar gema masa lalu. Suara mereka berfungsi sebagai peringatan kritis bagi masa depan kita,” imbuh dia.
Saat berbicara di PBB bulan ini, Johnson bersikap tegas. “Kita tidak menunggu keadilan secara pasif; kita secara aktif menuntutnya,” katanya, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (21/3/2025).