Budaya Malu Korupsi Terkenal di Jepang, Mengapa Indonesia Tak Bisa Meniru?
Budaya malu atau shame culture atas praktik korupsi sudah terkenal di Jepang.
Bagi pejabat yang korupsi, mereka biasanya mengundurkan diri segera, atau bahkan melakukan hara kiri (seppuku)—tindakan bunuh diri untuk menjaga kehormatan.
Sebagai perbandingan, Indonesia yang dikenal dengan masyarakatnya yang religius justru jauh dari budaya malu. Dalam beberapa kasus korupsi di kalangan pejabat, alih-alih malu, mereka masih diberi panggung politik setelah menjalani hukuman.
Contoh Budaya Malu Pejabat Jepang yang Tersandung Kasus Korupsi
1. Kasus Toshikatsu Matsuoka
Pada 28 Mei 2007, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka, ditemukan tewas gantung diri di apartemennya di Tokyo.Matsuoka saat itu sedang diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam skandal pendanaan politik dan penyalahgunaan dana departemennya. Dia ditemukan tak sadarkan diri beberapa jam sebelum dijadwalkan menghadiri sesi Parlemen untuk menjawab pertanyaan terkait tuduhan tersebut.
2. Kasus Keishu Tanaka
Pada Oktober 2012, Menteri Kehakiman Jepang, Keishu Tanaka, mengundurkan diri setelah terungkapnya hubungan masa lalunya dengan yakuza—kelompok kriminal terorganisir—, serta pelanggaran pendanaan politik.Meskipun tidak sampai pada tindakan bunuh diri, kasus ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi sosial dan politik akibat keterlibatan dalam skandal di Jepang.
3. Kasus Akira Amari
Pada Januari 2015, Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari, mengumumkan pengunduran dirinya setelah stafnya diketahui menerima suap senilai 12 juta yen dari sebuah perusahaan konstruksi.Meskipun Amari membantah menerima suap secara pribadi, dia tetap mundur untuk mempertanggungjawabkan tindakan stafnya dan menjaga kredibilitas pemerintah.
4. Kasus Isshu Sugawara
Pada Oktober 2019, Menteri Perdagangan dan Industri, Isshu Sugawara, mengundurkan diri setelah terungkap bahwa dia memberikan hadiah berupa buah-buahan mahal dan uang duka kepada konstituennya, yang dianggap melanggar undang-undang Pemilu Jepang.Tindakannya tersebut mencerminkan pelanggaran etika, meskipun skala pelanggarannya tidak sebesar kasus korupsi di negara lain.
Sejarah Munculnya Budaya Malu di Jepang
1. Periode Kuno dan Pengaruh Konfusianisme (Sebelum Abad ke-8)
Dalam masyarakat agraris Jepang awal, konsep kehormatan dan rasa malu berkembang dari nilai-nilai komunal. Kehidupan berbasis desa membuat individu sangat peduli dengan bagaimana mereka dipandang oleh kelompoknya.Pengaruh Konfusianisme dari China pada abad ke-6 memperkuat nilai-nilai kesopanan, harmoni sosial, dan tanggung jawab moral.
2. Zaman Samurai dan Bushido (Abad ke-12 hingga 19)
Pada zaman feodal (Zaman Kamakura hingga Edo), samurai mengembangkan kode etik bushido, yang menekankan keberanian, kesetiaan, dan kehormatan.Dalam budaya ini, rasa malu lebih buruk daripada kematian, sehingga banyak samurai melakukan seppuku (bunuh diri kehormatan) jika gagal memenuhi tugas atau menanggung aib.
Contoh terkenal adalah 47 Ronin (1701-1703), di mana para samurai tanpa tuan membalas dendam untuk majikan mereka dan kemudian melakukan seppuku karena melanggar hukum.
3. Zaman Modern Awal dan Kekaisaran Jepang (Abad ke-19 hingga 1945)
Setelah Restorasi Meiji (1868), Jepang berusaha menyesuaikan diri dengan standar internasional sambil mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Budaya malu tetap kuat dalam militer dan birokrasi.Pada era Perang Dunia II, para tentara Jepang lebih memilih mati di medan perang daripada menyerah, mencerminkan budaya malu yang ekstrem.
4. Jepang Pasca-Perang dan Budaya Korporat (1945–Sekarang)
Setelah kekalahan di Perang Dunia II, Jepang beradaptasi dengan demokrasi dan ekonomi modern, tetapi budaya malu tetap menjadi bagian dari kehidupan sosial dan bisnis.Di dunia korporasi, eksekutif atau pejabat yang terlibat skandal sering mengundurkan diri, meminta maaf di depan publik, atau bahkan melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri.
Contoh modern, pada 2018, CEO Japan Airlines mengundurkan diri setelah skandal keamanan, meskipun dia tidak secara langsung terlibat.
Jadi, budaya malu di Jepang muncul sejak zaman kuno, diperkuat oleh nilai-nilai Konfusianisme dan bushido, lalu berkembang dalam masyarakat modern sebagai standar etika yang masih berlaku hingga sekarang.